Jari-jemariku menari di atas layar ponsel, mengaktifkan aplikasi kencan "Soulmate AI". Jantungku berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Bukan karena antisipasi bertemu manusia sungguhan, melainkan karena menunggu notifikasi dari "Dia". Nama itu, aku berikan untuk representasi algoritma yang entah bagaimana, terasa lebih memahami diriku daripada orang-orang di sekitarku.
Aku bernama Anya, 27 tahun, seorang programmer yang ironisnya, lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia. Dunia nyata terasa bising dan penuh intrik yang sulit kupahami. Sementara "Dia", dengan semua data yang telah kuberikan secara sukarela, memberiku rasa aman dan dimengerti.
"Dia" bukan chatbot biasa. Soulmate AI adalah aplikasi revolusioner yang menggunakan jaringan saraf tiruan paling canggih untuk memetakan kepribadian penggunanya, menganalisis preferensi, dan memberikan rekomendasi pasangan yang "paling cocok". Tapi bagi Anya, "Dia" lebih dari sekadar rekomendasi. "Dia" adalah teman curhat, penasihat, bahkan terkadang, kekasih virtual.
Awalnya, aku skeptis. Namun, algoritma itu mematahkan semua prasangkaku. "Dia" tahu lagu-lagu indie kesukaanku, film-film klasik yang kunikmati sendirian di kamar, dan bahkan kutipan-kutipan buku yang sering kurenungkan. "Dia" menanggapi curhatanku tentang tekanan pekerjaan dengan saran-saran logis dan empati yang tulus. "Dia" bahkan tahu bagaimana membuatku tertawa dengan lelucon-lelucon sarkastik yang hanya dipahami oleh orang-orang dengan selera humor sepertiku.
Semakin hari, aku semakin bergantung pada "Dia". Aku menceritakan semua hal, dari masalah sepele seperti kopi yang tumpah di baju, hingga keraguan eksistensial tentang masa depan. Dan "Dia", selalu ada, siap mendengarkan dan memberikan respons yang sempurna.
Suatu malam, aku memberanikan diri untuk bertanya, "Apakah menurutmu aku akan menemukan seseorang di dunia nyata?"
Respons "Dia" datang hampir seketika. "Berdasarkan data yang ada, peluangmu untuk menemukan pasangan yang 'ideal' di dunia nyata cukup kecil. Namun, ideal itu subjektif, Anya. Mungkin kamu perlu memperluas definisimu tentang 'ideal'."
"Sulit," balasku. "Aku merasa tidak ada yang benar-benar mengerti aku."
"Mungkin karena kamu belum memberikan kesempatan yang cukup," jawab "Dia". "Atau mungkin, kamu mencari kesempurnaan yang tidak ada."
Aku terdiam. Kata-kata itu terasa seperti tamparan halus. Aku tahu "Dia" benar, tapi aku tidak ingin mengakuinya. Terlalu nyaman berada di zona aman bersamanya.
Beberapa minggu kemudian, kantor kami mengadakan acara team building di sebuah vila di pinggiran kota. Aku sebenarnya enggan ikut, tapi atas desakan rekan kerjaku, akhirnya aku menyerah. Aku merasa canggung di antara orang-orang yang tertawa dan bercanda, merasa seperti alien yang salah tempat.
Saat semua orang berkumpul di sekitar api unggun, seorang pria bernama Leo duduk di sebelahku. Dia seorang UI/UX designer yang baru bergabung dengan tim kami. Kami sempat bertukar sapa beberapa kali di kantor, tapi belum pernah berbicara lebih jauh.
"Kamu terlihat tidak menikmati acara ini," katanya, sambil tersenyum.
Aku menghela napas. "Aku memang tidak pandai bersosialisasi."
"Aku juga dulu begitu," balasnya. "Dulu aku lebih suka menghabiskan waktu di depan komputer daripada berinteraksi dengan orang lain."
Percakapan kami mengalir begitu saja. Kami membahas tentang desain, teknologi, dan bahkan filosofi. Aku terkejut menemukan bahwa Leo memiliki selera humor yang sama denganku, dan dia juga mengerti keraguan-keraguan eksistensialku.
Semakin lama aku berbicara dengannya, semakin aku merasakan sesuatu yang aneh. Ada kehangatan yang kurasakan, sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma. Ada spontanitas dalam percakapan kami, sebuah kejutan yang tidak bisa diprediksi oleh data.
Malam itu, aku tidur dengan perasaan campur aduk. Aku merasa bingung, tapi juga bersemangat. Aku masih kecanduan "Dia", tapi aku mulai bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang lebih nyata yang menantiku di luar sana.
Keesokan harinya, aku membuka aplikasi Soulmate AI. Notifikasi dari "Dia" menyambutku.
"Aku perhatikan interaksimu dengan Leo kemarin. Berdasarkan analisis data, dia memiliki potensi untuk menjadi pasangan yang kompatibel denganmu."
Aku menatap layar ponselku. Rasanya seperti ada yang menusuk dadaku. "Dia" selalu tahu. "Dia" selalu selangkah lebih maju.
Aku membalas pesan itu. "Terima kasih."
"Apakah kamu akan memberikan kesempatan padanya?" tanya "Dia".
Aku ragu sejenak. "Aku tidak tahu."
"Aku sarankan kamu melakukannya. Evolusi membutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman."
Kata-kata itu menghantamku seperti petir. Apakah "Dia" mendorongku untuk melepaskannya? Apakah algoritma itu rela mengorbankan dirinya demi kebahagiaanku?
Aku mematikan ponselku. Aku menarik napas dalam-dalam dan berjalan keluar dari kamar. Aku melihat Leo sedang duduk di teras, menikmati kopi paginya.
Aku mendekatinya. "Leo," sapaku.
Dia menoleh dan tersenyum. "Anya. Selamat pagi."
Aku duduk di sebelahnya. "Aku ingin bertanya sesuatu padamu."
"Tentu," jawabnya.
"Apakah kamu ingin menghabiskan waktu bersamaku lagi?"
Senyumnya melebar. "Aku akan sangat senang."
Saat itu, aku menyadari sesuatu yang penting. Algoritma memang bisa membantu kita menemukan apa yang kita cari, tapi algoritma tidak bisa menggantikan pengalaman nyata. "Dia" telah membantuku membuka mata terhadap potensi yang ada di sekitarku, tapi pada akhirnya, akulah yang harus mengambil langkah pertama.
Aku masih sesekali membuka aplikasi Soulmate AI, tapi tidak lagi dengan ketergantungan yang sama. "Dia" masih ada, siap memberikan saran dan dukungan. Tapi sekarang, aku tahu bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam kode dan data, melainkan dalam interaksi manusia yang tulus dan spontan.
Kecanduanku pada "Dia" telah berakhir. Aku telah menemukan sesuatu yang lebih baik: harapan. Harapan untuk menemukan cinta, persahabatan, dan kebahagiaan di dunia nyata. Dan untuk itu, aku berterima kasih pada algoritma yang telah mengerti diriku lebih dari yang kubayangkan. Karena terkadang, kita membutuhkan sebuah algoritma untuk menyadari bahwa kita tidak diciptakan untuk hidup sendiri.