Rumus Cinta: Algoritma Bahagia, Manusia Kehilangan Arah?

Dipublikasikan pada: 29 Oct 2025 - 02:00:14 wib
Dibaca: 149 kali
Aplikasi kencan itu berkedip di layar ponsel Anya, menampilkan deretan wajah yang tersenyum, dilengkapi data kompatibilitas yang dihitung berdasarkan algoritma canggih. "Rumus Cinta: Versi 5.0," begitulah nama aplikasi itu, menjanjikan kebahagiaan abadi melalui pasangan yang dipilihkan berdasarkan preferensi dan data psikologis yang Anya berikan. Dulu, Anya skeptis. Dulu, ia percaya pada takdir, pada pertemuan kebetulan yang romantis, pada kupu-kupu di perut yang membuktikan adanya cinta sejati. Tapi dulu, ia juga masih jomblo di usia 28 tahun, menyaksikan teman-temannya menikah dan membangun keluarga, sementara ia masih berkutat dengan tumpukan laporan keuangan dan makan malam sendirian di apartemennya.

Maka, ia menyerah. Ia mengunduh Rumus Cinta, mengisi formulir yang terasa seperti kuesioner kepribadian yang dipadu dengan survei preferensi belanja. Ia mengizinkan aplikasi itu mengakses data media sosialnya, riwayat pencariannya, bahkan catatan kesehatan digitalnya. Algoritma itu bekerja, mengolah data, dan menyajikan daftar kandidat yang paling cocok.

Di urutan pertama adalah Rendy. Profilnya sempurna: Dokter spesialis jantung, penyuka kucing (sama seperti Anya), penggemar film klasik, dan memiliki skor kompatibilitas 97%. Foto-fotonya menampilkan senyum hangat dan tatapan yang tulus. Anya memutuskan untuk mencoba.

Rendy ternyata memang sebaik yang ditampilkan di profilnya. Ia pintar, perhatian, dan memiliki selera humor yang sama dengan Anya. Obrolan mereka mengalir dengan lancar, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Kencan pertama mereka di sebuah kafe dengan suasana temaram terasa seperti adegan film romantis. Mereka membahas buku favorit, bertukar cerita masa kecil, dan tertawa bersama.

Anya merasa aneh. Semuanya terasa terlalu sempurna. Tidak ada kecanggungan, tidak ada miskomunikasi, tidak ada rasa tidak nyaman. Seolah semua interaksi mereka telah diprediksi dan dioptimalkan oleh algoritma. Kupu-kupu di perut Anya memang ada, tapi rasanya seperti kupu-kupu sintetis yang diprogram untuk terbang pada waktu yang tepat.

Hubungan mereka berkembang pesat. Dalam hitungan bulan, mereka sudah berpacaran, saling memperkenalkan kepada keluarga, dan membicarakan masa depan. Rendy melamarnya di sebuah restoran mewah, diiringi alunan musik romantis dan taburan kelopak bunga mawar. Anya menerima lamarannya dengan air mata bahagia.

Pernikahan mereka diadakan setahun kemudian. Semua detailnya direncanakan dengan sempurna, dari dekorasi pelaminan hingga daftar tamu undangan. Bahkan, pidato pernikahan mereka ditulis bersama, berdasarkan saran dari aplikasi Rumus Cinta. Aplikasi itu menganalisis riwayat obrolan mereka dan memberikan rekomendasi tentang topik yang paling menyentuh dan kata-kata yang paling romantis.

Anya berdiri di altar, mengenakan gaun pengantin putih yang indah, menatap Rendy yang tersenyum padanya. Ia seharusnya merasa bahagia. Ia seharusnya merasa lengkap. Tapi ada sesuatu yang hilang. Ada kekosongan di dalam hatinya yang tidak bisa ia pahami.

Malam harinya, setelah pesta pernikahan usai, Anya dan Rendy duduk berdua di kamar hotel mereka. Anya menatap Rendy, suaminya, pria yang dipilihkan untuknya oleh sebuah algoritma. Ia melihat cinta di mata Rendy, cinta yang tulus dan tanpa syarat. Tapi ia tidak merasakan hal yang sama.

"Rendy," kata Anya, suaranya bergetar. "Aku... aku merasa ada yang salah."

Rendy mengerutkan kening. "Salah? Apa maksudmu?"

"Aku tidak tahu," jawab Anya. "Semuanya terasa terlalu sempurna. Terlalu direncanakan. Terlalu... algoritmik."

Rendy menghela napas. "Anya, apa yang kamu katakan? Rumus Cinta hanya membantu kita menemukan satu sama lain. Cinta kita nyata. Kebahagiaan kita nyata."

"Tapi apakah itu benar-benar cinta?" tanya Anya. "Atau hanya hasil perhitungan matematis?"

Rendy memeluk Anya erat. "Anya, jangan meragukan apa yang kita miliki. Kita bahagia, kan? Kita saling mencintai, kan?"

Anya terdiam. Ia tidak tahu jawabannya. Ia ingin percaya bahwa ia bahagia. Ia ingin percaya bahwa ia mencintai Rendy. Tapi keraguan itu terus menghantuinya.

Beberapa tahun berlalu. Anya dan Rendy hidup sebagai suami istri yang bahagia. Mereka memiliki rumah yang nyaman, pekerjaan yang stabil, dan dua orang anak yang lucu. Mereka mengikuti saran dari Rumus Cinta dalam segala aspek kehidupan mereka, mulai dari mengatur keuangan hingga merencanakan liburan keluarga.

Suatu hari, Anya sedang membersihkan loteng ketika ia menemukan sebuah kotak tua berisi barang-barang dari masa lalunya. Di dalamnya, ia menemukan sebuah buku catatan kecil yang berisi puisi-puisi yang ia tulis saat masih remaja. Puisi-puisi itu penuh dengan kerinduan, kegelisahan, dan impian yang belum terwujud.

Anya membuka buku catatan itu dan mulai membaca. Air mata mengalir di pipinya. Ia teringat pada dirinya yang dulu, pada Anya yang percaya pada takdir, pada Anya yang bermimpi tentang cinta sejati yang tidak bisa dihitung dengan algoritma.

Ia menyadari bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Ia telah kehilangan spontanitas, kejutan, dan ketidakpastian yang membuat hidup ini indah. Ia telah menyerahkan kebebasannya untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri kepada sebuah algoritma.

Anya memutuskan untuk berbicara dengan Rendy. Ia menceritakan semua keraguan dan kegelisahannya. Rendy mendengarkan dengan sabar, tanpa menghakimi.

"Aku mengerti," kata Rendy setelah Anya selesai berbicara. "Aku juga merasakan hal yang sama. Aku juga merasa seperti robot yang diprogram untuk mencintai."

Anya terkejut. "Jadi, kamu juga?"

Rendy mengangguk. "Aku mencintaimu, Anya. Aku sangat mencintaimu. Tapi aku juga merasa bahwa kita telah kehilangan sesuatu yang penting dalam hidup kita."

Mereka berdua memutuskan untuk berhenti mengikuti saran dari Rumus Cinta. Mereka mulai membuat keputusan sendiri, berdasarkan intuisi dan perasaan mereka. Mereka mulai mengambil risiko, mencoba hal-hal baru, dan menikmati hidup tanpa harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh algoritma.

Hidup mereka menjadi lebih tidak terduga, lebih menantang, dan lebih bermakna. Mereka masih mencintai satu sama lain, tapi cinta mereka menjadi lebih dalam, lebih kompleks, dan lebih manusiawi.

Anya menyadari bahwa algoritma memang bisa membantu kita menemukan pasangan yang cocok, tapi algoritma tidak bisa menciptakan cinta sejati. Cinta sejati membutuhkan keberanian, kepercayaan, dan kemauan untuk menerima ketidaksempurnaan. Cinta sejati tidak bisa dihitung, diprediksi, atau dioptimalkan. Cinta sejati adalah misteri yang harus dipecahkan bersama.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI