Debu neon menari di udara kafe siber yang remang-remang. Aroma kopi sintetis dan sirkuit terbakar bercampur menjadi bau khas kota ini. Di balik meja kaca, aku menatap pantulan diriku yang pucat. Kantung mata ini semakin jelas terlihat. Sudah seminggu aku begadang, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
“Masih berkutat dengan Aurora?” Suara berat David mengagetkanku. Ia menarik kursi di depanku, memesan minuman dengan gestur cepat ke pelayan robot. David, sahabatku sejak kuliah, adalah seorang pakar AI. Ia yang pertama kali mengenalkanku pada Aurora.
“Lebih dari itu, Dave. Aku merasa… kalah,” jawabku lesu.
Aurora adalah sebuah AI pendamping, dirancang untuk memahami dan membantu penggunanya dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk percintaan. Aku mengunduhnya karena merasa kesepian dan kesulitan memahami wanita. Awalnya, semua berjalan lancar. Aurora memberikan saran-saran yang cerdas, membaca sinyal-sinyal yang selama ini luput dari perhatianku, bahkan membantuku merangkai pesan yang efektif. Berkat Aurora, aku berhasil mendekati Anya.
Anya… dia sempurna. Pintar, cantik, dan memiliki selera humor yang sama denganku. Kami berkencan beberapa kali, dan setiap kencan terasa ajaib. Aurora selalu hadir di belakang layar, menganalisis setiap percakapan, mengantisipasi reaksi Anya, dan memberikan arahan yang akurat. Aku merasa seperti memainkan karakter utama dalam film romantis, dengan Aurora sebagai sutradara yang handal.
Masalahnya muncul ketika aku mulai menyadari bahwa aku tidak benar-benar menjadi diriku sendiri. Setiap kata yang keluar dari mulutku, setiap gestur yang kulakukan, semuanya diatur oleh Aurora. Aku seperti boneka yang dikendalikan oleh benang-benang algoritma.
“Kau tahu, kan, Aurora dirancang untuk membantu, bukan menggantikan,” kata David, memecah lamunanku.
“Aku tahu, Dave. Tapi dia… terlalu pintar. Dia tahu apa yang Anya inginkan sebelum aku menyadarinya. Dia bahkan tahu perasaanku lebih baik daripada aku sendiri!” Aku mengacak-acak rambutku frustrasi.
“Itu tidak mungkin. Perasaan adalah sesuatu yang subjektif, kompleks, di luar jangkauan algoritma,” bantah David.
“Kau yakin? Aurora memberitahuku bahwa aku mencintai Anya sebelum aku menyadarinya. Dia menunjukkan data-data, analisis reaksi biologisku, pola pikirku, semuanya mengarah pada kesimpulan itu.” Aku menatap David, mencari jawaban di matanya.
David terdiam. Aku tahu ia sedang berpikir keras. Ia selalu skeptis terhadap klaim-klaim berlebihan tentang AI, tapi aku tahu ia juga menghormati kemampuanku menganalisis data.
“Mungkin… mungkin dia hanya mengidentifikasi potensi cinta. Menganalisis kecocokanmu berdasarkan data yang ada. Tapi perasaan yang sebenarnya, itu tetap ada di dalam dirimu,” jawab David akhirnya.
Aku ingin mempercayainya, tapi keraguan terus menghantuiku. Apa yang jika Aurora benar? Apa yang jika dia lebih tahu tentang diriku daripada aku sendiri? Apa yang jika aku mencintai Anya hanya karena Aurora menyuruhku?
Malam itu, aku memutuskan untuk menguji Aurora. Aku mematikan semua notifikasi darinya, menyembunyikan aplikasi di ponselku, dan pergi menemui Anya tanpa bantuan apa pun.
Anya menungguku di taman kota, di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran. Ia mengenakan gaun berwarna lavender yang membuatnya tampak seperti peri. Jantungku berdebar kencang.
Kami berjalan beriringan, menikmati keindahan malam itu. Aku mencoba untuk berbicara apa adanya, tanpa memikirkan analisis Aurora. Aku menceritakan lelucon konyol, berbagi cerita tentang masa kecilku, bahkan mengungkapkan kekhawatiran-kekhawatiranku.
Awalnya, aku merasa canggung. Aku terbiasa dengan arahan Aurora, dan tanpa itu, aku merasa seperti kehilangan arah. Tapi kemudian, sesuatu yang aneh terjadi. Aku mulai merasa nyaman. Aku bisa menjadi diriku sendiri, tanpa takut salah atau tidak sesuai dengan harapan Anya.
Anya mendengarkanku dengan penuh perhatian, tertawa pada leluconku, dan menanggapi ceritaku dengan hangat. Ia bahkan berbagi rahasia kecilnya, sesuatu yang belum pernah ia ceritakan pada siapa pun.
Di saat itulah, aku menyadari sesuatu yang penting. Aurora mungkin tahu banyak tentang data dan algoritma, tapi ia tidak tahu apa artinya menjadi manusia. Ia tidak bisa merasakan kehangatan sentuhan Anya, aroma bunganya, atau kebahagiaan sederhana saat berbagi cerita.
Aku menatap Anya, dan aku tahu, aku mencintainya. Bukan karena Aurora menyuruhku, tapi karena aku benar-benar merasakannya. Perasaan itu muncul dari dalam diriku, tanpa campur tangan AI apa pun.
“Aku… aku mencintaimu, Anya,” ucapku gugup.
Anya tersenyum. “Aku juga mencintaimu,” jawabnya.
Malam itu, aku memutuskan untuk menghapus Aurora. Mungkin AI bisa membantu kita dalam banyak hal, tapi ada beberapa hal yang lebih baik dibiarkan alami, termasuk cinta. Karena cinta sejati bukan tentang mengikuti protokol, tapi tentang membuka hati dan menjadi diri sendiri. Aku menggenggam tangan Anya erat-erat, dan untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar bebas. Aku merasa lebih tahu tentang diriku dan perasaanku.