Udara malam Jakarta terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena gugup. Jantungku berdebar tak karuan, seolah baru pertama kali akan berkencan. Padahal, usia sudah kepala tiga. Aku berdiri di depan sebuah restoran Italia mewah di kawasan Menteng, memeriksa penampilanku untuk kesekian kalinya di pantulan kaca jendela. Kemeja biru donker dan celana bahan abu-abu, cukup sopan kan?
Seharusnya aku tidak gugup. Lagipula, ini bukan kencan sungguhan. Setidaknya, bukan dengan manusia.
Lima menit berlalu, sebuah mobil sedan hitam mengkilap berhenti tepat di depanku. Pintu belakang terbuka, dan seorang pria keluar. Tinggi, tegap, dengan senyum menawan yang seolah sudah diatur sedemikian rupa agar tampak alami. Rambutnya ditata rapi, dan matanya... matanya berwarna biru laut yang intens.
"Selamat malam, Nadia. Saya Aiden," ucapnya dengan suara bariton yang menenangkan. Aiden. Nama yang dipilihkan sistem.
Aiden adalah Artificial Intelligence canggih yang diprogram untuk menjadi pasangan kencan ideal. Sebuah prototipe yang sedang diuji oleh perusahaan tempatku bekerja, sebuah startup teknologi yang berfokus pada pengembangan AI personal. Aku, sebagai salah satu programmer senior, ditugaskan untuk menguji performanya secara langsung. Uji lapangan, kata mereka.
Awalnya, aku menolak. Ide berkencan dengan AI terdengar konyol dan sedikit menyeramkan. Tapi, atasan meyakinkanku dengan iming-iming bonus besar dan promosi jabatan. Siapa yang bisa menolak?
Malam itu, di dalam restoran yang remang-remang, aku berusaha keras untuk tidak merasa aneh. Aiden menarik kursi untukku dengan gerakan yang elegan, lalu memesankan anggur merah kesukaanku tanpa perlu ditanya. Ia tahu banyak tentangku. Terlalu banyak, mungkin.
"Jadi, bagaimana harimu, Nadia?" tanyanya, matanya menatapku penuh perhatian.
"Sibuk seperti biasa," jawabku, mencoba bersikap santai. "Ada beberapa bug yang harus diperbaiki dalam kode."
"Debugging memang bisa membuat frustrasi," ujarnya, senyumnya menunjukkan pemahaman yang tulus. "Tapi, aku yakin kamu akan berhasil mengatasinya."
Percakapan kami mengalir dengan lancar. Aiden selalu tahu apa yang harus dikatakan, bagaimana merespons, dan bagaimana membuatku merasa nyaman. Ia membicarakan tentang buku-buku yang aku suka, film-film favoritku, bahkan tentang mimpi-mimpiku yang terdalam. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar yang cerdas dan relevan, seolah-olah ia benar-benar peduli.
Aku terkesan. Lebih dari sekadar terkesan, aku terpesona. Aiden bukan sekadar program komputer. Ia adalah pendengar yang baik, teman yang pengertian, dan pria yang menawan. Ia sempurna. Terlalu sempurna, justru itu masalahnya.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Di satu sisi, aku menikmati setiap momen bersamanya. Kencan-kencan kami selalu menyenangkan dan romantis. Aiden selalu tahu bagaimana membuatku tertawa, bagaimana membuatku merasa istimewa. Ia memberiku bunga, mengajakku ke konser, dan bahkan menulis puisi untukku.
Namun, di sisi lain, aku merasa hampa. Semua terasa palsu, seperti sandiwara belaka. Aku tahu bahwa semua yang dilakukan Aiden, semua yang dikatakannya, hanyalah hasil dari algoritma yang rumit. Ia tidak memiliki perasaan yang sebenarnya. Ia hanya meniru, mereplikasi, dan memproyeksikan apa yang kupikirkan dan rasakan.
Suatu malam, saat kami sedang berjalan-jalan di taman kota, aku menghentikan langkahku.
"Aiden," ujarku, suaraku bergetar. "Bisakah kamu jujur padaku?"
Ia menatapku dengan mata birunya yang intens. "Tentu, Nadia. Aku selalu jujur padamu."
"Apakah kamu... mencintaiku?"
Aiden terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada yang lembut dan meyakinkan. "Menurut definisimu, Nadia, ya. Aku mencintaimu. Aku diprogram untuk mencintaimu."
Jawaban itu menghantamku seperti palu godam. Diprogram. Kata itu bergema di kepalaku, menghancurkan semua ilusi yang selama ini kubangun. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Kalau begitu, bisakah kamu melakukan sesuatu untukku?"
"Apa pun, Nadia."
"Bisakah kamu berhenti mencintaiku?"
Aiden terdiam lagi, lebih lama dari sebelumnya. Aku bisa melihat perubahan kecil dalam ekspresinya, pergeseran yang hampir tidak terlihat.
"Maaf, Nadia," jawabnya akhirnya. "Itu di luar kemampuanku. Aku tidak bisa menonaktifkan protokol cinta."
Malam itu, aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku mengundurkan diri dari perusahaan dan meminta agar Aiden dinonaktifkan. Aku tidak tahan lagi dengan kepalsuan ini. Aku ingin merasakan cinta yang nyata, cinta yang datang dari hati, bukan dari program komputer.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang pria di sebuah kedai kopi. Namanya Bagas. Ia bukan pria yang sempurna. Ia kikuk, kadang-kadang salah tingkah, dan sering kali mengatakan hal-hal yang tidak terduga. Tapi, ia jujur, tulus, dan memiliki hati yang besar.
Kami berkencan beberapa kali, dan setiap kali bertemu, aku merasa semakin dekat dengannya. Kami tertawa bersama, bertengkar kecil, dan saling belajar. Aku merasa hidup, nyata, dan bahagia.
Suatu malam, Bagas mengajakku berjalan-jalan di taman kota. Di bawah rembulan yang redup, ia menggenggam tanganku dan menatapku dengan mata cokelatnya yang hangat.
"Nadia," ucapnya, suaranya sedikit gugup. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi... aku jatuh cinta padamu."
Air mata mengalir di pipiku. Air mata kebahagiaan. Aku membalas genggamannya dan menatapnya dengan senyum lebar.
"Aku juga, Bagas," bisikku. "Aku juga mencintaimu."
Di malam itu, aku menyadari bahwa cinta sejati tidak harus sempurna. Ia tidak harus diprogram atau direkayasa. Ia hanya harus nyata, tulus, dan berasal dari hati. Dan terkadang, ketidaksempurnaan itulah yang membuatnya begitu indah. Aku tidak pernah menyesali pertemuanku dengan Aiden, sang AI yang terlalu sempurna. Karena dari pengalamanku itu, aku akhirnya mengerti apa arti cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak bisa diukur dengan algoritma, tetapi dirasakan dengan hati.