Hujan deras malam itu seperti ikut menertawakan nasib Anya. Di layar ponselnya, wajah sempurna seorang pria bernama Raka tersenyum menawan. Profilnya menjanjikan: CEO startup teknologi, penyuka kopi dan diskusi filosofis, serta pelari maraton. Sempurna. Terlalu sempurna, bahkan. Anya menghela napas, jarinya ragu menekan tombol "Suka" di aplikasi kencan "JodohKu".
Sudah hampir setahun Anya mencoba peruntungan di dunia kencan daring. Teman-temannya bersorak menyemangati, mengatakan bahwa di era digital ini, menemukan cinta sejati semudah memesan kopi. Tapi kenyataannya, Anya lebih sering menemukan profil-profil yang entah dibuat-buat atau sekadar mencari teman sesaat.
Raka berbeda. Setidaknya, begitulah yang ia harapkan. Setelah saling "Suka", mereka mulai bertukar pesan. Raka pintar, lucu, dan yang terpenting, sepertinya tertarik dengan obrolan Anya yang kadang terlalu serius. Mereka membahas novel favorit, bertukar teori konspirasi (yang Anya sadari konyol, tapi tetap seru), dan bahkan berdebat tentang etika kecerdasan buatan. Anya mulai merasa ada harapan.
Setelah seminggu berkirim pesan, Raka mengajaknya bertemu. Sebuah kafe unik di kawasan Kemang, dengan lampu temaram dan aroma kopi yang menenangkan. Anya gugup bukan main. Ia memilih gaun terbaiknya, menyemprotkan parfum favoritnya, dan memastikan penampilannya sempurna.
Raka sudah menunggu di sana. Penampilannya persis seperti di foto, bahkan lebih tampan. Rambutnya ditata rapi, senyumnya tulus, dan tatapan matanya hangat. Malam itu terasa seperti mimpi. Mereka berbicara tanpa henti, merasa seolah sudah saling mengenal selama bertahun-tahun. Raka mendengarkan dengan penuh perhatian saat Anya bercerita tentang pekerjaannya sebagai perancang grafis, mimpinya untuk membuka studio sendiri, dan kekhawatiran tentang masa depan.
“Kamu sangat berbakat dan ambisius, Anya,” kata Raka, menggenggam tangannya lembut. “Aku yakin kamu akan sukses besar.”
Jantung Anya berdebar kencang. Apakah ini yang namanya cinta pada pandangan pertama? Ia tersenyum, merasa benar-benar bahagia.
Namun, kebahagiaan itu mulai meredup beberapa minggu kemudian. Raka selalu sibuk. Ia selalu punya alasan untuk menunda pertemuan: rapat penting, perjalanan bisnis mendadak, atau masalah teknis yang tak terduga. Anya memaklumi, awalnya. Ia mengerti bahwa Raka adalah seorang CEO, tentu saja pekerjaannya menuntut banyak waktu dan energi.
Tapi lama kelamaan, Anya merasa ada yang aneh. Pesan-pesan Raka semakin singkat dan jarang. Obrolan mereka tidak lagi mengalir seperti dulu. Setiap kali Anya mencoba membahas sesuatu yang lebih dalam, Raka selalu mengalihkan pembicaraan.
Suatu malam, Anya memberanikan diri bertanya langsung. “Raka, apa kamu benar-benar sibuk, atau kamu hanya tidak tertarik lagi padaku?”
Raka terdiam sejenak. “Anya, aku sangat menyukaimu. Kamu wanita yang luar biasa. Tapi… jujur saja, aku sedang fokus pada karierku saat ini. Aku tidak punya waktu untuk hubungan yang serius.”
Anya merasa seperti ditampar. Jadi, selama ini ia hanya menjadi pengisi waktu luang Raka? Sebuah hiburan singkat di sela-sela kesibukannya? Ia menahan air matanya. “Kenapa kamu tidak bilang dari awal?”
“Aku takut kamu akan kecewa,” jawab Raka lirih.
Anya tertawa hambar. “Justru ini yang membuatku kecewa.”
Ia bangkit dari kursinya. “Terima kasih untuk malam-malam indah, Raka. Tapi sepertinya, kita tidak cocok.”
Anya keluar dari kafe, meninggalkan Raka yang terdiam di belakangnya. Hujan masih turun dengan deras, seolah ikut merasakan kesedihannya. Ia merasa bodoh karena telah mempercayai aplikasi kencan itu, karena telah berharap pada seseorang yang hanya ada di balik layar ponsel.
Beberapa hari kemudian, Anya kembali membuka aplikasi JodohKu. Ia melihat profil Raka masih terpampang di sana, tersenyum menawan seperti biasa. Anya ingin menghapus aplikasinya, tapi sesuatu menahannya. Ia malah mulai menjelajahi profil-profil lainnya, kali ini dengan lebih hati-hati dan skeptis.
Ia bertemu dengan seorang fotografer lepas yang gemar mendaki gunung, seorang guru sekolah dasar yang bercita-cita membangun perpustakaan di desa terpencil, dan seorang barista yang pandai membuat latte art berbentuk kucing. Mereka tidak sesempurna Raka, tapi mereka tampak nyata. Mereka memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Anya mulai berkirim pesan dengan seorang barista bernama Bima. Bima tidak tampan seperti Raka, tapi senyumnya tulus dan obrolannya menyenangkan. Mereka membahas tentang kopi, musik, dan mimpi-mimpi kecil. Anya merasa nyaman berbicara dengannya, tanpa perlu merasa harus menjadi sempurna.
Setelah beberapa minggu, mereka memutuskan untuk bertemu. Bima mengajak Anya ke kedai kopi tempatnya bekerja. Tempatnya sederhana, tapi suasananya hangat. Bima membuatkan Anya latte art berbentuk kucing, sama persis seperti yang ia ceritakan di pesan.
Saat Anya menyesap kopinya, Bima bertanya, “Jadi, apa yang membuatmu memutuskan untuk mencoba aplikasi kencan?”
Anya tersenyum. “Aku pikir, aku sedang mencari jodoh impian. Tapi sekarang, aku sadar bahwa mungkin aku hanya mencari seseorang yang nyata.”
Bima mengangguk. “Mungkin aplikasi kencan memang hanya algoritma semata. Tapi terkadang, algoritma itu bisa membantumu menemukan seseorang yang tepat.”
Anya menatap mata Bima. Mungkin, Bima benar. Mungkin, aplikasi kencan memang bukan jaminan untuk menemukan cinta sejati. Tapi, aplikasi itu bisa menjadi jembatan untuk bertemu dengan orang-orang baru, untuk membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga. Dan mungkin, di antara semua profil itu, ada satu yang benar-benar cocok dengan kita. Bukan karena algoritma, tapi karena takdir.
Anya tersenyum. Hujan sudah berhenti. Di luar sana, matahari mulai menyinari kota. Ia merasa ada harapan baru di hatinya. Mungkin, jodoh impian itu tidak ada. Tapi, mungkin saja, ia bisa menemukan cinta yang nyata, cinta yang tumbuh dari kejujuran, kepercayaan, dan secangkir kopi yang hangat.