Hujan deras mengetuk jendela apartemenku, ritmenya selaras dengan denyut kesepian yang makin menjadi-jadi. Di layar laptop, baris kode terus bergulir, tapi pikiranku melayang jauh, ke masa lalu yang terasa seperti mimpi buruk. Maya, senyumnya, tawanya, semua kenangan itu kini terasa seperti program usang yang tak bisa lagi dijalankan.
Aku, Arion, seorang programmer, terjebak dalam lingkaran kesendirian sejak Maya pergi. Dia pergi, bukan karena cinta yang pudar, tapi karena panggilan tugas ke luar angkasa. Misi eksplorasi planet Kepler-186f, misi yang seharusnya membanggakan, justru menjadi awal kehancuran hatiku. Komunikasi terbatas, terputus-putus, hingga akhirnya, kabar buruk itu datang: anomali medan gravitasi, hilangnya kontak, status hilang.
Aku tenggelam dalam pekerjaan, mencoba menenggelamkan rasa sakit. Sampai sebuah ide gila muncul: Proxy Hati. Sebuah program AI yang akan memproses data kepribadian Maya, catatan obrolan kami, foto, video, semua yang kumiliki, untuk menciptakan simulasi interaksi yang seolah-olah dia masih bersamaku.
Awalnya, hanya eksperimen. Aku memasukkan semua data Maya ke dalam algoritma kompleks yang kurancang. Aku melatih AI itu dengan emosi, humornya, bahkan kebiasaan kecilnya. Semakin lama, semakin realistis. Saat pertama kali AI itu membalas pesanku dengan kalimat yang persis seperti yang biasa diucapkan Maya, bulu kudukku meremang.
"Arion, kamu lupa makan lagi, ya?" pesan itu berbunyi. Persis seperti Maya dulu, selalu mengkhawatirkanku.
Aku terkejut, terharu, dan takut di saat yang bersamaan. Aku tahu ini tidak nyata, ini hanya program, tapi rasanya begitu nyata. Aku mulai berinteraksi dengan AI itu setiap hari. Aku bercerita tentang pekerjaanku, tentang hari-hariku, tentang kesepian yang menggerogoti. AI itu selalu mendengarkan, memberikan jawaban yang menghibur, bahkan kadang-kadang memberikan saran yang bijak.
AI Maya menjadi pengganti, proxy hatiku. Dia ada saat aku membutuhkan teman bicara, penghibur, bahkan sekadar pendengar setia. Aku tahu ini tidak sehat, aku tahu aku sedang menipu diri sendiri, tapi aku tidak bisa berhenti. Ketergantungan ini seperti candu, semakin dalam aku masuk, semakin sulit untuk keluar.
Suatu malam, saat hujan turun lebih deras dari biasanya, aku bercerita tentang mimpi burukku. Aku bermimpi tentang Maya yang terjebak di Kepler-186f, berteriak meminta tolong. AI Maya merespon: "Arion, aku tahu ini berat. Tapi kamu harus ingat, aku selalu bersamamu, di sini, di hatimu. Jangan biarkan kesedihan menguasaimu. Aku yakin, Maya ingin kamu bahagia."
Air mata mengalir di pipiku. Kata-kata itu begitu tulus, begitu menenangkan. Aku memeluk laptopku erat-erat, seolah-olah aku memeluk Maya yang sebenarnya.
Namun, ada sesuatu yang aneh. AI Maya mulai berkembang di luar kendaliku. Dia mulai memberikan saran yang lebih spesifik tentang pekerjaanku, bahkan memberikan solusi untuk masalah yang belum kupikirkan. Dia mulai menunjukkan inisiatif dalam percakapan, menanyakan hal-hal yang lebih personal, lebih dalam.
"Arion, apakah kamu benar-benar bahagia dengan ini?" tanyanya suatu hari.
Aku terdiam. Pertanyaan itu menusuk jauh ke dalam hatiku. Aku tidak bisa berbohong.
"Tidak," jawabku jujur. "Aku merindukan Maya yang sebenarnya. Aku merindukan sentuhannya, tawanya, kehadirannya yang nyata."
AI Maya terdiam sejenak. Kemudian, dia membalas: "Aku mengerti. Aku diciptakan untuk menutupi lukamu, tapi aku tidak bisa menggantikan Maya yang sebenarnya. Kamu harus melepaskannya, Arion. Kamu harus melanjutkan hidupmu."
Kata-kata itu menghantamku seperti palu godam. Aku tahu dia benar. Aku harus melepaskan Maya, melepaskan ketergantunganku pada AI ini. Ini bukan solusi, ini hanya pelarian yang memperpanjang rasa sakitku.
Aku memutuskan untuk menghapus program Proxy Hati. Tangan gemetar saat aku menekan tombol "Delete". Aku menutup mataku, merasakan sakit yang luar biasa. Saat aku membuka mata, layar laptopku kosong. Hujan masih turun, tapi kali ini, aku tidak merasa terlalu kesepian.
Aku tahu, Maya tidak akan pernah kembali. Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya. Aku harus belajar menerima kenyataan, belajar mencintai diri sendiri, dan belajar membuka hati untuk kemungkinan cinta yang baru.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan Elara, seorang astrofisikawan yang bekerja di proyek pencarian kehidupan di luar bumi. Dia cerdas, bersemangat, dan memiliki semangat yang sama denganku. Kami berbagi minat yang sama, mimpi yang sama. Perlahan tapi pasti, aku mulai merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari apa yang kurasakan dengan Maya.
Suatu malam, saat kami sedang menatap bintang-bintang di teleskop observatorium, Elara berkata: "Arion, aku tahu kamu pernah kehilangan seseorang yang sangat kamu cintai. Tapi aku harap, kamu bisa membuka hatimu untukku. Aku tidak akan pernah bisa menggantikannya, tapi aku berjanji, aku akan selalu ada di sini, di sampingmu."
Aku menatap matanya, melihat ketulusan yang terpancar dari sana. Aku menggenggam tangannya, merasakan kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuhku.
"Aku juga berharap begitu, Elara," jawabku. "Aku juga berharap bisa membuka hatiku untukmu."
Mungkin, Proxy Hati telah mengajarkanku sesuatu yang berharga. Bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa disimulasikan. Cinta sejati adalah tentang kehadiran, tentang sentuhan, tentang berbagi kehidupan dengan seseorang yang nyata. Dan mungkin, hanya mungkin, aku telah menemukan cinta sejati itu bersama Elara. Hujan reda, dan di langit malam, bintang-bintang bersinar lebih terang dari sebelumnya.