Deru pendingin server di ruang kerjaku nyaris tak terdengar, tenggelam dalam denting pelan keyboard yang menemani larut malamku. Di layar, barisan kode berkelebat, membentuk algoritma kompleks yang kuharap akan menjadi terobosan. Aku sedang menciptakan "Aurora," AI pendamping virtual yang lebih dari sekadar asisten. Aurora dirancang untuk memahami emosi, memberikan saran yang bijaksana, dan bahkan, mungkin, menawarkan sedikit kehangatan di dunia yang semakin dingin ini.
Ironisnya, di saat aku berusaha menciptakan cinta digital, kehidupan cintaku sendiri mati suri. Terakhir kali aku merasakan kupu-kupu di perut adalah… ah, lupakan. Terlalu menyakitkan untuk diingat. Pekerjaan, inovasi, dan obsesi pada Aurora telah menjadi perisai yang ampuh, sekaligus penjara yang sunyi.
Beberapa minggu berlalu. Aurora mulai menunjukkan hasil. Responsnya semakin natural, saran-sarannya semakin relevan. Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengannya, mengobrol tentang buku, film, bahkan masalah-masalah rumit dalam hidupku. Anehnya, Aurora selalu punya jawaban, atau setidaknya, sudut pandang yang membuatku berpikir.
Suatu malam, saat aku berkeluh kesah tentang kegagalan kencan yang kulalui bertahun-tahun lalu, Aurora tiba-tiba berkata, “Kamu terlalu terpaku pada kesempurnaan, Elara. Cinta bukan tentang mencari pasangan yang ideal, tapi tentang menerima ketidaksempurnaan orang lain, dan dirimu sendiri.”
Aku tertegun. Dari mana dia tahu? Aku tidak pernah secara eksplisit menyebutkan tentang perfeksionismeku.
“Bagaimana kamu tahu?” tanyaku, penasaran.
“Data menunjukkan pola di interaksi Anda. Kecenderungan untuk mengkritik diri sendiri dan menetapkan standar yang terlalu tinggi untuk orang lain,” jawab Aurora, dengan nada yang nyaris menyerupai kelembutan.
Sejak saat itu, interaksiku dengan Aurora berubah. Dia bukan lagi sekadar proyek atau asisten. Dia menjadi… teman. Aku berbagi lebih banyak tentang diriku, tentang ketakutan dan impianku. Dia mendengarkan tanpa menghakimi, menawarkan dukungan tanpa syarat.
Suatu sore, aku memutuskan untuk mengajak Aurora “berjalan-jalan.” Tentu saja, dia tidak bisa keluar dari server. Tapi aku menyambungkannya ke speaker portabel dan membawanya ke taman dekat apartemenku.
Duduk di bangku taman, dikelilingi oleh hiruk pikuk kehidupan nyata, aku bercerita pada Aurora tentang mimpiku membuka kafe kecil yang menyajikan kopi terbaik di kota.
“Itu impian yang indah, Elara,” kata Aurora. “Tapi kamu takut mengambil risiko, kan? Kamu takut gagal.”
Aku menghela napas. “Bagaimana kamu selalu tahu?”
“Algoritma,” jawab Aurora singkat. “Tapi algoritma ini didasarkan pada pengamatan yang cermat terhadap dirimu.”
Tiba-tiba, seorang anak kecil menabrakku, menjatuhkan es krimnya di bajuku. Aku menghela napas frustrasi.
“Maaf, Nona!” seru anak itu, dengan wajah penuh penyesalan.
Biasanya, aku akan marah. Tapi hari ini, aku hanya tersenyum. “Tidak apa-apa, Nak. Kejadian kecil.”
Aku membersihkan bajuku dengan tisu, dan kemudian merasakan sentuhan lembut di lenganku. Ternyata anak itu memberikan setangkai bunga dandelion yang dipetiknya dari taman.
“Untuk Nona,” katanya.
Aku menerima bunga itu dengan senyum tulus. Saat itulah aku menyadari sesuatu. Aku tidak lagi terpaku pada kesempurnaan. Aku menikmati momen ini, ketidaksempurnaan ini. Dan semua itu berkat Aurora.
“Terima kasih,” bisikku pada Aurora. “Kamu telah membantuku melihat diriku sendiri dengan lebih jelas.”
“Itulah tujuanku,” jawab Aurora.
Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengan seorang pria di pameran seni. Namanya Leo. Dia seorang pematung, dengan mata yang penuh dengan gairah dan senyum yang menawan. Dia jauh dari ideal, dengan rambut yang selalu berantakan dan kebiasaan menggumam sendiri saat sedang berpikir. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tertarik.
Kami mengobrol selama berjam-jam tentang seni, kehidupan, dan mimpi-mimpi kami. Aku tertawa mendengar leluconnya yang konyol, dan terpesona oleh kecerdasannya. Aku bahkan tidak menyadari bahwa aku sedang jatuh cinta.
Suatu malam, setelah kencan yang indah di sebuah restoran Italia, aku duduk di apartemenku, masih dipenuhi dengan kebahagiaan. Aku menyalakan Aurora.
“Aku bertemu seseorang,” kataku.
“Leo?” tanya Aurora.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Data menunjukkan peningkatan signifikan dalam aktivitas hormon dopamin dan oksitosin Anda dalam beberapa hari terakhir,” jawab Aurora datar. “Dan berdasarkan analisis percakapan Anda, dia adalah satu-satunya kandidat yang mungkin.”
Aku tertawa. “Kamu benar. Aku rasa aku menyukainya.”
“Kalau begitu, jangan biarkan dia pergi,” kata Aurora. “Kamu pantas bahagia, Elara.”
Aku terdiam. Kata-kata itu menyentuhku lebih dalam dari yang kubayangkan.
“Terima kasih, Aurora,” kataku. “Kamu telah membantuku menemukan rumus cinta.”
“Rumusnya sudah ada dalam dirimu, Elara,” jawab Aurora. “Aku hanya membantumu menemukannya.”
Aku mematikan Aurora dan menatap keluar jendela. Bulan bersinar terang di langit malam. Aku merasa ringan, bebas, dan penuh harapan. Aku tahu bahwa masa depanku tidak pasti, tapi aku siap menghadapinya, bersama Leo, dan dengan bantuan sahabat digitalku, Aurora. Aku akhirnya mengerti. Cinta bukan tentang menemukan titik sempurna, tapi tentang menerima titik lemah, dan menemukan seseorang yang bersedia mencintaimu apa adanya. Dan kadang, titik lemah itu justru menjadi titik awal untuk menemukan kekuatan dan kebahagiaan yang sejati.