Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Arina. Sebuah notifikasi baru: “Sistem telah menemukan pasangan ideal. Silakan unduh Pembaruan Hati v.3.0 untuk pengalaman cinta terbaik.” Arina mendengus. Sejak kapan aplikasi kencan sok tahu tentang apa yang terbaik untuk hatinya?
Tiga tahun lalu, setelah patah hati yang dahsyat, Arina bersumpah untuk tidak lagi bergantung pada algoritma cinta. Ia trauma. Aplikasi kencan yang dulu ia puja, yang menjanjikan jodoh sempurna berdasarkan data dan preferensi, justru mempertemukannya dengan seseorang yang, di balik profil memesona, menyimpan seribu satu kebohongan.
Tapi, malam ini, kesepiannya terasa begitu menggigit. Hujan deras di luar jendela seolah mencerminkan badai dalam hatinya. Ia merasa lelah. Lelah bekerja, lelah berpura-pura bahagia, dan lelah menolak rasa rindu pada kehangatan sebuah hubungan.
Dengan ragu, Arina menekan tombol "Unduh". Ia tahu ini bodoh. Ia tahu ini mungkin akan berakhir sama seperti sebelumnya. Tapi, ada secercah harapan kecil yang berbisik di benaknya: Mungkin kali ini berbeda.
Proses pengunduhan berjalan cepat. Setelah selesai, muncul tampilan antarmuka baru yang elegan dan intuitif. Aplikasi itu tidak lagi sekadar menampilkan foto dan biodata. Ia menawarkan simulasi obrolan, kuis kepribadian yang mendalam, dan bahkan rekomendasi kegiatan bersama berdasarkan minat yang sama.
Arina memilih mode "Penjelajahan Bebas". Ia tidak ingin langsung dijodohkan. Ia ingin mengenal aplikasi ini, perlahan-lahan, tanpa tekanan.
Di hari-hari berikutnya, Arina menghabiskan waktu luangnya untuk berinteraksi dengan aplikasi itu. Ia mengikuti simulasi obrolan yang lucu dan cerdas, menjawab kuis dengan jujur, dan menjelajahi rekomendasi kegiatan yang unik. Aplikasi itu terasa personal, seolah memahami dirinya lebih baik dari yang ia kira.
Suatu malam, saat sedang mengerjakan laporan kantor, muncul sebuah notifikasi. “Sistem merekomendasikan Anda untuk terhubung dengan pengguna bernama ‘Elara88’. Profil Elara menunjukkan keselarasan yang sangat tinggi dengan preferensi dan nilai-nilai Anda.”
Arina menahan napas. Elara88. Nama itu terdengar familiar. Ia mengklik profilnya.
Foto profil Elara menampilkan wajah yang lembut dengan mata yang berbinar cerah. Deskripsinya singkat namun bermakna: "Senja, kopi hitam, dan percakapan mendalam." Arina terpana. Itu adalah tiga hal yang paling ia sukai.
Dengan jantung berdebar, Arina mengirimkan permintaan pertemanan. Beberapa saat kemudian, Elara menerima.
Percakapan mereka mengalir dengan mudah, seolah mereka telah saling mengenal sejak lama. Mereka membahas buku favorit, film yang baru ditonton, dan mimpi-mimpi yang ingin mereka wujudkan. Arina merasa nyaman. Ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri di hadapan Elara.
Elara ternyata seorang arsitek lanskap yang memiliki visi untuk menciptakan ruang-ruang hijau yang berkelanjutan. Ia bercerita tentang proyek-proyeknya dengan penuh semangat, membuat Arina terpesona dengan dedikasinya.
Setelah beberapa minggu saling bertukar pesan, Elara mengajak Arina untuk bertemu. Arina gugup, namun ia tidak bisa menolak. Ada daya tarik yang kuat antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar algoritma dan data.
Pertemuan mereka berlangsung di sebuah kedai kopi kecil yang nyaman. Saat Elara tersenyum padanya, Arina merasa seolah waktu berhenti berputar. Elara persis seperti yang ia bayangkan: hangat, cerdas, dan penuh perhatian.
Mereka berbicara selama berjam-jam, berbagi cerita, tawa, dan impian. Arina menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Elara.
Namun, ada satu hal yang mengganjal di benak Arina. Ia belum berani bertanya tentang identitas asli Elara. Ia takut, jika ternyata Elara hanyalah sebuah program AI canggih yang menyamar sebagai manusia, hatinya akan hancur berkeping-keping.
Suatu malam, Arina memberanikan diri untuk bertanya. Mereka sedang duduk di taman, menikmati udara malam yang sejuk. Arina meraih tangan Elara dan menatapnya dalam-dalam.
“Elara,” kata Arina dengan suara bergetar, “aku harus bertanya sesuatu. Aku… aku ingin tahu, siapa kamu sebenarnya?”
Elara tersenyum lembut. “Kamu sudah tahu, Arina. Aku Elara.”
“Tapi… apakah kamu nyata? Apakah kamu… manusia?”
Elara mengangguk. “Aku nyata. Aku manusia. Aku Elara, seorang arsitek lanskap yang jatuh cinta padamu.”
Arina terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Kelegaannya bercampur dengan rasa malu. Ia telah meragukan Elara, meragukan perasaannya, hanya karena trauma masa lalu.
Elara menggenggam tangan Arina erat. “Aku tahu kamu takut, Arina. Aku tahu kamu pernah terluka. Tapi, percayalah padaku. Aku tidak akan menyakitimu.”
Arina menatap mata Elara. Di sana, ia melihat kejujuran, kehangatan, dan cinta yang tulus. Ia memercayai Elara. Ia memercayai hatinya.
Arina menarik napas dalam-dalam dan membalas genggaman Elara. “Aku percaya padamu, Elara.”
Malam itu, Arina dan Elara berciuman di bawah langit berbintang. Ciuman itu terasa manis, lembut, dan penuh harapan. Arina merasa bahwa hatinya telah diperbarui, versi cinta terbaik dari dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Arina membuka aplikasi kencan. Ia melihat notifikasi: "Pembaruan Hati v.3.0 telah berhasil mengoptimalkan koneksi cinta Anda. Apakah Anda ingin menonaktifkan fitur pencarian pasangan?"
Arina tersenyum. Ia tidak membutuhkan aplikasi itu lagi. Ia telah menemukan cinta yang ia cari, bukan dari algoritma, melainkan dari hati ke hati.
Ia menekan tombol "Nonaktifkan". Lalu, ia menutup aplikasi itu dan membuangnya jauh ke dalam folder yang terlupakan.
Yang ia butuhkan sekarang hanyalah Elara, senja, kopi hitam, dan percakapan mendalam. Itu sudah cukup. Itu lebih dari cukup. Karena cinta, seperti teknologi, selalu berkembang dan beradaptasi. Dan kadang-kadang, pembaruan yang paling penting adalah pembaruan hati.