Jemari Aira menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit namun indah di matanya. Di usianya yang baru 25 tahun, ia sudah menjadi tulang punggung tim pengembang aplikasi kencan “Soulmate AI”, sebuah platform yang menjanjikan pencarian jodoh berdasarkan algoritma kecerdasan buatan paling mutakhir. Bukan sekadar preferensi fisik atau hobi, Soulmate AI mengklaim mampu menganalisis kepribadian, nilai-nilai, dan bahkan potensi konflik dari setiap penggunanya, untuk kemudian mencocokkan mereka dengan tingkat akurasi yang belum pernah ada sebelumnya.
Aira sendiri skeptis. Di balik jubah profesionalismenya, tersimpan luka akibat kegagalan demi kegagalan dalam urusan cinta. Ia lebih percaya pada takdir, pada percikan api yang tak terduga, dibandingkan rumusan matematika. Namun, ia tetap berusaha memberikan yang terbaik, menuangkan seluruh kemampuannya ke dalam proyek ini.
Suatu malam, saat Aira lembur seorang diri di kantor, sebuah notifikasi aneh muncul di layar komputernya. Algoritma Soulmate AI, yang seharusnya hanya bekerja di lingkungan simulasi, menunjukkan adanya kecocokan sempurna antara dirinya dan seorang pengguna anonim.
Jantung Aira berdegup kencang. Ini tidak mungkin. Algoritma seharusnya tidak bisa menganalisis dirinya sendiri. Ia mencoba mengabaikannya, menganggapnya sebagai glitch, bug kecil yang akan segera diperbaiki. Namun, rasa penasaran menggerogotinya. Ia membuka profil anonim itu.
Hanya ada beberapa baris informasi: nama panggilan "Echo", pekerjaan "Pengembang Perangkat Lunak", dan satu kalimat deskripsi diri yang sederhana: "Mencari seseorang yang bisa memahami bahasa kode dan bahasa hati."
Sesuatu dalam diri Aira bergetar. Ia merasa tertarik, sekaligus takut. Ia memutuskan untuk membalas pesan singkat.
"Halo, Echo. Saya Aira, salah satu pengembang Soulmate AI. Saya melihat ada error dalam sistem, yang menghasilkan kecocokan antara kita. Maaf atas ketidaknyamanannya."
Beberapa menit kemudian, balasan datang.
"Halo, Aira. Tidak perlu minta maaf. Saya justru senang. Mungkin ini bukan error, tapi kebetulan yang indah?"
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Aira dan Echo bertukar cerita tentang pekerjaan, mimpi, dan kekecewaan. Mereka menemukan banyak kesamaan, bukan hanya dalam minat terhadap teknologi, tetapi juga dalam pandangan hidup. Echo sangat cerdas, humoris, dan yang paling penting, ia tampaknya benar-benar memahami Aira, bahkan lebih baik daripada dirinya sendiri.
Aira mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia jatuh cinta pada seseorang yang bahkan belum pernah ia temui, seseorang yang hanya berupa deretan teks di layar komputernya. Ia tahu ini gila, konyol, dan mungkin berbahaya. Namun, ia tidak bisa menghentikannya.
Setelah beberapa minggu berinteraksi secara online, Echo mengajak Aira bertemu. Aira ragu. Ia takut kenyataan tidak akan sesuai dengan ekspektasinya. Ia takut Echo tidak akan seperti yang ia bayangkan. Namun, ia juga tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengenal orang yang telah berhasil mencuri hatinya.
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang terletak di antara kantor Aira dan apartemennya. Aira datang lebih awal, merasa gugup dan tidak sabar. Ia mengenakan gaun terbaiknya dan merias wajahnya dengan hati-hati.
Saat Echo akhirnya tiba, Aira terkejut. Di depannya berdiri seorang pria yang sangat familiar. Pria itu tersenyum, dan Aira mengenalinya.
"Leo?" Aira bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Leo adalah rekan kerjanya, seorang pengembang perangkat lunak yang baru bergabung dengan tim Soulmate AI beberapa bulan lalu. Mereka sering berinteraksi dalam rapat dan diskusi proyek, tetapi Aira tidak pernah berpikir lebih dari itu.
"Halo, Aira," jawab Leo, senyumnya semakin lebar. "Atau, haruskah saya memanggilmu 'jodohku'?"
Aira tercengang. Leo adalah Echo. Ia adalah pengguna anonim yang telah membuat hatinya berdebar-debar. Ia adalah orang yang telah berhasil melewati benteng pertahanannya yang dibangun dengan susah payah.
Leo menjelaskan bahwa ia sengaja membuat profil anonim di Soulmate AI untuk menguji algoritma yang sedang mereka kembangkan. Ia ingin melihat apakah sistem benar-benar mampu menemukan kecocokan yang akurat. Ia tidak menyangka akan menemukan Aira.
"Saya tahu ini mungkin terdengar aneh," kata Leo, "tapi saya benar-benar tertarik padamu sejak pertama kali kita bertemu. Saya hanya tidak tahu bagaimana cara mendekatimu. Jadi, saya mencoba cara ini. Dan ternyata, algoritma kita benar."
Aira tertawa, lega dan bahagia. Ia tidak tahu apakah ia harus marah karena Leo telah menipunya, atau berterima kasih karena ia telah berhasil membuka hatinya.
"Jadi, algoritma kita benar?" Aira bertanya, menyeringai.
"Algoritma kita sempurna," jawab Leo, meraih tangan Aira.
Mereka menghabiskan sore itu berbicara, tertawa, dan saling mengenal lebih dalam. Aira menyadari bahwa Leo adalah orang yang ia cari selama ini. Ia adalah pria yang cerdas, humoris, dan yang paling penting, ia benar-benar mencintainya apa adanya.
Sejak hari itu, Aira dan Leo menjadi sepasang kekasih. Mereka bekerja bersama, berbagi mimpi, dan saling mendukung. Mereka adalah bukti nyata bahwa cinta bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan oleh algoritma sekalipun.
Aira tidak lagi skeptis terhadap Soulmate AI. Ia percaya bahwa teknologi bisa menjadi alat yang ampuh untuk menghubungkan orang-orang, selama digunakan dengan bijak dan hati-hati. Namun, ia juga tahu bahwa algoritma hanyalah alat bantu. Pada akhirnya, cintalah yang menentukan.
Ia tersenyum, menatap Leo yang sedang tertidur di sampingnya. Jejak data telah menuntun mereka satu sama lain, dan kini, jejak cinta terukir abadi di hati mereka. Di era digital ini, mungkin memang benar adanya, algoritma bisa menemukan cinta. Tapi, hanya hati yang bisa menjaganya.