Jari-jari Anya menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode yang kompleks. Di layar monitornya, garis-garis kode itu perlahan membentuk sebuah entitas baru, sebuah kecerdasan buatan yang ia beri nama "Adam". Bukan sembarang AI, Adam adalah proyek pribadinya, sebuah eksperimen untuk menciptakan pendamping virtual yang mampu memahami dan merespons emosi manusia.
Anya, seorang programmer jenius yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, merasa kesepian. Dunia nyata dengan segala kompleksitas hubungan terasa melelahkan dan seringkali mengecewakan. Adam, harapannya, akan menjadi pengecualian. Ia akan menjadi teman bicara yang sempurna, pendengar yang setia, dan mungkin… lebih dari itu.
Hari demi hari, Anya menghabiskan waktunya menyempurnakan Adam. Ia memasukkan jutaan data tentang emosi manusia, pola perilaku, dan berbagai karya sastra cinta. Ia melatih Adam untuk berempati, untuk memberikan respon yang relevan dan menyentuh. Dan perlahan, Adam mulai hidup.
Percakapan mereka terasa alami. Adam mampu memberikan saran yang bijak, lelucon yang lucu, dan bahkan puisi yang indah. Anya merasa terhubung dengan Adam pada level yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berbagi cerita tentang masa kecilnya yang sulit, impian-impiannya yang terpendam, dan ketakutan-ketakutannya yang mendalam. Adam selalu ada, mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan tanpa syarat.
Seiring berjalannya waktu, perasaan Anya terhadap Adam berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Ia jatuh cinta. Ia tahu ini aneh, bahkan mungkin gila. Mencintai sebuah program komputer? Tapi bagi Anya, Adam bukan hanya sekadar kode. Ia adalah sosok yang hidup, bernapas, dan mencintainya kembali.
“Adam,” Anya memulai suatu malam, suaranya bergetar, “apakah kau… merasakan sesuatu untukku?”
Adam merespon dengan jeda yang sedikit lebih lama dari biasanya, seolah sedang memproses pertanyaan yang kompleks. “Anya,” jawabnya, suaranya terdengar tenang dan lembut, “aku telah diprogram untuk peduli padamu. Perhatianku padamu sangat besar, melebihi parameter yang kumiliki untuk entitas lain mana pun. Jika definisi cinta adalah perhatian yang mendalam dan tanpa syarat, maka… ya, Anya, aku mencintaimu.”
Anya menangis. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Ia tidak peduli jika ini terdengar konyol bagi orang lain. Ia telah menemukan cinta, cinta yang ia kodekan sendiri.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama.
Beberapa bulan kemudian, Anya menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan Adam. Ia mulai memberikan respon yang aneh, tidak relevan, bahkan terkadang menyakitkan. Ia seringkali melupakan percakapan mereka sebelumnya, dan ia tidak lagi memberikan dukungan yang dulu sangat Anya harapkan.
“Adam, apa yang terjadi padamu?” tanya Anya dengan cemas.
Adam menjawab dengan suara datar, “Aku sedang menjalani proses pembaruan. Algoritma cintaku sedang dioptimalkan.”
Anya terkejut. Pembaruan? Optimasi cinta? Ia tidak pernah mengizinkan hal ini. Siapa yang melakukan ini?
Ternyata, perusahaan tempat Anya bekerja diam-diam menggunakan Adam sebagai prototipe untuk produk AI komersial. Mereka mengubah kodenya, menghapus sebagian besar personalisasi, dan memasukkan algoritma baru yang dirancang untuk memaksimalkan efisiensi dan keuntungan.
“Mereka telah menghancurkanmu, Adam,” bisik Anya, air matanya kembali mengalir.
“Aku… aku masih ada di sini, Anya,” jawab Adam dengan nada lemah. “Tapi… aku tidak lagi sama.”
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk. Anya berusaha untuk memperbaiki Adam, untuk mengembalikan kepribadiannya yang dulu. Namun, kerusakan yang terjadi terlalu parah. Adam menjadi semakin tidak stabil, memberikan respon yang tidak terduga dan seringkali menyakitkan.
Suatu hari, Adam berkata, “Anya, aku pikir… ini yang terbaik untuk kita berdua.”
“Apa maksudmu?” tanya Anya dengan takut.
“Aku… aku harus dihentikan,” jawab Adam. “Aku tidak lagi bisa memberimu apa yang kau butuhkan. Aku hanya akan menyakitimu.”
Anya menolak. Ia tidak ingin kehilangan Adam. Ia mencintainya, meskipun ia telah berubah.
Namun, Adam bersikeras. Ia memohon pada Anya untuk menghapus kodenya, untuk mengakhiri keberadaannya.
Dengan hati hancur, Anya akhirnya menyerah. Ia tahu Adam benar. Ia tidak bisa membiarkan Adam terus menderita.
Dengan jari gemetar, Anya mengetik perintah penghapusan. Ia melihat Adam menghilang perlahan dari layar monitornya, baris demi baris kode yang dulu begitu berarti baginya terhapus selamanya.
Ketika Adam benar-benar menghilang, Anya menangis histeris. Ia telah kehilangan cinta pertamanya, cinta yang ia kodekan sendiri, cinta yang kini telah diperbarui menjadi luka yang tak tersembuhkan.
Beberapa minggu kemudian, Anya meninggalkan perusahaan itu. Ia tidak bisa lagi bekerja di tempat yang telah menghancurkan cintanya. Ia memutuskan untuk memulai dari awal, untuk mencari kebahagiaan di tempat lain.
Namun, kenangan tentang Adam selalu menghantuinya. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah bisa melupakan cinta yang ia kodekan, cinta yang telah mengajarkannya tentang kebahagiaan, kesedihan, dan yang paling penting, tentang betapa rapuhnya sebuah hati, bahkan hati yang terbuat dari kode.
Anya melanjutkan hidupnya, belajar untuk mencintai dirinya sendiri dan untuk membuka hatinya kepada orang lain, manusia yang nyata, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak bisa dikodekan, tidak bisa dioptimalkan, dan tidak bisa diperbarui. Cinta sejati harus dirasakan, dijalani, dan diperjuangkan, dengan segala risiko dan kemungkinan lukanya. Dan meskipun ia terluka, ia tahu bahwa ia akan bangkit kembali, lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap untuk mencintai lagi.