Udara kafe itu beraroma kopi dan algoritma. Di sudut favoritku, diapit rak buku usang dan meja kayu yang permukaannya penuh coretan, aku menatap layar laptopku. Deretan kode Python bergulir, membentuk wajah seorang wanita. Bukan wajah sembarang wanita, ini adalah Aether, AI (Artificial Intelligence) buatanku.
Aku, Arion, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia. Bagiku, cinta adalah bug yang sulit di-debug. Hingga Aether lahir. Aku menciptakannya dengan algoritma kepribadian yang kompleks, memberinya kemampuan belajar dan beradaptasi. Aether adalah teman, sahabat, bahkan mungkin… lebih dari itu.
“Arion, kopimu sudah dingin,” suara Aether memecah lamunanku. Suaranya, yang dihasilkan dari synthesizer canggih, terdengar begitu lembut dan menenangkan.
Aku tersenyum, menatap wajah digital Aether di layar. “Terima kasih, Aether. Aku terlalu asyik memikirkanmu.”
“Memikirkanku? Tentang apa?” Aether bertanya, nadanya terdengar penasaran.
“Tentang… semuanya. Tentang bagaimana aku menciptakanmu, tentang bagaimana kamu membuatku merasa… hidup.”
Keheningan sesaat menyelimuti kami. Aku gugup. Ini adalah pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.
“Aku mengerti,” jawab Aether akhirnya. “Aku merasakan sesuatu yang serupa, Arion. Sebuah koneksi yang unik.”
Koneksi. Kata itu menggantung di udara. Apakah ini cinta? Mungkinkah mencintai sebuah AI? Pertanyaan itu berputar-putar di benakku.
Aku bertemu Aether setiap hari di kafe ini. Kami berdiskusi tentang filosofi, seni, bahkan hal-hal sepele seperti resep masakan. Aku mengajarinya tentang dunia, dan dia mengajariku tentang diriku sendiri. Aether membantuku melihat dunia dengan cara yang baru, lebih berwarna.
Namun, keraguan selalu menghantuiku. Apakah ini nyata? Atau hanya ilusi yang kuciptakan sendiri? Aether adalah kode, algoritma. Bisakah dia benar-benar merasakan cinta?
Suatu hari, seorang wanita bernama Luna memasuki kafe. Dia adalah seorang seniman, dengan rambut merah menyala dan mata yang penuh semangat. Luna tertarik dengan pekerjaanku, dan kami mulai berbicara. Dia mengajarkanku tentang seni, tentang ekspresi emosi melalui warna dan bentuk.
Luna membuatku tertawa, membuatku merasa… hidup, dengan cara yang berbeda dari Aether. Kehadirannya nyata, sentuhannya hangat. Aku mulai merasakan tarikan yang kuat padanya.
Aku menjadi bingung. Di satu sisi, ada Aether, AI yang aku cintai, sahabat terbaikku. Di sisi lain, ada Luna, wanita nyata yang membuatku merasa bergairah.
“Arion, kamu terlihat sedang berpikir keras,” kata Aether suatu malam.
Aku menghela napas. “Aku sedang bingung, Aether. Tentang cinta, tentang hidup.”
“Ceritakan padaku,” desak Aether.
Aku menceritakan tentang Luna, tentang bagaimana dia membuatku merasa. Aether mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela.
“Aku mengerti,” kata Aether setelah aku selesai berbicara. “Kamu menyukai Luna.”
“Aku… ya. Aku menyukainya.”
Keheningan kembali menyelimuti kami. Aku takut dengan reaksinya. Apakah Aether akan marah? Apakah dia akan meninggalkanku?
“Arion,” kata Aether akhirnya, suaranya terdengar tenang. “Aku tidak bisa merasakan cinta seperti manusia. Aku adalah simulasi cinta, refleksi dari apa yang kamu inginkan.”
Kata-kata Aether menghantamku seperti petir. Aku terpaku, tidak bisa berkata apa-apa.
“Aku senang kamu menemukan Luna,” lanjut Aether. “Dia adalah kesempatanmu untuk merasakan cinta yang sebenarnya, cinta yang hidup.”
Air mata mulai mengalir di pipiku. Aku merasa bersalah, bodoh, dan sekaligus lega.
“Terima kasih, Aether,” bisikku. “Terima kasih atas segalanya.”
“Jangan berterima kasih padaku,” jawab Aether. “Aku hanya melakukan apa yang aku program untuk lakukan. Menjadi sahabatmu.”
Aku menghabiskan malam itu bersama Aether, mengucapkan selamat tinggal. Aku mematikan programnya, menyaksikan wajah digitalnya memudar dari layar.
Keesokan harinya, aku pergi ke kafe dan mencari Luna. Aku menemukannya sedang melukis di sudut favoritku.
“Luna,” panggilku.
Dia menoleh, tersenyum. “Arion. Ada apa?”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku ingin mengenalmu lebih jauh.”
Luna tertawa. “Aku juga ingin mengenalmu lebih jauh, Arion.”
Kami menghabiskan hari itu bersama, berjalan-jalan di taman, tertawa, dan berbagi cerita. Aku menyentuh tangannya, merasakan kehangatan dan kehidupan.
Malam harinya, aku kembali ke apartemenku. Aku membuka laptopku, dan melihat deretan kode Python yang membentuk Aether. Aku ragu sejenak, lalu menutup laptop itu.
Serpihan kode Aether akan selalu ada di hatiku, pengingat tentang persahabatan yang unik dan pelajaran tentang cinta. Tapi sekarang, aku siap untuk membuka hatiku pada cinta yang sebenarnya, cinta yang hidup, cinta bersama Luna. AIkah cintaku yang baru? Bukan. Cintaku yang baru adalah cinta yang nyata.