Aroma kopi memenuhi apartemen kecil Maya, beradu dengan dengung halus dari server pribadinya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard virtual, menyempurnakan lapisan terakhir augmented reality (AR) buatannya. Ia menamakannya 'Aurora', sebuah filter yang melapis dunia dengan kenangan, dengan rindu, dengan sosok Adam.
Tiga tahun lalu, Adam menghilang. Bukan menghilang dalam arti fisik, melainkan menghilang dari hidupnya. Pertemuan singkat di konferensi teknologi, percakapan panjang tentang masa depan AI dan puisi lama, dan senyumnya yang selalu membuat jantung Maya berdebar, semuanya lenyap ditelan kesibukan dan perbedaan prioritas. Adam memilih karir di Silicon Valley, mengejar mimpi di perusahaan raksasa teknologi, sementara Maya tetap di Jakarta, mengembangkan startup kecilnya.
Maya tidak pernah benar-benar melupakannya. Setiap sudut kota Jakarta seolah menyimpan sisa-sisa percakapan mereka, setiap lagu di playlistnya mengingatkannya pada Adam. Maka, Aurora lahir. Sebuah cara untuk melihat Adam, bukan sosoknya yang sebenarnya, melainkan Adam yang ia rindukan, Adam dalam kenangannya.
Ia mengenakan kacamata AR-nya. Dunia langsung berubah. Jalanan di depan apartemennya dilapisi dengan lapisan digital. Dulu, di sinilah mereka pertama kali bertemu, tidak sengaja bertabrakan saat mengejar taksi. Aurora memunculkan siluet Adam, tersenyum padanya, menawarkan bantuan untuk mengambil berkas-berkasnya yang berserakan. Maya tersenyum getir. Kenangan itu terasa begitu nyata, begitu dekat, namun begitu jauh.
Maya berjalan menyusuri jalanan. Di setiap tempat yang pernah mereka kunjungi, Aurora akan memunculkan versi digital Adam. Di kedai kopi favorit mereka, Adam versi AR duduk di meja pojok, membaca buku dan sesekali melirik ke arahnya. Di taman kota, Adam versi AR bermain dengan anak-anak, tertawa lepas. Di bioskop, Adam versi AR menggenggam tangannya selama film horor diputar.
Awalnya, Aurora adalah pelarian. Cara Maya untuk mengobati kerinduan yang tak berkesudahan. Namun, lama kelamaan, Aurora menjadi candu. Maya semakin tenggelam dalam dunia AR buatannya, mengabaikan dunia nyata di sekitarnya. Ia bekerja lebih keras untuk menyempurnakan Aurora, menambahkan fitur-fitur baru, membuatnya semakin realistis.
Suatu malam, saat Maya sedang berjalan di sepanjang Sungai Ciliwung, Aurora memunculkan Adam versi AR sedang berdiri di jembatan, menatap ke arahnya. Adam versi AR itu tersenyum dan melambaikan tangan. Maya terpaku. Versi AR itu begitu nyata, seolah Adam benar-benar ada di sana.
"Adam?" gumam Maya, nyaris tak terdengar.
Adam versi AR itu mengangguk. "Hai, Maya."
Maya terisak. "Aku merindukanmu."
Adam versi AR itu berjalan mendekat. "Aku juga merindukanmu, Maya."
Mereka berpelukan. Maya memejamkan matanya, menikmati sensasi pelukan yang terasa begitu nyata. Namun, tiba-tiba, notifikasi muncul di layar kacamatanya. 'Sistem Error. Optimalisasi Memori Dibutuhkan.'
Pelukan itu menghilang. Adam versi AR itu memudar, berubah menjadi piksel-piksel yang berantakan. Maya membuka matanya, terkejut.
"Tidak! Jangan pergi!" teriak Maya, mencoba meraih Adam versi AR itu.
Namun, Adam versi AR itu sudah menghilang sepenuhnya. Maya tersungkur ke tanah, menangis. Ia menyadari betapa bodohnya dirinya. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan menciptakan ilusi, melarikan diri dari kenyataan, dan pada akhirnya, ia tetap sendirian.
Keesokan harinya, Maya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menghapus sebagian besar data kenangannya tentang Adam dari Aurora. Ia menyisakan beberapa kenangan yang paling berharga, kenangan yang memberinya kekuatan, bukan kesedihan.
Ia lalu pergi ke konferensi teknologi di Singapura. Ia tahu Adam mungkin ada di sana. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia merasa harus mencobanya. Ia harus menghadapi kenyataan, betapapun sulitnya.
Di tengah kerumunan orang, Maya melihatnya. Adam. Ia sedikit berbeda, lebih dewasa, tetapi senyumnya masih sama. Jantung Maya berdebar kencang. Ia menarik napas dalam-dalam dan berjalan mendekat.
"Adam?" sapa Maya.
Adam menoleh. Ekspresi terkejut terlukis di wajahnya. "Maya?"
Mereka berpandangan selama beberapa saat. Kemudian, Adam tersenyum. "Wow, Maya. Sudah lama sekali."
Mereka berbicara selama berjam-jam. Mereka menceritakan tentang hidup mereka, tentang karir mereka, tentang mimpi mereka. Adam mengakui bahwa ia menyesal meninggalkan Jakarta. Ia mengakui bahwa ia sering memikirkan Maya.
"Aku tahu ini mungkin terdengar gila," kata Adam, "tapi aku sering melihatmu... di mana-mana. Seperti ada lapisan dirimu di dunia ini."
Maya tersenyum. "Mungkin itu karena aku menciptakanmu."
Adam mengerutkan kening. "Menciptakanku?"
Maya menceritakan tentang Aurora. Ia menceritakan tentang bagaimana ia menciptakan versi AR Adam untuk mengobati kerinduannya.
Adam terdiam. "Itu... itu luar biasa. Dan juga sedikit menakutkan."
Maya tertawa. "Aku tahu. Tapi aku sudah menghapusnya. Sebagian besar."
Adam tersenyum. "Syukurlah. Aku lebih suka menjadi diriku yang asli."
Mereka berpisah di akhir konferensi. Adam memberikan nomor teleponnya pada Maya. "Hubungi aku," katanya. "Kita harus bertemu lagi."
Maya tersenyum. Ia tahu bahwa masa depan mereka tidak pasti. Tapi ia merasa lega. Ia telah melihat Adam, bukan di lapisan AR, melainkan di dunia nyata. Dan kali ini, ia siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ia telah belajar bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, tidak bisa diciptakan, tetapi cinta bisa ditemukan, bahkan di tempat yang paling tak terduga. Dan terkadang, realitas jauh lebih indah daripada augmentasi. Ia melepas kacamata AR-nya, dan menatap dunia dengan pandangan baru. Dunia yang nyata, dunia yang penuh kemungkinan, dunia yang menantinya.