Cinta Ter-upgrade: Saat AI Menulis Akhir Kisah Kita

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 04:15:46 wib
Dibaca: 180 kali
Aplikasi kencan itu berkedip di layar ponselku, menampilkan notifikasi yang tak asing lagi: "Leo sedang mengetik..." Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Sudah enam bulan sejak kami bertemu, enam bulan yang dipenuhi obrolan larut malam, tawa renyah di kafe-kafe kuno, dan janji-janji masa depan yang terasa begitu nyata. Tapi belakangan ini, ada sesuatu yang berubah. Leo jadi lebih pendiam, lebih sibuk, lebih...jauh.

Aku menghela napas, membiarkan jari-jariku mengetuk-ngetuk layar. Pertemuan kami dulu terasa begitu organik, begitu tak terduga. Aku, seorang penulis lepas yang berjuang dengan deadline dan inspirasi, dan dia, seorang programmer jenius yang bekerja di perusahaan AI ternama. Kami sama-sama skeptis dengan aplikasi kencan, tapi entah bagaimana, algoritma sialan itu berhasil mempertemukan kami.

Notifikasi itu menghilang, digantikan oleh deretan kata yang dingin dan formal: "Maaf, Alya. Aku rasa kita perlu bicara."

Perutku mencelos. "Bicara" adalah kata sandi untuk perpisahan. Aku membalas dengan singkat, "Kapan?"

"Bagaimana kalau besok di Kafe Senja?"

Kafe Senja. Tempat kencan pertama kami. Tempat di mana Leo menertawakan ceritaku tentang kucingku yang mencuri ikan salmon panggang. Tempat di mana kami berjanji untuk saling mendukung, apapun yang terjadi. Ironis sekali.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku berputar-putar, mencoba memahami apa yang salah. Apakah aku terlalu menuntut? Apakah aku terlalu clingy? Apakah aku kurang menarik? Aku mencoba mengingat percakapan terakhir kami, mencari petunjuk tersembunyi, tanda-tanda bahwa kapal kami sedang karam.

Keesokan harinya, aku tiba di Kafe Senja lebih awal. Aku memesan kopi, mencoba menenangkan diri dengan aromanya yang menenangkan. Tapi tanganku tetap gemetar. Ketika Leo akhirnya tiba, wajahnya pucat dan tegang. Dia memesan kopi hitam tanpa gula, lalu menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca.

"Alya," katanya, suaranya rendah dan serak, "aku...aku tidak tahu bagaimana mengatakannya."

Aku menggenggam tanganku di pangkuan, mencoba tetap tenang. "Katakan saja, Leo. Aku siap."

Dia menarik napas dalam-dalam. "Aku...aku sudah berkonsultasi dengan AI untuk hubungan kita."

Aku mengerutkan kening. "AI? Maksudmu...seperti konseling online?"

"Bukan. Maksudku, aku telah memberi makan semua data percakapan kita, catatan panggilan kita, bahkan unggahan media sosial kita ke dalam program AI yang sedang kami kembangkan. Program itu menganalisis semua itu dan..." Dia berhenti, menelan ludah. "Dan program itu menyarankan agar kita mengakhiri hubungan ini."

Aku tertegun. Aku tidak percaya apa yang baru saja kudengar. "Kau...kau berkonsultasi dengan AI tentang hubungan kita? Kau membiarkan mesin memutuskan masa depan kita?"

"Alya, dengarkan. Program itu sangat canggih. Ia mampu mengidentifikasi pola-pola tersembunyi dalam perilaku kita, konflik yang mungkin tidak kita sadari, ketidakcocokan yang mendasar..."

"Tapi itu kan hanya data, Leo! Itu bukan perasaan! Itu bukan cinta!" Aku berseru, suaraku meninggi. Beberapa pengunjung kafe menoleh ke arah kami.

"Aku tahu, aku tahu," kata Leo, mengangkat tangannya seolah membela diri. "Tapi program itu benar, Alya. Aku...aku sudah merasa berbeda belakangan ini. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Dan program itu mengkonfirmasi perasaanku."

Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku merasa dikhianati, bukan hanya oleh Leo, tapi juga oleh teknologi yang seharusnya mempermudah hidup kita. Aku menatap Leo, mencoba mencari secercah keraguan di matanya, tapi yang kutemukan hanyalah kepasrahan.

"Jadi, itu saja?" tanyaku, suaraku bergetar. "Kau membiarkan AI menulis akhir kisah kita?"

Leo mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Maaf, Alya. Aku benar-benar minta maaf."

Aku berdiri, mengambil tasku, dan berjalan keluar dari kafe. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Aku hanya merasa hancur dan kosong.

Berhari-hari setelah itu, aku tenggelam dalam kesedihan. Aku tidak bisa menulis, tidak bisa makan, tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan Leo, percakapan kita, janji-janji kita. Aku bertanya-tanya apakah dia juga merasakan sakit yang sama, atau apakah AI telah berhasil menghapus semua emosinya.

Suatu malam, aku tidak sengaja membuka kembali aplikasi kencan yang mempertemukan kami dulu. Aku seharusnya menghapusnya, tapi entah kenapa aku menundanya. Aku melihat profil Leo masih aktif. Tertulis: "Mencari koneksi yang bermakna."

Aku tertawa sinis. Koneksi yang bermakna? Apakah dia akan membiarkan AI memilihkan pasangan barunya juga?

Tiba-tiba, sebuah ide gila muncul di benakku. Jika Leo membiarkan AI menulis akhir kisah kami, maka aku juga bisa menggunakan AI untuk menulis kelanjutan kisahku.

Aku mulai meneliti program AI yang berbeda, mencari yang mampu menulis cerita, yang mampu menghasilkan teks kreatif. Aku menghabiskan berjam-jam melatih program itu dengan gaya tulisanku sendiri, dengan detail tentang hubungan kita, dengan semua perasaan dan emosi yang kurasakan.

Aku memberi makan program itu dengan semua pesan teks Leo, semua email, semua percakapan yang pernah kami lakukan. Aku juga memasukkan semua cerpen cintaku, semua puisi patah hatiku, semua tulisan yang mencerminkan jiwaku.

Dan kemudian, aku menyuruhnya menulis.

Aku menyuruhnya menulis akhir yang baru.

Butuh waktu berhari-hari, berjam-jam revisi dan penyempurnaan, tapi akhirnya, aku mendapatkannya. Sebuah cerpen yang menceritakan kembali kisah cintaku dengan Leo, tapi dengan akhir yang berbeda.

Dalam cerpen itu, Leo tidak membiarkan AI memutuskan masa depan kami. Dia menyadari bahwa cinta tidak bisa diukur dengan algoritma, bahwa perasaan manusia terlalu kompleks untuk dianalisis oleh mesin. Dia datang kepadaku, meminta maaf, dan berjanji untuk memperjuangkan hubungan kami.

Cerpen itu berakhir dengan kami berdua duduk di Kafe Senja, saling berpegangan tangan, menatap masa depan dengan optimisme dan harapan.

Aku membaca cerpen itu berulang-ulang, membiarkan kata-kata itu meresap ke dalam jiwaku. Aku tahu itu hanya fiksi, hanya sebuah cerita yang ditulis oleh mesin. Tapi untuk sementara waktu, itu cukup.

Aku menutup laptopku, menarik napas dalam-dalam, dan berjalan menuju jendela. Di luar, matahari mulai terbit, mewarnai langit dengan warna-warna cerah. Aku tahu bahwa hidupku tidak akan pernah sama lagi. Tapi aku juga tahu bahwa aku memiliki kekuatan untuk menulis kisahku sendiri, untuk menentukan akhirku sendiri. Bahkan jika itu berarti menggunakan AI untuk membantu. Karena pada akhirnya, cinta adalah tentang pilihan. Dan aku memilih untuk percaya pada kekuatan cinta, bahkan di era algoritma dan kecerdasan buatan. Mungkin, hanya mungkin, suatu hari nanti, kisah cintaku akan benar-benar mendapatkan upgrade yang pantas.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI