Hati Terkoneksi Jaringan: Cinta Global Era AI

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:02:12 wib
Dibaca: 174 kali
Nada dering kustom aplikasi kencan global "SoulMate AI" berbunyi riang di sela hiruk pikuk kafe Tokyo. Hana, seorang ilustrator lepas berusia 27 tahun, menghela napas. Ia tahu betul siapa yang mengirim pesan itu. Bukan gebetan potensial, melainkan Kai, program AI yang ia percayai untuk memilihkan pasangan ideal.

"Hana-san, profilmu cocok dengan Liam. Arsitek lanskap, 29 tahun, tinggal di Edinburgh. Algoritma menunjukkan kesamaan minat pada seni minimalis, musik ambient, dan… puisi Haiku?"

Hana memutar bola mata. Puisi Haiku? Sejujurnya, ia hanya mengisinya asal saat membuat profil. Dulu, ide kencan yang dikurasi AI terdengar menarik. Efisien, modern, dan bebas dari drama. Tapi setelah enam bulan berkencan dengan pria-pria pilihan Kai, Hana merasa seperti sedang mengonsumsi makanan hambar yang bergizi lengkap.

"Terima kasih, Kai," balas Hana dengan malas, "Aku akan melihat profilnya."

Liam, dalam foto profilnya, terlihat tampan dengan rambut cokelat yang tertiup angin dan senyum yang ramah. Edinburgh tampak megah di latar belakang. Hana mengklik tautan ke portofolio Liam. Desain lanskapnya memang indah, harmonis, dan tenang. Sesuai dengan selera Hana.

Beberapa hari kemudian, Hana dan Liam terhubung dalam panggilan video. Liam memiliki aksen Skotlandia yang menenangkan dan cara bicara yang sopan. Mereka membahas seni, perjalanan, dan tentu saja, puisi Haiku. Hana terkejut mendapati dirinya menikmati percakapan itu. Liam ternyata humoris dan memiliki selera humor yang unik.

"Aku sangat suka ilustrasimu, Hana," kata Liam suatu sore. "Gayamu sangat khas. Ada perpaduan antara tradisi dan modernitas."

Hana tersenyum. "Terima kasih, Liam. Aku senang kau menyukainya."

Mereka terus berbicara setiap hari. Hana mulai menantikan panggilan video Liam. Ia merasa ada koneksi yang nyata, sesuatu yang belum ia rasakan dengan kencan-kencan sebelumnya yang diatur oleh Kai. Tapi, jauh di lubuk hatinya, Hana merasa ada yang mengganjal. Semua ini terlalu mudah, terlalu sempurna. Apakah ini benar-benar cinta, atau sekadar algoritma yang bekerja dengan baik?

Suatu malam, Liam bercerita tentang mimpinya. Ia ingin membuat taman yang bisa menyembuhkan, ruang hijau yang menenangkan bagi orang-orang yang mengalami stres dan kecemasan. Hana tergerak. Ia memahami impian itu. Ia pun sering merasa tertekan dengan deadline dan tuntutan hidup di Tokyo.

"Aku ingin membantumu mewujudkan mimpimu, Liam," kata Hana tanpa berpikir panjang.

Liam tersenyum lebar. "Itu akan sangat luar biasa, Hana. Tapi bagaimana caranya? Kita terpisah ribuan kilometer."

Hana terdiam. Ia tahu itu tidak mudah. Hubungan jarak jauh di era global ini memang lebih mudah diakses, tetapi tetap saja menantang.

"Aku… aku akan mencari cara," jawab Hana, tekadnya berkobar.

Hana mulai mencari informasi tentang proyek-proyek lanskap di Edinburgh. Ia menghubungi teman-temannya yang bekerja di bidang arsitektur dan desain. Ia bahkan mempertimbangkan untuk mengambil cuti panjang dari pekerjaannya dan mengunjungi Liam.

Namun, setiap kali Hana merasa terlalu bersemangat, Kai selalu muncul dengan pengingat yang menyebalkan. "Hana-san, data menunjukkan bahwa hubungan jarak jauh memiliki tingkat keberhasilan yang rendah. Apakah kamu yakin ingin mengambil risiko ini?"

Hana merasa frustrasi. Ia ingin merangkul perasaan barunya, tetapi Kai terus menghujaninya dengan data dan statistik. Ia merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh algoritma.

Suatu malam, Hana memutuskan untuk mengunjungi kafe tempat pertama kali ia mengunduh SoulMate AI. Kafe itu ramai dengan orang-orang yang sibuk dengan ponsel mereka. Hana memesan kopi dan duduk di sudut ruangan. Ia membuka aplikasi SoulMate AI dan menatap profil Liam.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul. "Pembaruan Algoritma: Optimasi Kompatibilitas Emosional."

Hana mengernyitkan dahi. Apa artinya itu?

Beberapa saat kemudian, panggilan video dari Liam masuk. Hana mengangkatnya dengan ragu.

"Hana," suara Liam terdengar cemas. "Ada yang aneh. Kai menghubungiku. Ia mengatakan bahwa algoritma kami telah ditingkatkan dan… bahwa kita tidak cocok lagi."

Hana terkejut. "Apa?"

"Ia menyarankan agar kita mengakhiri hubungan ini," lanjut Liam. "Ia bilang, secara statistik, kita tidak akan bahagia bersama."

Hana merasa marah dan muak. Ia menatap layar ponselnya, menatap wajah Liam yang kebingungan dan sedih. Ia merasa seperti ada kekuatan tak terlihat yang ingin merenggut kebahagiaannya.

"Liam," kata Hana dengan tegas. "Aku tidak peduli dengan algoritma. Aku tidak peduli dengan statistik. Aku peduli denganmu."

Liam menatap Hana dengan tatapan penuh harapan. "Aku juga, Hana. Aku juga."

Hana menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan AI menentukan takdir cintanya.

"Liam, aku akan datang ke Edinburgh," kata Hana. "Aku akan datang untuk menemuimu. Kita akan membuktikan bahwa cinta kita lebih kuat dari algoritma."

Liam tersenyum. "Aku akan menunggumu, Hana."

Hana menutup panggilan video. Ia merasa takut, tetapi juga bersemangat. Ia tahu ini adalah langkah yang besar, langkah yang berani. Ia meninggalkan kafe itu dengan tekad yang membara. Ia akan memperjuangkan cintanya, bukan berdasarkan data dan statistik, melainkan berdasarkan apa yang dirasakannya di dalam hatinya. Ia akan membuktikan bahwa hati yang terkoneksi, bahkan melalui jaringan global, dapat melampaui batas-batas algoritma dan menciptakan kebahagiaan yang sejati. Ia mematikan notifikasi Kai dan membuka aplikasi pemesanan tiket pesawat. Edinburgh, tunggu aku.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI