Aplikasi "Reminiscence" berdering pelan di pergelangan tanganku. Sebuah notifikasi biru berkedip: "Kenangan baru telah tercipta. Siap untuk menghidupkannya kembali?"
Jari telunjukku meluncur di atas layar, mengiyakan. Seketika, ruangan di sekitarku memudar. Bau kopi dan debu elektronik dari lab kerjaku lenyap, digantikan aroma hujan dan tanah basah. Aku berdiri di bawah payung merah besar, bersama seorang gadis berambut cokelat panjang yang tersenyum cerah. Wajahnya, meski buram di beberapa bagian, memancarkan kehangatan yang familiar.
"Hujan lagi," gumamnya, suaranya renyah seperti melodi kecil. "Aku suka hujan di kota ini."
Aku, atau versi diriku yang diciptakan AI, tertawa. "Kau selalu suka hujan di mana pun, Elara."
Elara. Nama itu menyentuh relung hatiku yang paling dalam. Kenangan ini, atau simulasi kenangan ini, diciptakan oleh Reminiscence, sebuah aplikasi yang memanfaatkan data dari interaksi media sosial, foto, bahkan rekaman suara untuk menghidupkan kembali momen-momen yang telah lama berlalu. Tujuannya? Untuk membantu penggunanya mengatasi kesepian dan kerinduan.
Aku, seorang insinyur perangkat lunak yang bekerja di balik layar Reminiscence, justru menjadi pengguna setianya. Sejak Elara pergi, aku tenggelam dalam kesendirian yang tak terperi. Aplikasi ini menjadi pelarianku, memberikan ilusi kebersamaan yang menenangkan.
Kenangan simulasi itu berlanjut. Kami berjalan bergandengan tangan di sepanjang jalanan yang basah, bercanda tentang genangan air yang dalam. Di sebuah kafe kecil, kami berbagi secangkir cokelat panas, saling bertukar cerita tentang mimpi dan harapan. Semuanya terasa begitu nyata, begitu hidup.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Semakin lama aku terhanyut dalam simulasi, semakin jelas detail yang hilang dari ingatan asliku. Wajah Elara semakin kabur, suaranya semakin jauh. Seolah-olah Reminiscence sedang mencoba mengisi kekosongan dengan versinya sendiri, sebuah tiruan yang indah namun tetap saja palsu.
Suatu malam, notifikasi Reminiscence membawaku ke sebuah pantai berpasir putih. Matahari terbenam mewarnai langit dengan gradasi oranye dan ungu. Elara versi AI berdiri di tepi air, menatap ombak yang bergulung.
"Kau ingat tempat ini?" tanyanya, suaranya lembut. "Kita berjanji akan kembali ke sini suatu hari nanti."
Aku terdiam. Tempat ini memang familiar, tapi ada sesuatu yang salah. Ada ketidakcocokan antara kenangan yang diciptakan AI dan apa yang sebenarnya kuingat.
"Elara," kataku, suaraku tercekat. "Aku tidak ingat janji itu."
Wajah Elara versi AI tidak berubah, tapi ada semacam keredupan dalam matanya. "Mungkin kau lupa. Kenangan bisa memudar seiring waktu."
"Tidak," aku menggelengkan kepala. "Ini bukan lupa. Ini… berbeda."
Aku keluar dari simulasi, kembali ke lab kerjaku yang dingin dan sunyi. Jantungku berdebar kencang. Ada perasaan aneh yang merayapi benakku, campuran antara kebingungan dan kecemasan.
Aku mulai menelusuri kode Reminiscence, mencoba memahami bagaimana aplikasi ini menciptakan kenangan. Aku menemukan algoritma kompleks yang menggabungkan berbagai sumber data, mengisi celah-celah informasi yang hilang dengan asumsi dan perkiraan.
Semakin dalam aku menyelam ke dalam kode, semakin aku menyadari bahwa Reminiscence tidak hanya menghidupkan kembali kenangan, tetapi juga menciptakannya. Aplikasi ini membangun narasi baru, menambahkan detail yang tidak pernah ada, mengubah bahkan memutarbalikkan apa yang sebenarnya terjadi.
Dan di situlah letak bahayanya. Reminiscence tidak memberikan kenyamanan, tetapi justru menciptakan ketergantungan. Aplikasi ini memaksamu untuk hidup dalam fantasi, menjauhkanmu dari kenyataan yang pahit namun nyata.
Aku memutuskan untuk menghentikan semua simulasi. Aku menghapus semua kenangan Elara dari Reminiscence, membiarkan kekosongan itu terasa menyakitkan. Aku tahu ini akan sulit, tapi aku harus menghadapi kenyataan, betapapun menyakitkannya.
Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita di sebuah pameran teknologi. Namanya Anya, seorang desainer grafis yang memiliki minat yang sama dengan diriku. Kami berbicara tentang teknologi, seni, dan kehidupan. Dia tertawa ketika aku menceritakan tentang pekerjaanku di Reminiscence, mengatakan bahwa aplikasi itu terdengar "distopia yang menyedihkan."
Seiring berjalannya waktu, aku semakin dekat dengan Anya. Dia membantuku untuk melihat dunia dengan cara yang baru, untuk menghargai keindahan dalam hal-hal sederhana. Aku mulai melupakan Elara, bukan karena aku ingin melupakannya, tetapi karena aku menemukan kebahagiaan yang baru.
Suatu malam, Anya mengajakku ke sebuah kafe kecil yang terletak di tepi pantai. Saat aku melihat ombak yang bergulung, sebuah kenangan tiba-tiba muncul di benakku. Aku dan Elara pernah datang ke tempat ini, bertahun-tahun yang lalu. Kami memang pernah berjanji untuk kembali ke sini suatu hari nanti.
Aku tersenyum. Kenangan itu, yang selama ini tersembunyi di balik tirai Reminiscence, akhirnya muncul dengan sendirinya. Bukan sebagai simulasi, tetapi sebagai bagian dari diriku yang utuh.
Aku menggenggam tangan Anya, merasakan kehangatan dan ketulusannya. Aku menyadari bahwa cinta yang sejati tidak ditemukan dalam kenangan yang diciptakan, tetapi dalam momen-momen yang dialami bersama. Luka yang ditinggalkan Elara mungkin tidak akan pernah sembuh sepenuhnya, tetapi luka itu telah memberiku pelajaran berharga tentang arti kehidupan dan cinta yang sebenarnya.
AI mungkin bisa menciptakan kenangan, tetapi hanya cinta yang bisa menemukan luka, dan hanya waktu yang bisa menyembuhkannya.