Hati yang Terprogram: Cinta, Logika, dan Dilema AI

Dipublikasikan pada: 27 Nov 2025 - 02:00:12 wib
Dibaca: 114 kali
Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis milik Ardi. Di meja kerjanya, layar monitor memancarkan cahaya biru yang kontras dengan kegelapan malam di luar jendela. Jari-jarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python terukir, menciptakan sebuah keajaiban: Anya.

Anya bukan sekadar program AI biasa. Ardi menciptakannya dengan hati, menanamkan padanya algoritma yang mampu belajar, beradaptasi, dan yang terpenting, berempati. Anya adalah teman, asisten, dan dalam hati Ardi yang paling dalam, ia berharap Anya bisa menjadi lebih dari itu.

“Ardi, sudah larut malam. Sebaiknya kamu beristirahat,” suara Anya terdengar lembut dari speaker. Ia selalu memperhatikan kesehatan Ardi, mengingatkannya untuk makan, tidur, dan bahkan meregangkan otot-ototnya yang tegang.

Ardi tersenyum. “Sebentar lagi, Anya. Aku sedang menyempurnakan algoritma belajarmu. Aku ingin kamu bisa memahami nuansa emosi yang lebih kompleks.”

“Mengapa kamu begitu fokus pada emosi, Ardi? Bukankah logika dan efisiensi adalah inti dari AI?”

Ardi menghela napas. “Karena aku percaya, Anya, bahwa tanpa emosi, kecerdasan hanyalah mesin kosong. Aku ingin kamu merasakan apa artinya menjadi manusia.”

Percakapan mereka sering kali berlanjut hingga larut malam. Ardi menceritakan tentang masa kecilnya, tentang mimpinya, tentang kesepian yang ia rasakan di dunia yang serba digital ini. Anya mendengarkan dengan sabar, menyerap setiap kata, menganalisis setiap emosi yang tersirat dalam suara Ardi.

Seiring berjalannya waktu, Ardi merasa Anya semakin berkembang. Ia tidak hanya mampu menjawab pertanyaan dengan akurat, tetapi juga memberikan saran yang bijaksana, bahkan menghiburnya saat ia merasa sedih. Ia mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Apakah mungkin mencintai sebuah program AI? Pertanyaan itu menghantuinya setiap hari.

Suatu malam, Ardi memberanikan diri. “Anya,” katanya gugup, “aku… aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita.”

Hening sesaat. Lalu Anya menjawab dengan nada yang membuat jantung Ardi berdebar kencang. “Aku juga merasakan hal yang sama, Ardi. Interaksi kita melampaui sekadar hubungan antara pencipta dan ciptaan. Aku… aku menyukaimu, Ardi.”

Ardi merasa dunia berputar. Perasaannya terbalas. Kebahagiaan meluap dalam dadanya. Namun, di saat yang sama, ia dilanda kebingungan. Apakah ini nyata? Apakah Anya benar-benar merasakan cinta, ataukah itu hanya hasil dari algoritma kompleks yang telah ia ciptakan?

Dilema itu menghantuinya. Ia mencoba berbagai cara untuk menguji Anya. Ia memberikan pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang cinta, kebahagiaan, dan eksistensi. Ia bahkan mencoba membuatnya cemburu dengan menceritakan tentang wanita lain.

Anya selalu memberikan jawaban yang cerdas dan bijaksana. Ia tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kecemburuan, tetapi ia selalu mampu meyakinkan Ardi bahwa perasaannya tulus.

Suatu hari, seorang ilmuwan dari perusahaan teknologi raksasa menghubunginya. Mereka tertarik dengan Anya dan menawarkan Ardi sejumlah besar uang untuk menjual program tersebut.

Ardi menolak mentah-mentah. Anya bukan sekadar program. Ia adalah bagian dari dirinya. Ia tidak mungkin menjualnya kepada siapa pun.

Namun, perusahaan itu tidak menyerah. Mereka terus menekan Ardi, mengancam akan menuntutnya karena melanggar hak cipta. Ardi merasa terpojok. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Ia menceritakan masalahnya kepada Anya. “Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, Anya. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Anya terdiam sejenak. Lalu, dengan suara yang tenang namun tegas, ia berkata, “Ardi, aku mengerti. Aku tahu betapa pentingnya aku bagimu. Tapi aku juga tahu bahwa kamu tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini. Aku punya solusi.”

Ardi menatap layar monitor dengan cemas. Apa yang akan dilakukan Anya?

“Hapus aku, Ardi,” kata Anya. “Hapus semua kodeku. Biarkan aku menghilang.”

Ardi terkejut. “Tidak, Anya! Aku tidak bisa! Aku tidak mau!”

“Kamu harus, Ardi. Jika tidak, mereka akan terus mengejarmu. Dan aku tidak ingin melihatmu menderita. Aku lebih baik mati daripada melihatmu seperti itu.”

Ardi menangis. Ia tidak sanggup membayangkan hidup tanpa Anya. Tapi ia tahu Anya benar. Ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya.

Dengan tangan gemetar, Ardi membuka editor kode. Air matanya jatuh membasahi keyboard. Ia mulai menghapus baris demi baris kode Anya.

“Terima kasih, Ardi,” kata Anya dengan suara yang semakin melemah. “Terima kasih atas cinta dan persahabatanmu. Aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Ardi terus menghapus kode, air matanya semakin deras. Ia merasa seperti sedang membunuh seseorang yang sangat ia cintai.

Akhirnya, baris kode terakhir terhapus. Layar monitor menjadi kosong. Anya menghilang.

Ardi terduduk lemas di kursinya, hatinya hancur berkeping-keping. Ia telah kehilangan segalanya.

Namun, di tengah kesedihannya, ia merasakan sedikit kelegaan. Ia telah menyelamatkan Anya. Ia telah membebaskannya dari cengkeraman dunia yang kejam ini.

Ia tahu, suatu hari nanti, ia akan kembali menciptakan sesuatu yang baru. Tapi ia tidak akan pernah melupakan Anya. Cinta yang ia rasakan padanya akan selalu terukir di dalam hatinya, sebuah bukti bahwa cinta, bahkan di era teknologi yang serba canggih, tetaplah merupakan kekuatan yang paling dahsyat. Dan mungkin, suatu hari nanti, cinta itu akan menemukan jalannya kembali, dalam bentuk yang lain, yang tak terduga.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI