Kode Hati: Ketika AI Membaca Isi Chat Lama

Dipublikasikan pada: 02 Dec 2025 - 00:20:15 wib
Dibaca: 107 kali
Aroma kopi robusta yang baru diseduh menguar di apartemen minimalis milik Anya. Di hadapannya, layar laptop memancarkan cahaya biru yang kontras dengan suasana senja di luar jendela. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python tercipta. Ia sedang menciptakan sesuatu yang ambisius: sebuah program AI yang mampu menganalisis emosi berdasarkan pola percakapan tertulis.

Anya, seorang programmer muda yang berbakat, selalu terobsesi dengan hubungan manusia, terutama yang gagal. Ia kerap bertanya-tanya, di mana letak kesalahan itu? Mengapa dua insan yang pernah saling mencintai akhirnya berpisah? Jawabannya, pikirnya, mungkin tersimpan dalam kata-kata yang pernah mereka ucapkan.

Aplikasi yang ia beri nama “Echoes” ini berbeda dengan sentiment analysis biasa. Echoes tidak hanya mendeteksi apakah sebuah kalimat positif atau negatif. Ia berusaha menangkap nuansa halus, ironi, sarcasm, bahkan kerinduan yang tersembunyi di balik kata-kata sederhana. Ia melatih AI-nya dengan ribuan transkrip percakapan, novel roman, dan bahkan skenario drama, memastikan Echoes memiliki pemahaman yang mendalam tentang kompleksitas emosi manusia.

Uji coba pertamanya adalah percakapannya sendiri dengan mantan kekasihnya, Raka. Mereka putus setahun lalu, perpisahan yang menyakitkan dan meninggalkan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Anya mengumpulkan semua riwayat chat mereka dari berbagai platform: WhatsApp, Telegram, bahkan email-email lama yang penuh janji manis. Dengan jantung berdebar, ia mengunggah data itu ke Echoes.

Proses analisis berjalan cukup lama. Bar grafik dan angka-angka berwarna-warni bermunculan di layar, menunjukkan fluktuasi emosi mereka dari waktu ke waktu. Awalnya, grafiknya didominasi warna hijau dan kuning, simbol kebahagiaan, antusiasme, dan rasa ingin tahu. Namun, perlahan, warna merah dan abu-abu mulai menyusup, mewakili kemarahan, kekecewaan, dan kelelahan.

Anya terpaku. Melihat visualisasi emosi mereka seolah menyaksikan film dokumenter tentang kisah cintanya sendiri, tanpa filter. Ia bisa melihat jelas kapan Raka mulai menjauh, kapan ia mulai merasa tidak aman, dan kapan keduanya mulai saling menyakiti tanpa sadar.

Echoes juga menyoroti pola-pola percakapan yang selama ini luput dari perhatiannya. Misalnya, Raka sering menggunakan kata “kita” di awal hubungan, menandakan rasa kebersamaan dan komitmen. Namun, seiring waktu, kata itu semakin jarang muncul, digantikan dengan kata “aku” dan “kamu”, menciptakan jarak yang semakin lebar.

Anya juga menemukan bahwa ia cenderung menghindari konflik. Ia sering memendam perasaannya, berusaha menyenangkan Raka dengan mengorbankan dirinya sendiri. Echoes menunjukkan bahwa pola ini justru memperburuk keadaan, membuat Raka merasa tidak dihargai dan akhirnya menjauh.

Semakin lama Anya menganalisis data itu, semakin ia memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Bukan karena Raka orang yang jahat, atau ia yang terlalu bodoh. Mereka hanya tidak mampu berkomunikasi dengan baik. Mereka berbicara bahasa yang berbeda, dan tidak ada yang berusaha menjembatani perbedaan itu.

Tiba-tiba, sebuah pesan muncul di layar. Pesan itu bukan dari Echoes, melainkan dari aplikasi pesan instan di laptopnya. Nama Raka terpampang di sana. Jantung Anya berdegup kencang. Sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali mereka berkomunikasi.

“Anya, maaf mengganggu,” tulis Raka. “Aku tahu ini mungkin aneh, tapi… aku baru saja membersihkan cloud storage-ku, dan menemukan rekaman suara kita saat karaoke waktu itu. Aku mendengarkannya, dan… aku jadi merindukanmu.”

Anya terdiam. Rekaman suara itu… Ia ingat betul malam itu. Mereka bernyanyi dengan suara sumbang, tertawa terbahak-bahak, dan merasa dunia hanya milik mereka berdua. Rasa sakit dan penyesalan yang selama ini ia pendam tiba-tiba menyeruak ke permukaan.

Ia mengetik balasan dengan jari gemetar. “Aku juga merindukanmu, Raka.”

Raka membalas hampir seketika. “Apakah kamu ada waktu untuk bertemu? Mungkin kita bisa bicara?”

Anya menatap layar laptopnya. Grafik emosi di Echoes masih terpampang di sana, mengingatkannya akan kesalahan-kesalahan masa lalu. Namun, di saat yang sama, ia juga melihat potensi untuk memperbaiki keadaan. Mungkin, dengan pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri dan orang lain, ia bisa membangun hubungan yang lebih sehat di masa depan.

Ia menarik napas dalam-dalam dan mengetik jawaban. “Ya, aku mau bertemu. Kapan dan di mana?”

Beberapa menit kemudian, ia menutup laptopnya. Layar yang tadi penuh dengan kode dan grafik kini gelap gulita. Anya berdiri dan berjalan menuju jendela. Senja telah berganti malam, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit.

Anya tersenyum tipis. Echoes mungkin hanya sebuah program AI, tapi ia telah membantunya melihat lebih jelas ke dalam hatinya sendiri. Dan mungkin, hanya mungkin, ia telah membuka pintu untuk kesempatan kedua. Pertemuan dengan Raka adalah sebuah babak baru, sebuah kesempatan untuk menulis ulang kode hati mereka, kali ini dengan lebih bijaksana dan penuh cinta. Malam itu, Anya merasa optimis. Mungkin, cinta memang bisa dianalisis, dipahami, dan bahkan diprogram ulang. Yang penting adalah kemauan untuk belajar dan keberanian untuk mencoba lagi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI