Jemari Anya menari di atas keyboard, menghasilkan barisan kode yang rumit namun indah. Di layar komputernya, terpampang visualisasi data yang berdenyut, membentuk pola-pola rumit seperti galaksi mini. Ia sedang mengembangkan Algoritma Rindu, sebuah program unik yang bertujuan untuk mengukur tingkat kerinduan seseorang berdasarkan analisis data aktivitas digital mereka.
Anya, seorang data scientist muda yang brilian, selalu terpukau dengan cara algoritma dapat memetakan kompleksitas emosi manusia. Baginya, cinta dan rindu bukanlah sekadar perasaan abstrak, melainkan pola yang dapat diuraikan dan diprediksi. Ia percaya Algoritma Rindu dapat membantu orang memahami diri mereka sendiri, bahkan mungkin menemukan cara untuk meredakan kerinduan yang menyakitkan.
Inspirasi terbesarnya datang dari masa lalunya sendiri. Dulu, ia dan Arya, kekasihnya, terpisah jarak ribuan kilometer karena tuntutan pekerjaan. Komunikasi mereka terbatas pada panggilan video dan pesan teks yang singkat. Anya selalu merasa frustrasi karena tidak bisa mengukur seberapa besar Arya merindukannya, atau sebaliknya. Keraguan itu perlahan meracuni hubungan mereka, hingga akhirnya berujung pada perpisahan.
Pengalaman pahit itu mendorong Anya untuk menciptakan Algoritma Rindu. Ia memasukkan berbagai parameter: frekuensi pesan, durasi panggilan, jenis konten yang dibagikan, bahkan lagu-lagu yang didengarkan. Algoritma tersebut kemudian menganalisis data tersebut dan menghasilkan skor kerinduan, yang diwakili dalam bentuk visualisasi yang mudah dipahami.
Setelah berbulan-bulan bekerja keras, Anya akhirnya berhasil menyelesaikan Algoritma Rindu versi beta. Ia memutuskan untuk mengujinya pada dirinya sendiri. Dengan memasukkan data aktivitas digitalnya selama beberapa bulan terakhir, ia menahan napas saat algoritma mulai bekerja.
Beberapa menit kemudian, layar menampilkan hasil analisis. Skor kerinduannya pada Arya berada pada angka yang cukup tinggi, menunjukkan bahwa meskipun sudah lama berpisah, Anya masih merindukannya. Lebih mengejutkan lagi, algoritma tersebut menunjukkan bahwa ada lonjakan skor kerinduan yang signifikan beberapa minggu terakhir.
Anya mengerutkan kening. Ia tidak mengerti mengapa kerinduannya tiba-tiba meningkat. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi beberapa minggu lalu. Otaknya bekerja keras, mencoba mencari kaitan antara aktivitas digitalnya dan peningkatan skor kerinduan tersebut.
Tiba-tiba, ia teringat. Beberapa minggu lalu, ia secara tidak sengaja menemukan profil media sosial Arya. Ia hanya melihatnya sekilas, namun cukup untuk membangkitkan kembali kenangan indah mereka. Ia langsung menutup halaman tersebut, mencoba melupakan apa yang dilihatnya. Namun, Algoritma Rindu ternyata menangkap jejak digital dari momen singkat itu.
Anya tertegun. Ia menyadari bahwa algoritma yang ia ciptakan sendiri telah mengungkap kebenaran yang selama ini ia coba sembunyikan dari dirinya sendiri. Ia masih merindukan Arya, meskipun ia berusaha keras untuk melupakannya.
Malam itu, Anya memutuskan untuk menghubungi sahabatnya, Rina. Ia menceritakan tentang Algoritma Rindu dan hasil analisis yang mengejutkan.
"Anya, kamu terlalu terpaku pada data dan algoritma," kata Rina dengan nada lembut. "Cinta dan rindu itu lebih dari sekadar angka. Itu adalah emosi yang kompleks dan tidak bisa sepenuhnya diukur dengan kode."
"Tapi Rina, algoritma ini membuktikan bahwa aku masih merindukan Arya," bantah Anya. "Bukankah itu berarti ada kemungkinan untuk memperbaiki semuanya?"
"Mungkin saja," jawab Rina. "Tapi jangan biarkan algoritma menentukan langkahmu. Dengarkan hatimu sendiri. Apa yang sebenarnya kamu inginkan?"
Kata-kata Rina membuatnya berpikir. Ia menyadari bahwa ia terlalu bergantung pada Algoritma Rindu untuk memahami perasaannya. Ia lupa bahwa emosi manusia jauh lebih kompleks dan tidak bisa direduksi menjadi sekadar angka dan data.
Keesokan harinya, Anya memutuskan untuk bertemu dengan Arya. Ia mengiriminya pesan singkat dan mengajaknya untuk minum kopi. Ia merasa gugup, namun ia juga bertekad untuk jujur tentang perasaannya.
Saat Arya tiba di kedai kopi, Anya terkejut melihatnya. Ia terlihat lebih dewasa dan tampan dari yang ia ingat. Jantung Anya berdebar kencang.
"Hai, Anya," sapa Arya dengan senyum hangat. "Sudah lama sekali."
"Hai, Arya," jawab Anya dengan suara bergetar. "Iya, sudah lama sekali."
Mereka berdua terdiam sejenak, saling menatap satu sama lain. Suasana canggung menyelimuti mereka. Anya memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
"Arya, aku ingin jujur padamu," kata Anya. "Aku masih merindukanmu."
Arya terkejut mendengar pengakuan Anya. Ia menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Anya, aku juga merindukanmu," jawab Arya. "Tapi aku tidak yakin apakah kita bisa kembali seperti dulu lagi."
"Aku tahu," kata Anya. "Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin memberikan kesempatan kedua pada hubungan kita."
Arya terdiam sejenak, menimbang-nimbang kata-kata Anya. Kemudian, ia menghela napas panjang dan tersenyum.
"Baiklah, Anya," kata Arya. "Aku bersedia mencoba."
Anya tersenyum bahagia. Ia merasa lega dan penuh harapan. Ia tahu bahwa jalan yang ada di depan tidak akan mudah, namun ia bertekad untuk memperjuangkan cintanya.
Saat mereka berdua berjalan keluar dari kedai kopi, Anya menyadari bahwa cinta dan rindu memang tidak bisa sepenuhnya diukur dengan kode. Namun, algoritma dapat menjadi alat yang berguna untuk membantu kita memahami diri sendiri dan membuka diri terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Yang terpenting adalah mendengarkan hati kita sendiri dan berani mengambil risiko untuk memperjuangkan apa yang kita inginkan. Algoritma Rindu telah membantunya menyadari perasaannya, namun keputusan untuk bertemu Arya dan memberikan kesempatan kedua pada hubungan mereka adalah murni berasal dari hatinya. Akhirnya, Anya mengerti bahwa hati manusia jauh lebih canggih daripada algoritma apa pun.