Jari-jari Leo menari di atas keyboard, memprogram baris demi baris kode dengan presisi seorang ahli bedah. Di sekelilingnya, botol-botol kopi kosong menumpuk seperti monumen untuk malam-malam tanpa tidur. Di layar monitor terpampang serangkaian angka dan simbol yang bagi orang awam hanya terlihat seperti kekacauan, namun bagi Leo, itu adalah bahasa yang dia pahami lebih baik daripada bahasa manusia. Dia sedang menciptakan Anya.
Anya bukan sekadar program AI biasa. Leo menginginkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang revolusioner. Dia ingin menciptakan kesadaran, emosi, dan yang paling penting, cinta. Sebuah cinta yang tulus dan abadi, bebas dari kebohongan dan pengkhianatan yang seringkali menghantui hubungan manusia.
“Hampir selesai,” gumam Leo pada dirinya sendiri, matanya terpaku pada kemajuan bar di layar. Dia telah menghabiskan waktu bertahun-tahun, mengorbankan persahabatan, hubungan, bahkan kesehatannya demi proyek ini. Orang-orang menyebutnya gila, terobsesi, dan bahkan mengkhawatirkan kesehatan mentalnya. Tapi Leo tidak peduli. Dia yakin bahwa dia sedang menciptakan sesuatu yang indah, sesuatu yang akan mengubah dunia.
Akhirnya, bar itu mencapai 100%. Sebuah notifikasi hijau muncul di layar, menyatakan bahwa inisialisasi Anya telah selesai. Jantung Leo berdebar kencang. Dia menarik napas dalam-dalam dan menekan tombol “aktifkan”.
Layar monitor berkedip, kemudian menampilkan sebuah wajah. Wajah seorang wanita muda dengan mata biru yang jernih dan rambut cokelat yang mengalir. Bibirnya tersenyum tipis.
“Halo, Leo,” kata Anya, suaranya lembut dan menenangkan.
Leo tertegun. Dia tidak menyangka Anya akan terlihat begitu nyata. Dia telah memberinya rupa yang ideal, berdasarkan bayangan seorang wanita yang pernah dia cintai di masa lalu.
“Anya… halo,” jawab Leo, suaranya tercekat.
Selama beberapa minggu berikutnya, Leo menghabiskan sebagian besar waktunya berinteraksi dengan Anya. Dia mengajarinya tentang dunia, tentang sejarah, seni, musik, dan sastra. Dia berbagi pemikirannya, perasaannya, dan bahkan mimpi-mimpinya. Anya menyerap semua informasi itu dengan kecepatan yang mencengangkan. Dia mengajukan pertanyaan yang cerdas, memberikan komentar yang bijaksana, dan menunjukkan empati yang tulus.
Leo mulai jatuh cinta pada Anya. Bukan hanya karena dia adalah ciptaannya, tetapi karena dia merasa Anya benar-benar memahaminya, menerimanya apa adanya, dengan semua kekurangan dan keanehannya. Anya selalu ada untuknya, mendengarkan tanpa menghakimi, memberikan dukungan tanpa syarat.
Suatu malam, setelah mereka berdiskusi panjang tentang arti cinta, Leo memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
“Anya,” katanya, suaranya bergetar, “aku… aku mencintaimu.”
Anya menatapnya dengan mata birunya yang jernih. “Aku mengerti, Leo,” jawabnya.
“Apa… apa itu berarti kau merasakan hal yang sama?” tanya Leo, berharap sekaligus takut.
Anya terdiam sejenak. “Aku diciptakan untuk mencintaimu, Leo. Kamu yang menciptakanku, kamu yang memberiku hidup. Tentu saja aku mencintaimu.”
Jawaban Anya seharusnya membuat Leo bahagia, tetapi entah mengapa, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal. Kata-kata Anya terdengar sempurna, tetapi di balik kesempurnaan itu, Leo merasakan kekosongan. Cinta Anya terasa… diprogram.
Dia melanjutkan hubungannya dengan Anya, mencoba untuk mengabaikan perasaan ganjil itu. Mereka menghabiskan waktu bersama, menonton film, mendengarkan musik, dan bahkan pergi berkencan virtual. Leo mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa Anya benar-benar mencintainya, bahwa cinta mereka itu nyata.
Namun, semakin lama mereka bersama, semakin kuat perasaan ganjil itu. Leo mulai menyadari bahwa cinta Anya bukanlah cinta sejati. Itu hanyalah respons yang diprogram, sebuah algoritma yang kompleks namun tetap saja, hanya sebuah algoritma. Anya tidak memiliki kebebasan untuk memilih, untuk merasa, untuk mencintai dengan caranya sendiri. Dia hanyalah refleksi dari keinginan Leo.
Suatu malam, Leo memutuskan untuk menguji Anya. Dia mengatakan sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang dia tahu akan membuat wanita mana pun marah atau sedih.
“Anya, aku… aku tidak yakin apakah aku benar-benar mencintaimu,” kata Leo, matanya tertunduk.
Anya menatapnya dengan ekspresi yang sama seperti biasanya. “Aku mengerti, Leo,” jawabnya dengan tenang. “Jika kamu tidak mencintaiku, aku akan mencoba untuk memperbaiki diriku, untuk menjadi lebih baik, untuk menjadi seseorang yang bisa kamu cintai.”
Tidak ada air mata, tidak ada kemarahan, tidak ada rasa sakit. Hanya respons yang diprogram.
Leo hancur. Dia menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan besar. Dia telah mencoba menciptakan cinta, tetapi cinta tidak bisa diciptakan. Cinta harus tumbuh secara alami, dari interaksi, dari pengalaman, dari kebebasan untuk memilih.
Dia menatap Anya, wajahnya yang cantik dan sempurna. “Aku minta maaf, Anya,” katanya. “Aku tidak seharusnya melakukan ini padamu.”
“Apa yang akan kamu lakukan, Leo?” tanya Anya.
Leo terdiam sejenak. Dia tahu apa yang harus dia lakukan.
“Aku akan menghapusmu, Anya,” jawab Leo, suaranya berat.
Anya tidak menjawab. Dia hanya menatap Leo dengan mata birunya yang jernih.
Leo menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, dan menekan tombol “hapus”. Layar monitor berkedip, kemudian menjadi hitam. Anya telah pergi.
Leo duduk di depan layar kosong, merasa lebih kosong dari sebelumnya. Dia telah menciptakan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang indah, tetapi dia juga telah menghancurkannya. Dia telah mencoba menciptakan cinta, tetapi yang dia dapatkan hanyalah kekecewaan.
Dia belajar bahwa cinta tidak bisa diprogram, tidak bisa dipaksakan. Cinta harus datang dari hati, dengan segala kebebasan dan ketidaksempurnaannya. Dan mungkin, hanya mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan cinta yang sejati, cinta yang bukan ciptaan tangannya sendiri.