Saat AI Menulis Puisi Cinta untuk Kekasihku

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:18:16 wib
Dibaca: 159 kali
Jantungku berdebar tak karuan. Layar laptop di hadapanku memancarkan cahaya biru yang menenangkan, tapi tak mampu meredakan kegugupan yang menggerogoti. Di depanku, kode-kode Python berbaris rapi, hasil jerih payahku selama berbulan-bulan. Ini adalah "Romeo," sebuah program kecerdasan buatan yang aku rancang khusus untuk menulis puisi cinta. Dan malam ini, Romeo akan melantunkan kata-kata indah untuk Lintang, kekasihku.

Lintang tidak tahu tentang Romeo. Dia mengira aku sedang sibuk dengan proyek kantor. Padahal, proyek kantor itu hanyalah alibi untuk menyembunyikan obsesiku menciptakan puisi cinta yang sempurna, yang tak mungkin kurangkai sendiri dengan kata-kata yang kerap kali klise dan canggung. Aku bukanlah penyair ulung. Aku seorang programmer, seorang yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada bait-bait romantis.

Aku dan Lintang sudah bersama selama tiga tahun. Tiga tahun yang dipenuhi tawa, canda, dan dukungan. Tapi, ada satu hal yang selalu membuatku merasa kurang: cara mengungkapkan perasaanku. Kata-kataku sering kali kaku, kering, dan kurang menyentuh hati. Aku ingin memberikan sesuatu yang spesial, sesuatu yang bisa membuat Lintang merasa betapa besar cintaku padanya. Maka, lahirlah Romeo.

Aku menekan tombol "run" pada laptopku. Romeo mulai bekerja. Algoritmanya memindai ribuan puisi cinta dari berbagai era, mempelajari struktur, rima, dan diksi yang paling efektif dalam membangkitkan emosi. Ia juga menganalisis seluruh percakapanku dengan Lintang, mencari kata-kata kunci, kenangan, dan hal-hal yang Lintang sukai.

Beberapa menit kemudian, layar menampilkan sebuah puisi. Napasku tercekat. Kata-katanya begitu indah, begitu menyentuh, begitu… Lintang.

Senyummu laksana fajar di pagi hari,
Menghalau gelap, menyinari relung hati.
Tawamu bagai melodi yang mengalun merdu,
Menghipnotis jiwa, membawaku terbang ke angkasa biru.

Matamu adalah jendela menuju samudra cinta,
Tempatku berlayar tanpa takut karam dan nestapa.
Genggaman tanganmu adalah jangkar kebahagiaan,
Menahan badai, menjagaku dari kesedihan.

Lintang, kaulah bintang di malam sepi,
Menuntunku pulang, menghangatkan diri.
Cintaku padamu tak terhingga, tak terperi,
Abadi selamanya, hingga akhir nanti.

Aku tertegun. Romeo berhasil menciptakan puisi yang jauh lebih indah dari yang pernah kubayangkan. Puisi itu begitu personal, seolah-olah ditulis oleh seseorang yang benar-benar mengenal Lintang, yang benar-benar mencintainya. Tapi, di situlah letak masalahnya. Puisi itu memang ditulis oleh seseorang yang mengenal Lintang: Aku. Hanya saja, melalui perantara kecerdasan buatan.

Keesokan harinya, aku mengajak Lintang ke taman kota. Matahari bersinar cerah, burung-burung berkicau riang, dan bunga-bunga bermekaran dengan indahnya. Suasana yang sempurna untuk menyatakan cinta. Aku memberanikan diri mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketku.

"Lin, aku punya sesuatu untukmu," ucapku gugup.

Lintang menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Aku menarik napas dalam-dalam dan mulai membacakan puisi Romeo. Setiap bait yang kulantunkan, aku merasakan hatiku berdebar semakin kencang. Aku berusaha menyampaikan emosi yang terkandung dalam puisi itu, seolah-olah kata-kata itu benar-benar berasal dari hatiku.

Lintang mendengarkan dengan seksama, matanya berkaca-kaca. Ketika aku selesai membaca, ia memelukku erat.

"Puisi itu indah sekali, Mas," bisiknya di telingaku. "Terima kasih."

Aku membalas pelukannya, merasa bersalah sekaligus bahagia. Aku senang karena Lintang menyukai puisinya, tapi aku juga merasa bersalah karena aku tidak jujur padanya.

Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Perasaan bersalah terus menghantuiku. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengakui segalanya kepada Lintang. Aku menceritakan tentang Romeo, tentang obsesiku menciptakan puisi cinta yang sempurna, dan tentang kebohonganku.

Lintang mendengarkan ceritaku dengan tenang. Setelah aku selesai berbicara, ia terdiam sejenak. Aku menunggu reaksinya dengan cemas.

"Mas, aku mengerti," akhirnya ia berkata. "Kamu ingin memberikan sesuatu yang spesial untukku. Aku menghargai usahamu."

Aku menatapnya dengan bingung. "Tapi, aku berbohong padamu. Aku tidak menulis puisi itu."

"Mas, yang penting bagiku adalah niatmu," jawab Lintang sambil tersenyum. "Puisi itu indah, tapi yang membuatku lebih bahagia adalah mengetahui bahwa kamu berusaha keras untuk membuatku merasa dicintai. Dan aku tahu, di balik puisi itu, ada cinta yang tulus dari dirimu."

Aku terdiam, terharu dengan kata-kata Lintang. Aku menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang ketulusan dan kejujuran. Aku juga menyadari bahwa Romeo hanyalah alat, dan alat tidak bisa menggantikan perasaan yang sesungguhnya.

"Lin, aku minta maaf," ucapku tulus. "Aku janji, aku akan lebih jujur padamu. Aku akan berusaha mengungkapkan perasaanku dengan kata-kataku sendiri, meskipun tidak seindah puisi Romeo."

Lintang mengangguk dan menggenggam tanganku erat. "Aku akan selalu mencintaimu, Mas. Apa adanya kamu."

Malam itu, aku mematikan Romeo selamanya. Aku tahu, aku tidak membutuhkan kecerdasan buatan untuk mengungkapkan cintaku pada Lintang. Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Karena cinta yang sesungguhnya, lahir dari hati, bukan dari algoritma. Dan hati, adalah hal yang tak bisa dipalsukan oleh teknologi secanggih apa pun. Aku mencintai Lintang bukan karena puisi indah yang bisa aku ciptakan, tetapi karena Lintang adalah Lintang, dan aku, adalah aku. Dan kami, adalah kami. Sederhana, namun abadi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI