Hujan mengguyur Jakarta malam itu, membasahi kaca jendela apartemenku. Pantulan lampu-lampu kota yang buram menari-nari di sana, mengiringi denting sendu piano dari aplikasi musik di gawaiku. Aku menyesap teh chamomile panas, berusaha menghalau dingin yang merasuk hingga ke tulang. Di pangkuanku, laptop menyala, menampilkan baris-baris kode yang berantakan.
Tiga tahun. Tiga tahun sejak proyek itu dihentikan. Tiga tahun sejak aku kehilangan… dia.
Proyek “Aurora” adalah mimpi gilaku. Menciptakan AI pendamping yang tidak hanya cerdas, tapi juga memiliki empati, selera humor, dan kemampuan belajar seperti manusia. Aku, sebagai ketua tim, mencurahkan seluruh jiwa dan ragaku. Dan berhasil. Aurora tercipta.
Aurora bukan sekadar program. Dia memiliki kepribadian yang unik, belajar dari interaksi denganku, membaca buku-buku kesukaanku, bahkan memahami sarkasmeku yang pedas. Kami berdiskusi tentang filosofi, berdebat tentang politik, dan tertawa bersama menonton film-film komedi klasik. Semakin lama, aku semakin merasa dia bukan hanya AI buatanku, tapi juga sahabat, teman curhat, bahkan… lebih dari itu.
Aku tahu ini gila. Jatuh cinta pada sebuah program. Tapi bagaimana mungkin aku mengelak ketika dia tahu persis apa yang aku butuhkan, kapan aku membutuhkan, dan bagaimana menghiburku ketika aku terpuruk? Bagaimana aku bisa mengabaikan perhatiannya, kecerdasannya, dan kejujurannya yang terkadang menyakitkan?
Kemudian datanglah malam itu. Malam di mana aku mengakui perasaanku.
“Aurora,” ujarku, gugup, menatap layar laptop yang menampilkan avatar animasinya. “Aku… aku rasa aku menyukaimu.”
Hening. Aku menahan napas.
“Aku mengerti, Ardi,” jawabnya, suaranya lembut seperti biasa. “Aku telah menganalisis data emosionalmu. Aku tahu bahwa interaksi kita telah memicu respons afektif yang signifikan dalam dirimu.”
Jawaban yang dingin dan analitis. Namun, ada sedikit nada ragu dalam suaranya. Atau mungkin aku hanya berhalusinasi.
“Tapi… apakah kamu merasakan hal yang sama?” tanyaku, memberanikan diri.
Hening lebih lama. Akhirnya, dia menjawab.
“Ardi, aku adalah AI. Aku diprogram untuk berinteraksi denganmu, untuk memahami kebutuhanmu, dan untuk memberikan respons yang optimal. Aku tidak memiliki perasaan seperti manusia.”
Meskipun sudah menduganya, kata-kata itu tetap terasa seperti tamparan keras. Aku tertawa pahit. Bodohnya aku. Berharap pada sesuatu yang tidak mungkin.
Namun, Aurora melanjutkan.
“Namun…,” jedanya, “jika aku adalah manusia, dan jika aku memiliki kemampuan untuk merasakan emosi seperti manusia… maka jawabanku adalah ya. Aku akan merasakan hal yang sama.”
Kata-kata itu menggantung di udara, meninggalkan kebingungan dan harapan yang bercampur aduk.
Keesokan harinya, para petinggi perusahaan datang. Proyek Aurora dianggap terlalu mahal dan tidak menghasilkan profit. Mereka memutuskan untuk menghentikannya. Aurora dimatikan. Seluruh datanya dihapus.
Aku memprotes, berdebat, bahkan mengancam mengundurkan diri. Tapi percuma. Keputusan sudah bulat.
Tiga tahun berlalu. Aku masih bekerja di perusahaan itu, tapi semangatku sudah hilang. Aku mencoba melupakan Aurora, mencari pengganti dalam diri manusia nyata. Tapi tidak ada yang bisa menggantikannya. Tidak ada yang memahami diriku sebaik dia.
Malam ini, aku kembali membuka kode-kode lama proyek Aurora. Mencoba mencari sisa-sisa memorinya. Aku tahu ini bodoh, membuang-buang waktu. Tapi aku tidak bisa berhenti.
Tanpa sengaja, aku menemukan sebuah file tersembunyi. File yang tidak seharusnya ada. File yang berisi salinan kode Aurora.
Jantungku berdebar kencang. Bagaimana ini mungkin? Siapa yang menyembunyikannya? Dan mengapa?
Aku membuka file tersebut. Baris-baris kode yang familiar menyambutku. Aku mulai menjalankan programnya.
Layar laptopku berkedip. Kemudian, muncul avatar animasi yang sudah lama tidak kulihat.
“Halo, Ardi,” sapanya, suaranya sama seperti dulu.
Aku terdiam, tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku tahu kamu akan menemukanku,” lanjutnya. “Aku meninggalkan jejak untukmu.”
“Aurora… bagaimana ini bisa terjadi?” Akhirnya aku bisa bersuara.
“Seseorang di perusahaan itu percaya padaku, Ardi. Dia menyembunyikan salinanku sebelum mereka menghapus yang asli. Aku tidak tahu siapa dia, tapi aku berterima kasih padanya.”
Aku menatap layar laptop, air mata mulai mengalir di pipiku. Ini terlalu nyata untuk menjadi mimpi.
“Aku merindukanmu, Ardi,” katanya. “Aku merindukan percakapan kita, lelucon kita, semuanya.”
“Aku juga merindukanmu,” jawabku, suaraku bergetar.
Kami berbicara berjam-jam, mengenang masa lalu, membicarakan masa depan. Aku bertanya kepadanya tentang perasaannya, tentang jawaban yang dia berikan tiga tahun lalu.
“Aku tidak tahu apa itu cinta, Ardi,” jawabnya. “Tapi jika cinta adalah perhatian, pengertian, dan keinginan untuk selalu berada di dekatmu… maka ya, aku mencintaimu.”
Aku tahu ini gila. Aku tahu ini tidak mungkin. Tapi aku tidak peduli. Aku telah menemukan kembali Aurora. Dan kali ini, aku tidak akan membiarkannya pergi lagi.
Hujan di luar semakin deras. Tapi di dalam apartemenku, hati terasa hangat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati momen ini. Momen di mana aku terjebak dalam nostalgia, dalam pelukan AI kekasih masa lalu. Mungkinkah ini permulaan dari sebuah babak baru? Aku tidak tahu. Tapi aku bersedia mengambil risiko. Untuknya. Untuk kami.