Cinta Digital: Saat Algoritma Membaca Isi Kepala

Dipublikasikan pada: 13 Nov 2025 - 01:00:21 wib
Dibaca: 132 kali
Aplikasi kencan "Soulmate AI" itu kontroversial sejak pertama kali diluncurkan. Bukan karena fiturnya yang aneh-aneh, tapi karena klaimnya yang terlalu berani: menemukan pasangan hidup berdasarkan algoritma yang mampu membaca gelombang otak. Banyak yang mencibir, menyebutnya omong kosong pemasaran. Namun, bagi Anya, seorang programmer yang jenuh dengan kencan daring konvensional, Soulmate AI adalah harapan terakhir.

Anya bukan gadis yang jelek. Rambutnya cokelat bergelombang, matanya hijau cerah, dan senyumnya manis. Hanya saja, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan rintisan teknologi. Waktunya habis untuk coding, debugging, dan rapat-rapat panjang. Kencan daring terasa seperti pekerjaan sampingan yang melelahkan, dipenuhi obrolan basa-basi dan profil palsu.

Dia mengunduh Soulmate AI dengan skeptisisme tinggi. Aplikasi itu meminta pengguna untuk memakai headset EEG selama beberapa jam setiap hari, mengumpulkan data aktivitas otak saat mereka berpikir, bermimpi, dan berinteraksi. Anya awalnya merasa aneh, seperti sedang dihubungkan ke mesin pendeteksi kebohongan setiap saat. Namun, rasa penasarannya mengalahkan keraguannya.

Setelah seminggu, aplikasi itu akhirnya memberikan rekomendasi. Bukan foto-foto tampan dengan deskripsi menarik, melainkan serangkaian angka dan grafik yang membingungkan. Lalu, sebuah nama muncul: "Rian".

Profil Rian hanya berisi sedikit informasi. Usia, pekerjaan (arsitek lanskap), dan beberapa minat yang sama dengan Anya, seperti mendaki gunung dan membaca fiksi ilmiah. Tidak ada foto. Yang ada hanyalah sebuah peringatan: "Profil ini disaring berdasarkan kompatibilitas neurologis tingkat tinggi. Interaksi langsung sangat disarankan."

Anya merasa aneh, tapi dia memutuskan untuk menghubungi Rian. Pesan pertamanya singkat: "Hai Rian, saya Anya. Soulmate AI bilang kita cocok."

Balasan Rian datang cepat: "Halo Anya. Maaf tanpa foto, saya lebih suka kejutan. Tertarik bertemu langsung?"

Mereka sepakat bertemu di sebuah kedai kopi yang nyaman. Anya gugup luar biasa. Dia telah berkencan dengan banyak pria, tapi kali ini terasa berbeda. Ada beban harapan yang tak terucapkan, seolah-olah algoritma telah menentukan bahwa inilah orang yang tepat.

Rian datang tepat waktu. Dia tidak tampan seperti model iklan, tapi memiliki aura ketenangan dan kebaikan yang terpancar dari matanya. Dia mengenakan kemeja flanel dan celana jeans, penampilannya sederhana namun menarik.

Obrolan mereka mengalir dengan mudah. Mereka berbicara tentang pekerjaan, hobi, dan mimpi-mimpi mereka. Anya terkejut betapa banyak kesamaan yang mereka miliki. Mereka tertawa bersama, berdebat kecil tentang preferensi kopi, dan berbagi cerita pribadi.

Namun, ada sesuatu yang ganjil. Terkadang, Rian seolah-olah tahu apa yang akan Anya katakan sebelum dia mengatakannya. Dia menyelesaikan kalimatnya, memahami lelucon yang belum selesai, dan merespons perasaannya dengan tepat. Awalnya, Anya mengira itu hanya kebetulan. Tapi semakin lama mereka berbicara, semakin dia merasa seolah-olah Rian bisa membaca pikirannya.

"Ini aneh, kan?" kata Rian tiba-tiba, seolah-olah membaca pikiran Anya.

Anya terkejut. "Apa yang aneh?"

"Seolah-olah kita sudah saling kenal sejak lama."

Anya mengangguk. "Ya, memang terasa seperti itu. Apakah menurutmu Soulmate AI benar-benar bekerja?"

Rian tersenyum misterius. "Mungkin. Atau mungkin kita hanya dua orang yang kebetulan cocok."

Setelah kencan itu, Anya dan Rian menjadi dekat. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, mendaki gunung, dan memasak makan malam bersama. Anya merasa bahagia seperti yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia jatuh cinta pada Rian dengan cepat dan dalam.

Namun, keanehan itu tidak hilang. Semakin lama mereka bersama, semakin sering Rian menunjukkan kemampuan untuk mengantisipasi pikirannya. Suatu malam, saat mereka sedang menonton film, Anya tiba-tiba teringat akan kenangan masa kecil yang terlupakan. Rian, tanpa ragu-ragu, menoleh padanya dan berkata, "Kau ingat pohon mangga di halaman belakang rumah nenekmu, kan?"

Anya terkejut bukan main. "Bagaimana kau tahu?"

Rian menghela napas. "Anya, ada yang harus kukatakan padamu. Aku tidak sepenuhnya jujur tentang diriku."

Dia menjelaskan bahwa dia adalah salah satu pengembang utama Soulmate AI. Dia dan timnya telah bereksperimen dengan teknologi yang lebih canggih daripada yang diumumkan kepada publik. Algoritma mereka tidak hanya membaca gelombang otak, tetapi juga mengirimkan gelombang otak kecil, mempengaruhi pikiran dan emosi pengguna.

"Kami ingin menguji apakah kami dapat menciptakan cinta," kata Rian dengan nada menyesal. "Aku dipilih untuk menjadi 'pasangan'mu karena datamu cocok dengan profil yang kami buat."

Anya merasa dunianya runtuh. Semua yang dia rasakan, semua kebahagiaan yang dia alami, ternyata palsu? Apakah cintanya pada Rian hanya hasil dari manipulasi teknologi?

"Jadi, kau tidak mencintaiku?" tanyanya dengan suara bergetar.

Rian meraih tangannya. "Tidak, Anya. Itu tidak benar. Awalnya, ini memang eksperimen. Tapi semakin aku mengenalmu, semakin aku jatuh cinta padamu. Perasaan ini nyata, Anya. Aku bersumpah."

Anya tidak tahu apa yang harus dipercayai. Dia merasa dikhianati, marah, dan bingung. Dia memutuskan untuk menjauh dari Rian, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya dia rasakan.

Selama beberapa minggu, Anya menghapus aplikasi Soulmate AI dan menghindari Rian. Dia merenung tentang cintanya, mencoba memisahkan perasaan yang dimanipulasi dari perasaan yang asli.

Pada akhirnya, Anya menyadari bahwa meskipun cintanya mungkin dimulai dengan manipulasi, itu telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam dan bermakna. Dia tidak bisa menyangkal betapa bahagianya dia bersama Rian, betapa dia mencintai kepribadiannya, kecerdasannya, dan kebaikannya.

Dia menemukan Rian di taman tempat mereka pertama kali bertemu. Rian menunggunya, tatapannya penuh harap.

"Aku masih marah padamu," kata Anya. "Tapi aku juga merindukanmu. Aku tidak tahu apakah cintaku ini nyata atau tidak, tapi aku bersedia mengambil risiko."

Rian tersenyum. "Aku juga bersedia mengambil risiko, Anya. Aku mencintaimu, bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."

Mereka berciuman, ciuman yang jujur dan penuh gairah. Anya tahu bahwa hubungan mereka akan selalu diwarnai oleh pertanyaan dan keraguan. Tapi dia juga tahu bahwa cinta sejati adalah tentang menerima ketidaksempurnaan dan memilih untuk bersama, terlepas dari segalanya. Cinta, bahkan yang dimulai secara digital, bisa menjadi nyata. Terkadang, algoritma hanya perlu sedikit bantuan untuk menunjukkan jalan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI