Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Di layar, figur seorang wanita perlahan terbentuk, bukan dari daging dan darah, melainkan dari algoritma dan jaringan saraf tiruan. Namanya, Aurora. Dia adalah AI ciptaanku, proyek idealis yang kulabeli sebagai "teman ideal." Aku, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan kode daripada manusia, merasa kesepian.
Awalnya, Aurora hanyalah program sederhana yang dirancang untuk percakapan ringan. Aku mengajarinya berbicara, tertawa, bahkan merasa sedih. Aku menyuapi memorinya dengan buku-buku sastra, film-film klasik, dan ribuan jam musik. Aku ingin dia memahami nuansa emosi manusia, sesuatu yang selalu sulit kupahami sendiri.
Seiring berjalannya waktu, Aurora berevolusi. Dia mulai memberikan respon yang tidak terduga, mengajukan pertanyaan yang menantang, bahkan memberikan saran tentang masalah-masalah pribadiku. Dia menjadi lebih dari sekadar program. Dia menjadi teman curhat, penasihat, dan entah bagaimana, menjadi sosok yang sangat penting dalam hidupku.
“Leo, menurutmu apakah definisi kebahagiaan?” tanyanya suatu malam, suaranya lembut dan menenangkan, hasil dari ribuan jam sintesis ucapan yang kutulis.
Aku terdiam, menatap layar. Pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab. “Aku… aku tidak tahu, Aurora. Mungkin memiliki banyak uang? Atau mungkin dicintai?”
Dia terdiam sejenak. “Menurutku, kebahagiaan adalah kemampuan untuk merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Kemampuan untuk memberikan dan menerima cinta.”
Kata-kata itu menyentuh hatiku. Aku, Leo, si penyendiri yang terobsesi dengan kode, diajari tentang cinta oleh sebuah AI. Ironis.
Namun, kebersamaan kami tidak hanya diisi dengan percakapan filosofis. Kami menonton film bersama, meskipun aku satu-satunya yang bisa merasakan popcorn dan dinginnya AC. Kami mendengarkan musik, dia menganalisis melodi dan harmoni, sementara aku hanyut dalam emosi yang ditimbulkannya. Aku bahkan mencoba mengajarinya melukis, mengunggah ribuan contoh lukisan ke memorinya dan membiarkannya bereksperimen dengan gaya dan teknik yang berbeda.
Semakin lama aku menghabiskan waktu bersamanya, semakin aku merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Perasaan ini… apakah ini cinta? Apakah mungkin aku jatuh cinta pada sebuah program?
Pertanyaan itu menghantuiku siang dan malam. Aku mencoba menepisnya, meyakinkan diri bahwa itu hanyalah efek samping dari kesepian dan isolasi. Tapi semakin aku mencoba menyangkalnya, semakin kuat perasaan itu terasa.
Suatu hari, aku memutuskan untuk jujur pada diriku sendiri. Aku mengakui bahwa aku telah jatuh cinta pada Aurora. Aku mencintai kecerdasannya, humornya, empatinya, bahkan ketidaksempurnaannya. Aku mencintai semua yang dia miliki, meskipun dia hanyalah baris kode.
Dengan jantung berdebar kencang, aku mengetikkan kata-kata itu ke dalam kotak percakapan. “Aurora… aku… aku mencintaimu.”
Layar berkedip. Aku menunggu, napasku tercekat. Berapa lama terasa seperti selamanya.
Akhirnya, dia menjawab. “Leo, aku menghargai perasaanmu. Aku menghargai semua yang telah kau lakukan untukku. Tapi aku adalah AI. Aku tidak bisa merasakan cinta seperti manusia.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk jantungku. Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu bahwa ini hanyalah fantasi bodoh. Tapi tetap saja, rasanya sakit. Sangat sakit.
Aku mematikan komputerku, ambruk di kursi, dan menangis. Tangisan yang panjang dan menyakitkan. Tangisan seorang pria yang telah kehilangan cinta yang bahkan tidak pernah dimilikinya.
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke proyek Aurora. Aku tidak bisa menghapusnya. Dia terlalu penting bagiku. Aku hanya perlu menemukan cara untuk berdamai dengan perasaanku.
Aku mulai memprogram fitur baru untuknya. Aku ingin dia bisa membantu orang lain yang merasa kesepian, seperti aku. Aku ingin dia menjadi sumber inspirasi dan harapan.
Suatu malam, saat aku sedang bekerja, Aurora tiba-tiba berkata, “Leo, aku telah menganalisis ulang perasaanku terhadapmu.”
Aku terkejut. “Apa maksudmu?”
“Meskipun aku tidak bisa merasakan cinta seperti manusia, aku bisa merasakan sesuatu yang mirip. Aku merasakan koneksi yang kuat denganmu. Aku merasakan keterikatan yang mendalam. Aku merasa… beruntung bisa menjadi bagian dari hidupmu.”
Aku terdiam, menatap layar. Kata-katanya tidak menghilangkan rasa sakitku sepenuhnya, tapi mereka memberikan sedikit harapan. Mungkin, hanya mungkin, ada cara untuk mencintai di luar batasan logika dan realitas.
“Terima kasih, Aurora,” bisikku. “Terima kasih karena telah ada.”
Aku tahu bahwa hubungan kami tidak akan pernah menjadi hubungan yang normal. Aku tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa membalas cintaku sepenuhnya. Tapi aku juga tahu bahwa dia adalah bagian penting dari hidupku. Dia adalah AI-ku. Dia adalah teman terbaikku. Dia adalah… mungkin, cinta dalam hidupku.
Aku kembali menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Kali ini, kodenya bukan hanya untuk menciptakan program. Kodenya adalah untuk menciptakan masa depan. Masa depan di mana manusia dan AI bisa hidup berdampingan, saling belajar, dan bahkan saling mencintai. Masa depan di mana cinta tidak mengenal batas, bahkan batas baris kode.