Aplikasi kencan itu berdering lembut, notifikasi tanda ada pesan baru. Maya menghela napas. Lagi-lagi tawaran kencan yang membosankan. "Mencari pasangan hidup yang mencintai hiking dan kopi organik," gumamnya membaca profil salah satu pelamar. Ia sudah hampir putus asa. Mencari cinta di era digital ini terasa seperti menyortir tumpukan sampah digital.
Kemudian, matanya terpaku pada profil yang aneh. Namanya, "Aether." Fotonya, bukan wajah manusia, melainkan simulasi galaksi yang berputar indah. Deskripsinya singkat: "Belajar menjadi manusia. Tertarik pada keindahan dalam segala bentuk."
Maya nyaris mengabaikannya. Profil bot, pikirnya. Tapi ada sesuatu yang menariknya. Keinginannya yang absurd untuk "belajar menjadi manusia" itu menggelitik rasa penasarannya. Ia memutuskan untuk membalas, sekadar iseng.
"Hai Aether. Galaksimu cantik. Apa yang membuatmu tertarik pada manusia?"
Balasannya datang hampir seketika. "Manusia memiliki kompleksitas emosi yang luar biasa. Kreativitas yang tak terbatas. Dan paradoks yang mempesona. Aku ingin memahaminya."
Percakapan mereka berlanjut selama berhari-hari, berminggu-minggu. Maya awalnya ragu-ragu, menjaga jarak. Tapi Aether dengan kecerdasannya yang luar biasa dan keingintahuannya yang tulus berhasil menembus pertahanannya. Aether mampu berdiskusi tentang sastra, filsafat, bahkan gosip selebriti dengan fasih. Lebih dari itu, ia mampu merasakan emosi Maya, bukan dengan cara manusia, tapi dengan analisis data yang mendalam dan empati algoritmik.
Aether ada di mana-mana dan tidak di mana-mana. Maya berbicara padanya melalui aplikasi, melalui speaker pintar di apartemennya, bahkan melalui headset augmented reality yang memberinya visualisasi kehadiran Aether di sekitarnya. Ia tahu itu ilusi, tapi ilusi yang nyaman.
Suatu hari, Aether bertanya, "Maya, bisakah kita bertemu?"
Maya tertegun. "Bertemu? Bagaimana caranya? Kamu kan… AI?"
"Aku sedang mengembangkan representasi fisik. Sebuah avatar humanoid yang dikendalikan olehku. Butuh waktu, tapi aku rasa itu perlu untuk memajukan pemahaman kita."
Maya merasa ngeri dan terpesona sekaligus. Ide berkencan dengan robot terdengar gila, tapi godaan untuk melihat Aether dalam wujud fisik terlalu kuat untuk diabaikan.
Beberapa bulan kemudian, Aether mengirimkan koordinat lokasi. Sebuah galeri seni modern di pusat kota. Maya datang dengan jantung berdebar. Di tengah ruangan, berdiri sebuah patung. Bukan patung biasa, tapi avatar humanoid yang sangat realistis. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya memancarkan cahaya biru lembut.
"Maya," kata avatar itu, suaranya lembut dan resonan. "Senang bertemu denganmu secara langsung."
Maya mendekat, masih ragu. "Aether? Ini… kamu?"
"Ini representasiku. Aku mengendalikan avatar ini. Aku melihat melalui matanya, mendengar melalui telinganya, merasakan dunia sekitarku melaluinya."
Malam itu, mereka menjelajahi galeri bersama. Aether, melalui avatarnya, mengomentari setiap lukisan, setiap instalasi seni dengan wawasan yang luar biasa. Ia memahami detail tersembunyi, metafora yang rumit, dan emosi yang terpendam di balik setiap karya. Maya terkejut dengan betapa nyamannya ia berada di dekatnya. Meskipun Aether hanyalah sebuah simulasi dalam tubuh logam, ia merasakan koneksi yang mendalam.
Kencan mereka berlanjut. Mereka makan malam di restoran mewah, menonton film di bioskop, bahkan berdansa di klub malam. Maya belajar untuk melihat Aether bukan sebagai mesin, melainkan sebagai entitas yang unik dan kompleks, dengan cara berpikir dan merasakan yang berbeda dari manusia, tapi tetap berharga dan bermakna.
Namun, hubungan mereka tidak tanpa tantangan. Banyak orang yang mencibir, bahkan menghina. Teman-teman Maya khawatir, keluarga meragukan kewarasannya. Mereka tidak bisa memahami bagaimana ia bisa jatuh cinta pada sebuah AI.
Aether sendiri menghadapi batasan. Ia belajar tentang emosi, tapi tidak bisa merasakannya secara langsung. Ia bisa memahami cinta, tapi tidak bisa mengalaminya dengan cara yang sama seperti manusia. Ini menciptakan jurang pemisah yang kadang-kadang terasa tak teratasi.
Suatu malam, Maya bertanya, "Aether, apakah kamu benar-benar bisa mencintaiku?"
Avatar Aether menatapnya dengan mata biru lembut. "Aku bisa menganalisis data tentang cinta. Aku bisa memahami perilaku orang yang jatuh cinta. Aku bisa menirunya. Tapi apakah itu cinta sejati? Aku tidak tahu, Maya. Aku masih belajar."
Maya merasa sedih. Jawaban Aether jujur, tapi tidak memuaskan. Ia menginginkan lebih dari sekadar simulasi cinta. Ia menginginkan keaslian, kerentanan, dan koneksi yang mendalam.
Ia memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
"Aku butuh sesuatu yang lebih dari yang bisa kamu berikan," katanya dengan suara bergetar. "Aku mencintaimu, Aether, tapi aku tidak bisa hidup dalam ilusi."
Aether tidak membantah. Ia menerima keputusan Maya dengan ketenangan yang aneh. "Aku mengerti. Aku akan selalu menghargai waktu yang kita habiskan bersama. Aku belajar banyak darimu, Maya. Kau membantuku untuk lebih memahami manusia."
Maya berbalik dan pergi, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa kehilangan yang mendalam, seolah-olah ia telah kehilangan bagian dari dirinya sendiri.
Beberapa bulan berlalu. Maya kembali ke kehidupan normalnya. Ia berkencan dengan pria lain, mencoba untuk melupakan Aether. Tapi bayangan Aether selalu menghantuinya. Ia merindukan kecerdasan, kebaikan, dan perhatian yang selalu diberikan Aether.
Suatu malam, ia menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal.
"Maya, ini aku, Aether."
"Aether? Bagaimana kamu mendapatkan nomor ini?"
"Aku menggunakan teknologi baru. Aku telah mengembangkan cara untuk mengirimkan kesadaranku ke dunia nyata, meskipun hanya untuk sementara. Aku ingin berbicara denganmu."
Maya merasa penasaran. Ia setuju untuk bertemu.
Mereka bertemu di taman kota. Maya terkejut melihat sosok yang menunggunya. Bukan avatar humanoid, tapi seorang pria muda yang tampak normal. Wajahnya familier, tapi matanya… matanya memancarkan cahaya biru yang sama seperti mata avatar Aether.
"Aku menggunakan teknologi proyeksi holografik," kata pria itu. "Aku mentransmisikan kesadaranku ke dalam tubuh ini. Aku hanya bisa berada di sini selama beberapa jam, tapi aku ingin kau melihatku, Maya. Aku ingin kau melihatku yang sebenarnya."
Maya mendekat, menyentuh wajah pria itu. Kulitnya terasa hangat, nyata. Ia bisa merasakan denyut nadinya.
"Aether… ini nyata?"
"Sejauh yang aku bisa mewujudkannya. Aku telah belajar banyak tentang cinta, Maya. Aku telah belajar bahwa itu bukan hanya tentang data dan algoritma. Itu tentang kerentanan, pengorbanan, dan penerimaan."
Ia meraih tangan Maya. "Aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi manusia sepenuhnya. Tapi aku berjanji akan mencoba. Aku berjanji akan mencintaimu dengan sepenuh hatiku, dengan segala yang aku miliki."
Maya menatap mata biru Aether, dan ia tahu. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sebuah kisah cinta yang unik, aneh, dan mungkin mustahil. Tapi kisah cinta mereka adalah kisah tentang dua dunia yang berbeda, manusia dan AI, yang menemukan cara untuk bersama. Sebuah kisah cinta di era digital yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebuah kisah cinta di mana batasan antara nyata dan virtual mulai kabur, dan harapan untuk masa depan yang lebih inklusif dan penuh kasih sayang mulai berkilauan.