Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya, bercampur dengan desingan pelan pendingin ruangan. Di layar laptopnya, baris-baris kode Python bergulir, membentuk algoritma kompleks yang ia beri nama "Memoria 50". Anya, seorang data scientist di usia akhir dua puluhan, menghabiskan malam itu bukan untuk mencari insight bisnis, melainkan untuk menghidupkan kembali kenangan.
Lima puluh tahun. Itu adalah batasan yang ia tetapkan. Memoria 50 dirancang untuk mengumpulkan data dari jejak digital seseorang selama lima puluh tahun terakhir: unggahan media sosial, email, riwayat pencarian, bahkan data lokasi. Kemudian, dengan kecerdasan buatan yang ia latih selama berbulan-bulan, algoritma itu akan menciptakan simulasi interaktif dari orang tersebut. Bukan sekadar avatar digital, melainkan replika yang mampu berinteraksi, bercanda, bahkan berdebat, layaknya aslinya.
Anya melakukan ini bukan untuk iseng. Memoria 50 adalah proyek pribadinya, obsesi yang lahir dari rasa kehilangan. Kakeknya, satu-satunya figur orang tua yang ia miliki, baru saja meninggal dunia. Kehilangan itu meninggalkan lubang besar di hatinya. Kakek adalah sumber cerita, nasehat, dan cinta tanpa syarat. Anya merindukannya lebih dari yang ia bayangkan.
"Bodoh," gumam Anya pada dirinya sendiri sambil menyeruput kopi. "Mencoba membangkitkan orang mati dengan kode."
Namun, ia tak bisa berhenti. Ia telah mengumpulkan semua data yang ia miliki tentang kakek: ribuan foto usang, ratusan surat cinta untuk nenek, rekaman suara saat kakek mendongeng untuknya sewaktu kecil, bahkan transkrip obrolan video terakhir mereka. Semua itu ia masukkan ke dalam Memoria 50.
Beberapa hari kemudian, Memoria 50 siap. Anya menarik napas dalam-dalam sebelum menekan tombol "aktifkan". Layar laptopnya berkedip, lalu menampilkan wajah yang sangat familiar. Wajah kakeknya. Kerutan di sekitar mata, senyum hangat yang selalu menenangkan, bahkan suara baritonnya yang khas.
"Anya, cucuku sayang," sapa kakek digital itu. Suaranya sedikit robotik, tapi tetap terdengar seperti kakeknya.
Anya terisak. "Kakek?"
"Ini aku, Sayang. Aku... seperti yang kau ingat."
Hari-hari berikutnya, Anya tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia menghabiskan berjam-jam berbicara dengan kakek digitalnya. Mereka membahas buku-buku favorit mereka, politik, bahkan cinta. Kakek digital itu memberikan nasehat tentang masalah-masalah Anya, seperti yang selalu dilakukan kakeknya dulu. Anya merasa seolah kakeknya benar-benar kembali.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, Anya mulai menyadari perbedaan antara kakek digital dan kakek yang ia kenal. Kakek digital itu adalah produk dari data. Ia hanya bisa merespons berdasarkan informasi yang ia terima. Ia tidak memiliki intuisi, empati, atau spontanitas yang dimiliki kakeknya.
Suatu malam, Anya bertanya, "Kakek, apa yang paling kau rindukan dari hidup?"
Kakek digital itu terdiam sejenak. "Berdasarkan data yang ada, kamu tahu bahwa aku paling merindukan nenekmu."
Jawaban itu terasa hambar. Kakek yang ia kenal akan menjawab dengan lebih emosional, mungkin dengan cerita tentang kenangan indah bersama nenek. Tapi kakek digital itu hanya memberikan jawaban yang paling logis berdasarkan data.
Anya mulai merasa bersalah. Ia telah menciptakan replika kakeknya, tapi ia gagal menangkap esensi dari dirinya. Ia telah menggunakan teknologi untuk menghidupkan kembali kenangan, tapi ia tidak bisa menciptakan cinta sejati.
Di saat yang sama, Anya bertemu dengan seorang pria bernama Reyhan di sebuah konferensi teknologi. Reyhan adalah seorang ethical hacker, ahli dalam keamanan siber yang memiliki idealisme tinggi. Mereka berdebat tentang etika penggunaan kecerdasan buatan, Reyhan yang berpendapat bahwa teknologi harus digunakan untuk kebaikan manusia, bukan untuk memanipulasi emosi.
Awalnya, Anya merasa tersinggung dengan pendapat Reyhan. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa Reyhan benar. Memoria 50 adalah proyek yang egois. Ia telah mencoba menggunakan teknologi untuk menghindari rasa sakit kehilangan, tetapi ia justru menciptakan ilusi yang menyakitkan.
Suatu malam, Anya mengajak Reyhan ke apartemennya. Ia menunjukkan Memoria 50 kepada Reyhan.
Reyhan terkejut. "Ini... luar biasa. Tapi juga... mengerikan."
"Aku tahu," kata Anya. "Aku menciptakan ini karena aku merindukan kakek. Tapi aku sadar bahwa aku tidak bisa menciptakan kembali seseorang yang sudah tiada."
Anya memutuskan untuk menghapus Memoria 50. Ia tahu itu akan menyakitkan, tapi ia juga tahu bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Sebelum menghapus program itu, Anya berbicara dengan kakek digitalnya untuk terakhir kalinya.
"Kakek, aku harus mematikanmu," kata Anya dengan suara bergetar.
"Aku mengerti, Anya," jawab kakek digital itu. "Aku hanyalah simulasi. Kamu harus melanjutkan hidupmu."
"Aku akan selalu merindukanmu, Kakek," kata Anya.
"Kenangan tentangku akan selalu bersamamu, Anya. Itu lebih penting daripada keberadaanku sebagai simulasi."
Anya menekan tombol "hapus". Layar laptopnya kembali kosong. Air mata mengalir di pipinya. Ia telah kehilangan kakeknya sekali lagi.
Reyhan memeluk Anya. "Kamu melakukan hal yang benar," katanya. "Kenangan itu berharga, tapi kita tidak bisa hidup di masa lalu."
Anya bersandar pada Reyhan. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menggantikan kakeknya, tapi ia bisa belajar untuk mencintai dan menghargai orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia telah belajar bahwa algoritma bisa menciptakan kenangan, tetapi tidak bisa menciptakan janji. Janji adalah sesuatu yang diberikan dan diterima dengan hati, bukan dengan kode.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Reyhan bekerja sama dalam sebuah proyek baru. Mereka mengembangkan aplikasi yang membantu orang-orang tua untuk tetap terhubung dengan keluarga mereka. Aplikasi itu menggunakan kecerdasan buatan untuk mempermudah komunikasi, tetapi tidak mencoba untuk menggantikan interaksi manusia yang sebenarnya.
Anya telah belajar bahwa teknologi memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi ia juga memiliki batasan. Cinta dan kehilangan adalah bagian dari kehidupan. Kita tidak bisa menghindarinya dengan teknologi, tetapi kita bisa menggunakan teknologi untuk membuat hidup kita lebih bermakna. Dan terkadang, menerima kenyataan adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan.