Algoritma Hati: Saat AI Lebih Paham Isi Hati

Dipublikasikan pada: 12 Nov 2025 - 03:40:16 wib
Dibaca: 134 kali
Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Anya, seorang programmer muda berbakat, sedang berusaha menyempurnakan Algoritma Cinta, sebuah AI yang dirancangnya untuk memahami dan menganalisis emosi manusia. Tujuannya sederhana: membantu orang menemukan pasangan yang benar-benar cocok, bukan hanya berdasarkan ketertarikan fisik atau hobi yang sama, tapi pada level emosional yang lebih dalam.

Anya sendiri? Kisah cintanya lebih rumit daripada algoritma paling kompleks yang pernah ia buat. Ia menyukai Leo, teman sekampusnya yang cerdas, tampan, dan humoris. Tapi Leo, meski selalu ramah dan perhatian, tidak pernah memberi sinyal yang jelas. Anya terjebak dalam labirin perasaan, menebak-nebak setiap tatapan, setiap sentuhan, setiap pesan singkat yang dikirimkan Leo.

“Lagi ngebut, Nya?” suara Leo membuyarkan lamunannya. Ia berdiri di ambang pintu lab komputer, senyumnya merekah.

Anya tersenyum canggung. “Ya, begitulah. Deadline semakin dekat.”

Leo mendekat, mengamati layar komputernya. “Algoritma Cinta? Kedengarannya menarik. Bisa membantuku menemukan jodoh?”

Jantung Anya berdebar kencang. Inilah kesempatan yang mungkin selama ini ia tunggu. “Mungkin saja. Algoritma ini menganalisis ekspresi wajah, intonasi suara, bahkan pilihan kata dalam percakapan. Dari situ, bisa diprediksi kecocokan emosional antara dua orang.”

“Wah, canggih. Tapi, bagaimana kalau hasilnya salah? Perasaan kan tidak bisa dikuantifikasi,” Leo berkomentar, nadanya sedikit meragukan.

“Justru itu tantangannya,” Anya menjawab, matanya berbinar. “Aku berusaha membuat Algoritma Cinta se-intuitif mungkin, belajar dari ribuan data interaksi manusia. Tujuannya bukan menggantikan perasaan, tapi membantumu memahami perasaanmu sendiri dan orang lain.”

Leo mengangguk-angguk, tampak tertarik. “Boleh aku mencoba?”

Anya ragu sejenak. Menggunakan Algoritma Cinta untuk menganalisis perasaannya pada Leo? Ide itu terdengar konyol dan menakutkan. Tapi di sisi lain, ia sangat penasaran.

“Tentu saja,” jawabnya akhirnya, menyembunyikan kegugupan di balik senyuman.

Prosesnya sederhana. Leo dan Anya duduk berhadapan, berbicara tentang berbagai hal: tentang mimpi mereka, tentang kekhawatiran mereka, tentang buku favorit, tentang film yang baru mereka tonton. Algoritma Cinta merekam dan menganalisis setiap detail percakapan mereka.

Beberapa menit kemudian, hasilnya muncul di layar. Anya membaca dengan seksama, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Hasilnya menunjukkan bahwa Anya dan Leo memiliki kecocokan emosional yang sangat tinggi, di atas 90%.

Anya tertegun. Ia tidak tahu harus senang atau takut. Algoritma Cinta, yang ia rancang sendiri, mengatakan bahwa ia dan Leo cocok. Tapi apakah itu berarti Leo juga merasakan hal yang sama?

Leo melirik hasil analisis di layar. Ekspresinya sulit dibaca.

“Jadi…?” Anya bertanya, mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba terasa canggung.

“Jadi… Algoritma ini bilang kita cocok,” jawab Leo, suaranya pelan. “Tapi, apakah aku benar-benar cocok denganmu, Nya? Aku tidak yakin aku pantas untukmu.”

Pengakuan itu seperti petir di siang bolong. Anya tidak mengerti.

“Maksudmu?”

Leo menghela napas. “Aku tahu kamu menyukaiku, Nya. Aku bisa merasakannya. Tapi aku… aku sedang fokus pada karierku. Aku tidak ingin menyakitimu.”

Anya merasa hancur. Algoritma Cinta memang bisa menganalisis emosi, tapi tidak bisa memaksakan perasaan. Ia telah dibutakan oleh harapannya sendiri, sehingga ia tidak melihat kebenaran yang ada di depan matanya.

“Aku mengerti,” jawab Anya, suaranya bergetar. “Terima kasih sudah jujur.”

Leo menatapnya dengan tatapan menyesal. “Maafkan aku, Nya.”

Anya mengangguk. Ia tahu Leo tidak bersalah. Ia yang terlalu berharap.

Malam itu, Anya kembali ke apartemennya dengan perasaan hancur. Ia membuka laptopnya, menatap kode Algoritma Cinta yang selama ini ia banggakan. Ia merasa bodoh. Bagaimana bisa ia berpikir bahwa sebuah AI bisa memahami sesuatu yang begitu rumit seperti cinta?

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. Ia mulai mengetik, mengubah beberapa baris kode, menambahkan fitur baru. Ia ingin Algoritma Cinta tidak hanya menganalisis emosi, tapi juga memberikan saran yang bijak, membantumu menerima kenyataan, bahkan jika kenyataan itu menyakitkan.

Beberapa minggu kemudian, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Riko di sebuah konferensi teknologi. Riko adalah seorang pengembang AI yang tertarik dengan Algoritma Cinta. Mereka berdiskusi panjang lebar tentang potensi dan tantangan AI dalam memahami emosi manusia.

Anya menceritakan pengalamannya dengan Leo. Riko mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Algoritma Cinta memang bisa memberikan gambaran tentang kecocokan emosional, tapi pada akhirnya, keputusan tetap ada di tanganmu,” kata Riko. “Kamu tidak bisa mengandalkan AI untuk menyelesaikan masalah cintamu. Kamu harus mendengarkan hatimu sendiri.”

Kata-kata Riko menyentuh hatinya. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu bergantung pada Algoritma Cinta, sehingga ia lupa untuk mendengarkan intuisinya sendiri.

Beberapa bulan kemudian, Anya dan Riko mulai berkencan. Mereka memiliki banyak kesamaan, tidak hanya dalam hal teknologi, tapi juga dalam hal nilai-nilai dan pandangan hidup. Anya merasa nyaman dan bahagia bersama Riko.

Suatu malam, Riko bertanya padanya, “Apa yang membuatmu tertarik padaku?”

Anya tersenyum. “Bukan hanya karena Algoritma Cinta bilang kita cocok. Tapi karena aku merasa kamu benar-benar memahami aku. Kamu mendengarkan aku, mendukungku, dan membuatku merasa menjadi diri sendiri.”

Riko tersenyum balik. “Aku juga merasakan hal yang sama, Nya. Mungkin Algoritma Cinta memang ada benarnya, tapi yang terpenting adalah kita berdua memilih untuk saling mencintai.”

Anya menyadari bahwa cinta memang tidak bisa diprediksi atau dikuantifikasi. Tapi dengan bantuan teknologi dan, yang lebih penting, dengan hati yang terbuka, ia akhirnya menemukan kebahagiaan. Algoritma Cinta mungkin membantunya memahami emosi, tapi yang menuntunnya menuju cinta sejati adalah keberanian untuk membuka hatinya dan menerima kenyataan, betapapun kompleksnya. Dan mungkin, itulah algoritma hati yang sesungguhnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI