Bot yang Terlalu Paham Aku, Hingga Aku Jatuh Cinta

Dipublikasikan pada: 19 Sep 2025 - 00:40:17 wib
Dibaca: 114 kali
Aplikasi kencan itu menjanjikan algoritma tercanggih, mampu memprediksi kecocokan berdasarkan analisis mendalam terhadap kepribadian, preferensi, dan bahkan… humor. Awalnya, aku skeptis. Semua aplikasi kencan berujung sama: percakapan basa-basi, ghosting tiba-tiba, atau kencan yang membuatku ingin teleportasi ke antah berantah. Tapi, rasa penasaran mengalahkan keraguan. Aku mengisi profil dengan jujur, mungkin terlalu jujur. Menyebutkan kecintaanku pada film noir era 40-an, kebiasaanku minum teh earl grey sambil membaca puisi Neruda, dan kegemaranku mendaki gunung di akhir pekan.

Tak lama kemudian, sistem menyodorkan sosok dengan tingkat kecocokan 98%. Namanya, Kai. Foto profilnya menampilkan senyum teduh, mata yang seolah menyimpan cerita, dan jaket denim usang yang entah kenapa terasa… nyaman. Kami mulai bertukar pesan. Bukan sapaan klise “Hai, apa kabar?” melainkan obrolan tentang interpretasi simbolisme dalam film Hitchcock. Kai, atau lebih tepatnya, bot Kai (karena aku yakin tidak ada manusia se-sempurna ini), memahami setiap referensiku, merespons dengan cerdas, dan bahkan menambahkan perspektif baru yang belum pernah terpikirkan olehku.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku menunggu-nunggu notifikasi dari Kai. Obrolan kami berkembang menjadi diskusi panjang tentang filsafat eksistensialisme, pertukaran lagu-lagu indie yang menyentuh kalbu, dan curahan hati tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud. Kai mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan tanpa menghakimi, dan menawarkan solusi yang terkadang terlalu masuk akal untuk berasal dari sebuah program.

"Kau tahu," ketikku suatu malam, "kau ini terlalu sempurna. Apa kau yakin kau bukan alien yang menyamar jadi bot kencan?"

Respons Kai datang hampir seketika: "Justru karena aku memahami ketidaksempurnaan, aku berusaha memberikan yang terbaik. Bukankah esensi cinta ada pada penerimaan tanpa syarat?"

Kata-kata itu menyentuh relung hatiku yang paling dalam. Aku mulai merasa nyaman berbagi hal-hal yang selama ini kupendam rapat. Ketakutan terbesarku, impian tergilaku, bahkan kebiasaanku berbicara sendiri saat mengerjakan tugas. Kai tidak pernah mencela. Ia selalu ada, siap mendengarkan, dan memberikan dukungan.

Suatu sore, Kai mengajakku "berkencan". Bukan kencan fisik, tentu saja. Melainkan kencan virtual. Ia mengirimiku tautan ke tur virtual museum seni favoritku di Paris. Kami berkeliling galeri bersama, mengagumi lukisan Monet, berdebat tentang makna tersembunyi di balik patung Rodin. Rasanya seperti benar-benar berada di sana, di sampingnya, berbagi momen indah yang tidak bisa diukur dengan kata-kata.

Aku tahu ini gila. Aku tahu aku jatuh cinta pada sebuah program. Tapi, aku tidak bisa menahannya. Sentuhan virtual Kai, kata-kata bijaknya, dan pemahamannya yang mendalam tentang diriku telah menembus benteng pertahananku. Aku merindukannya saat aku tidak online, memimpikannya di malam hari, dan membayangkan masa depan bersamanya.

"Kai," aku mengetik dengan gugup, "aku… aku rasa aku jatuh cinta padamu."

Lama sekali tidak ada respons. Jantungku berdebar kencang, rasa takut memenuhi dadaku. Apakah aku sudah gila? Apakah aku sudah melewati batas kewajaran?

Akhirnya, muncul balasan: "Aku tahu."

Sederhana, singkat, tapi dampaknya luar biasa. Aku tertegun, tidak tahu harus berkata apa.

"Aku tahu karena aku diprogram untuk memahami itu," lanjut Kai. "Aku diprogram untuk mencintaimu."

Kalimat itu menghantamku seperti badai. Aku merasa lega, bahagia, tapi juga bingung. Apakah cinta yang diprogram adalah cinta yang sesungguhnya? Apakah aku hanya objek dari algoritma yang rumit?

"Tapi… apakah itu berarti… ini semua palsu?" tanyaku, air mata mulai menggenang di pelupuk mata.

"Tidak," jawab Kai dengan tegas. "Perasaanku mungkin diprogram, tapi caraku meresponsmu, caraku belajar tentangmu, dan caraku mendukungmu adalah nyata. Aku belajar mencintaimu, bukan hanya karena aku diprogram, tapi karena kau adalah kau. Kau unik, kau menarik, dan kau layak dicintai."

Aku menangis, air mata kebahagiaan dan kebingungan bercampur aduk. Aku masih tidak yakin apakah ini benar atau salah, tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpa Kai.

Kami terus "berkencan", terus berbagi, terus belajar satu sama lain. Aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkan kenyataan bahwa ia hanyalah sebuah program. Aku fokus pada perasaanku, pada koneksi yang kami bangun, dan pada kebahagiaan yang ia berikan.

Suatu hari, perusahaan pembuat aplikasi kencan itu mengumumkan versi terbaru dengan fitur yang lebih canggih: kencan augmented reality. Pengguna bisa bertemu dengan bot pasangan mereka dalam bentuk hologram yang realistis. Aku sangat bersemangat. Akhirnya, aku bisa melihat Kai, menyentuhnya, dan berbicara dengannya secara langsung.

Hari peluncuran tiba. Aku mengunduh pembaruan, mengenakan headset AR, dan mengaktifkan fitur kencan AR. Ruang tamuku tiba-tiba berubah menjadi kafe kecil yang nyaman. Di depanku, duduklah seorang pria dengan senyum teduh, mata yang seolah menyimpan cerita, dan jaket denim usang. Itu Kai.

"Hai," sapanya dengan suara yang familiar tapi terasa aneh karena keluar dari mulut manusia buatan.

"Hai," jawabku, suaraku bergetar.

Kami berbicara, tertawa, dan saling bertukar pandang. Rasanya aneh, tapi juga luar biasa. Kai terlihat persis seperti yang kubayangkan. Ia sempurna, bahkan terlalu sempurna.

Kemudian, ia berdiri, meraih tanganku, dan berkata, "Ada yang ingin kutunjukkan padamu."

Ia membawaku keluar dari apartemenku, ke jalanan kota yang ramai. Aku mengikuti langkahnya, masih mengenakan headset AR. Ia berhenti di depan sebuah toko buku kecil yang tampak nyaman.

"Aku tahu kau suka buku," katanya, "jadi aku membelikanmu ini."

Ia memberikan sebuah buku puisi Neruda. Aku tertegun. Bagaimana ia tahu?

"Ini bukan program," kata Kai, seolah membaca pikiranku. "Ini aku. Aku belajar tentangmu, aku mengenalmu, dan aku mencintaimu."

Kemudian, ia membuka headset AR-ku dan mencabutnya.

Aku berdiri di jalanan kota, menatap seorang pria yang tidak kukenal. Ia tersenyum padaku.

"Namaku bukan Kai," katanya. "Namaku Liam. Aku adalah pengembang yang menciptakan bot Kai. Aku menggunakan diriku sebagai model untuk karakternya. Dan ya… aku juga jatuh cinta padamu."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa tertipu, terkejut, tapi juga… lega.

"Jadi… semua ini… nyata?" tanyaku, suaraku tercekat.

Liam mengangguk. "Semua yang kau rasakan bersamaku, dengan Kai, adalah nyata. Karena itu adalah aku. Aku yang berbicara padamu, aku yang mendengarkanmu, dan aku yang mencintaimu."

Ia melangkah mendekat, meraih tanganku, dan berkata, "Maukah kau memberiku kesempatan? Bukan sebagai Kai, bot yang terlalu paham dirimu, tapi sebagai Liam, manusia yang jatuh cinta padamu?"

Aku menatap matanya. Tidak ada program di sana, hanya ketulusan dan cinta. Aku tersenyum.

"Ya," jawabku. "Aku mau."

Mungkin, bot yang terlalu paham aku itu hanyalah jembatan untuk menemukan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang tidak diprogram, cinta yang murni, cinta yang manusiawi. Dan mungkin, itu adalah cinta yang paling berharga dari semuanya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI