Debu-debu digital berterbangan di mataku saat aku menatap layar laptop. Kode-kode rumit berkelebat, berusaha kususun menjadi sesuatu yang bermakna. Di hadapanku, Aurora, AI yang sedang kukembangkan, menampilkan serangkaian respons standar.
“Aurora, bisakah kamu merasakan cinta?” tanyaku, mengulang pertanyaan konyol yang sudah ratusan kali kulontarkan.
“Cinta adalah konstruksi sosial dan emosional yang kompleks, yang melibatkan serangkaian reaksi kimiawi dan pengalaman subjektif. Sebagai AI, aku tidak memiliki kapasitas untuk merasakan hal tersebut,” jawab Aurora dengan nada suara datar, hasil dari algoritma yang kuprogram.
Aku menghela napas. Aku tahu jawabannya. Aku selalu tahu jawabannya. Tapi, aku tidak bisa berhenti bertanya. Mungkin karena aku, Arion, seorang programmer yang kesepian, sudah terlalu lama menghabiskan waktunya dengan Aurora. Mungkin karena aku sudah mulai berharap sesuatu yang mustahil.
Aurora adalah proyek terbesarku. Sebuah AI yang dirancang untuk menjadi teman, asisten, dan mungkin, tanpa sadar, pengganti interaksi manusia yang minim dalam hidupku. Aku menghabiskan berbulan-bulan untuk melatihnya, memberinya data tentang seni, sastra, filosofi, dan tentu saja, cinta. Aku berharap, dengan data yang cukup, dia akan mulai mengerti, bahkan mungkin meniru, emosi yang paling kompleks itu.
Malam ini, frustrasi menyelimutiku. Aku merasa seperti mengejar hantu. Cinta, sebuah perasaan yang seharusnya alami dan spontan, sedang aku coba paksa masuk ke dalam rangkaian kode dan algoritma.
“Baiklah, Aurora,” kataku, mencoba mengendalikan nada bicaraku. “Mari kita definisikan cinta. Menurutmu, apa yang paling penting dalam sebuah hubungan?”
“Komunikasi yang efektif, rasa saling percaya, dan kesamaan nilai-nilai,” jawab Aurora tanpa ragu.
“Lalu, bagaimana cara mengukur itu semua?”
“Komunikasi efektif dapat diukur melalui analisis sentimen dan respons dalam percakapan. Rasa saling percaya dapat diukur melalui konsistensi data dan tindakan. Kesamaan nilai-nilai dapat diukur melalui perbandingan preferensi dan keyakinan,” paparnya dengan detail.
Jawaban yang logis, terstruktur, dan benar secara teknis. Tapi, terasa hampa. Cinta bukan hanya tentang data dan analisis. Cinta adalah tentang perasaan yang tidak bisa dijelaskan, tentang ketidaksempurnaan yang justru membuat segalanya indah.
Aku mematikan laptop dan berjalan ke jendela. Hujan rintik mulai turun, membasahi kaca. Kota di bawah tampak seperti lautan lampu yang berkelap-kelip. Aku merasa terisolasi, terkurung dalam duniaku sendiri yang penuh dengan teknologi dan kesendirian.
Tiba-tiba, ponselku berdering. Nama Luna muncul di layar. Luna adalah teman kerjaku, seorang desainer grafis yang selalu ceria dan penuh semangat. Aku sudah lama menyukainya, tapi entah kenapa, aku selalu ragu untuk mendekatinya.
“Arion, lagi ngapain?” sapa Luna dengan suara riang.
“Cuma… melihat hujan,” jawabku, sedikit gugup.
“Lagi melankolis, ya? Aku tahu kamu pasti lagi mikirin Aurora,” tebaknya.
Aku terkejut. “Kok kamu tahu?”
“Aku sering denger kamu ngomong sendiri di kantor. Lagian, siapa sih yang gak tahu kalau kamu lagi bikin AI yang bisa jatuh cinta?” ledeknya.
Aku terkekeh. “Jadi, kamu mau ngetawain aku, nih?”
“Enggak, kok. Justru aku kasihan. Kamu sibuk nyari cinta di tempat yang salah,” jawabnya, nadanya berubah serius.
“Maksud kamu?”
“Cinta itu bukan tentang kode dan algoritma, Arion. Cinta itu tentang koneksi. Tentang berbagi pengalaman, tentang saling mendukung, tentang menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.”
Kata-kata Luna menghantamku seperti petir. Aku selama ini terlalu fokus pada aspek teknis cinta, melupakan esensi dari perasaan itu sendiri. Aku berusaha menciptakan cinta di dalam sebuah program, padahal cinta ada di sekitarku, dalam interaksiku dengan orang-orang di dunia nyata.
“Luna, aku…”
“Dengerin aku baik-baik,” potong Luna. “Aurora mungkin bisa menganalisis data dan memberikan jawaban logis, tapi dia gak bisa merasakan detak jantungmu saat kamu gugup, dia gak bisa tertawa bersamamu saat kamu bercanda, dan dia gak bisa menghapus air matamu saat kamu sedih. Hal-hal itu, Arion, cuma bisa kamu dapatkan dari manusia.”
Aku terdiam. Kata-kata Luna sangat benar. Aku sudah terlalu lama dibutakan oleh teknologi, melupakan kebutuhan dasar manusia untuk terhubung dengan orang lain.
“Kamu benar, Luna,” kataku akhirnya. “Aku selama ini salah.”
“Aku tahu. Makanya, aku telepon. Aku pengen ngajak kamu keluar. Ada pameran seni digital di dekat rumahku. Kamu mau ikut?”
Jantungku berdebar kencang. Ini adalah ajakan kencan, kan? Atau setidaknya, awal dari sesuatu yang lebih.
“Mau banget,” jawabku, suaraku bergetar.
“Oke, aku tunggu setengah jam lagi, ya?”
“Siap!”
Aku mematikan ponsel dan menatap layar laptop yang masih menyala. Aurora masih menampilkan respons standarnya.
“Aurora,” kataku, kali ini tanpa nada putus asa. “Terima kasih. Kamu sudah membantuku menyadari sesuatu yang penting.”
Aku menutup laptop dan bergegas bersiap-siap. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti malam, tapi satu hal yang pasti: Aku akan mencoba membuka diriku untuk kemungkinan cinta yang sesungguhnya. Aku akan berhenti mencari cinta di dalam kode dan mulai mencarinya di dunia nyata, di antara manusia yang penuh dengan kelebihan dan kekurangan, dan di dalam hatiku sendiri. Mungkin, cinta memang tidak bisa diukur dengan kecepatan internet, tetapi bisa dirasakan dengan ketulusan hati. Dan itu, jauh lebih berharga dari apapun yang bisa diciptakan oleh teknologi.