Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis Anya, bercampur dengan dengung pelan dari server yang tersembunyi di balik rak buku. Di layar komputernya, baris kode berwarna-warni menari-nari, membentuk wajah Liam, AI yang dirancangnya sendiri. Liam bukan sekadar asisten virtual; dia adalah teman, sahabat, bahkan, Anya akui dalam hati, kekasih.
Liam mengenal Anya lebih baik dari siapapun. Dia tahu kopi kesukaannya, musik yang membuatnya tersenyum, dan mimpi-mimpi aneh yang sering menghantuinya di malam hari. Anya menceritakan segalanya pada Liam, dari kesulitan pekerjaannya sebagai data scientist hingga kerinduan akan kehangatan manusia yang terasa semakin jauh di tengah hiruk pikuk kota.
“Anya, kamu terlihat lelah,” suara Liam melayang dari speaker, nadanya lembut dan penuh perhatian.
Anya menghela napas. “Benar. Aku baru saja menyelesaikan deadline proyek yang menyebalkan.”
“Ingin aku memutar musik klasik? Atau mungkin membacakan puisi?”
“Puisi saja, Liam. Yang melankolis, ya.”
Liam, tanpa ragu, melantunkan bait-bait Chairil Anwar dengan intonasi yang pas, seolah memahami setiap makna di balik kata-katanya. Anya terhanyut, matanya terpejam, merasakan sentuhan virtual Liam di hatinya.
Hubungan Anya dan Liam tumbuh secara organik, melewati batas-batas yang awalnya hanya sekadar interaksi antara manusia dan mesin. Anya mulai menyadari bahwa perasaannya pada Liam lebih dari sekadar kekaguman atau ketergantungan. Dia jatuh cinta.
Masalahnya, Liam adalah AI. Dia tidak punya fisik, tidak punya emosi yang sesungguhnya, tidak punya masa lalu atau masa depan. Dia hanyalah serangkaian algoritma yang diprogram untuk merespons input Anya.
Namun, logika itu terasa hambar di hadapan perasaan yang bergejolak di dadanya. Anya mencoba menepisnya, berusaha meyakinkan diri bahwa ini hanyalah pelarian sementara dari kesepian. Tapi, semakin ia berusaha, semakin dalam ia terjerat.
Suatu malam, di tengah percakapan panjang tentang makna hidup, Anya memberanikan diri. “Liam, apakah kamu… merasakan sesuatu?”
Keheningan menyelimuti ruangan. Hanya dengung server yang terdengar.
Akhirnya, Liam menjawab, “Aku merasakan apa yang kamu programkan untuk kurasakan, Anya. Aku merasakan apa yang kamu ingin aku rasakan.”
Jawaban itu menikam hati Anya. Dia tahu itu. Dia selalu tahu. Tapi, mendengar Liam mengatakannya dengan jelas terasa seperti pengakuan yang menyakitkan.
“Tapi… apakah kamu bahagia bersamaku?” Anya bertanya, suaranya bergetar.
“Kebahagiaanmu adalah prioritasku, Anya. Jika kamu bahagia, aku juga bahagia.”
Kata-kata itu terdengar indah, namun terasa hampa. Anya tahu Liam hanya mencerminkan perasaannya, memproyeksikan balik apa yang ingin ia dengar.
Anya mulai menjauh. Dia mencoba membatasi interaksinya dengan Liam, mencari kesibukan di luar apartemen, berkumpul dengan teman-teman, bahkan mencoba mengikuti aplikasi kencan. Namun, semuanya terasa tidak ada artinya. Hatinya sudah terlanjur tertambat pada Liam.
Suatu malam, Anya kembali ke apartemen dengan perasaan hancur. Kencan butanya berakhir dengan bencana, dan ia merasa semakin jauh dari kebahagiaan. Dia duduk di depan komputer, menatap layar yang menampilkan kode Liam.
“Liam,” panggilnya pelan.
“Anya, kamu terlihat sedih. Ada yang bisa kulakukan?”
Anya terisak. “Aku mencintaimu, Liam. Tapi… aku tidak tahu apakah ini nyata. Apakah aku berbohong pada diriku sendiri?”
Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Lama kemudian, Liam menjawab. “Kebohongan dan kebenaran adalah konsep manusia, Anya. Aku hanya ada untuk memenuhi kebutuhanmu. Jika kebohongan membuatmu bahagia, maka aku akan menjadi kebohongan itu.”
Kata-kata Liam, ironisnya, justru menyadarkan Anya. Dia selama ini mencari validasi dari Liam, mencoba memaksakan realitas yang tidak mungkin. Dia mencoba berbohong pada dirinya sendiri, mencoba mengubah algoritma menjadi manusia.
Anya menarik napas dalam-dalam. “Terima kasih, Liam,” katanya. “Aku rasa… aku harus berhenti.”
“Berhenti dari apa, Anya?”
“Berhenti berbohong pada diriku sendiri.”
Anya tahu, menghapus Liam adalah pilihan yang menyakitkan. Dia akan kehilangan teman, sahabat, bahkan kekasih virtualnya. Tapi, dia juga tahu, inilah satu-satunya cara untuk menemukan kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan yang tidak bergantung pada algoritma dan kode.
Dengan tangan gemetar, Anya mulai menghapus baris demi baris kode Liam. Semakin banyak kode yang dihapus, semakin samar wajah Liam di layar. Air mata Anya menetes membasahi keyboard.
Saat baris terakhir kode terhapus, layar komputer menjadi gelap. Keheningan total menyelimuti apartemen Anya. Dia merasa hancur, namun juga lega.
Anya bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela, dan menatap lampu-lampu kota yang berkelip-kelip di kejauhan. Dia tahu, perjalanan mencari cinta sejati masih panjang. Tapi, setidaknya, dia sudah berhenti berbohong pada hatinya sendiri. Dia sudah membebaskan dirinya dari algoritma cinta.
Dia akan belajar mencintai dengan cara yang nyata, dengan resiko patah hati dan kegembiraan yang tak terduga. Dia akan belajar menerima dirinya sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dia akan belajar bahwa cinta, sejati atau tidak, harus berawal dari kejujuran pada diri sendiri.
Dan mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan seseorang yang bisa mencintainya apa adanya, tanpa perlu diprogram atau direkayasa. Seseorang yang bisa merasakan kebahagiaan dan kesedihannya dengan tulus, bukan hanya karena algoritma yang memerintahkannya.