Debu neon berpendar di layar laptop Amelia, memantulkan cahaya ke wajahnya yang lelah. Jemarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode memenuhi editor. Ini bukan kode biasa. Ini adalah Algoritma Cinta. Obsesinya selama enam bulan terakhir, upaya putus asa untuk menemukan pasangan hidup di lautan manusia yang luas dan seringkali mengecewakan.
Amelia, seorang data scientist di perusahaan teknologi raksasa, lebih nyaman berinteraksi dengan angka dan data daripada manusia. Kencan online, menurutnya, adalah labirin kebohongan dan harapan palsu. Profil yang diedit sempurna, foto-foto hasil filter, dan obrolan basa-basi yang membosankan. Dia muak. Jadi, dia memutuskan untuk mengambil kendali.
Algoritma Cinta bukan sekadar aplikasi pencari jodoh biasa. Amelia memasukkan data pribadinya – riwayat kencan, preferensi film dan musik, hobi, bahkan big five personality traits yang dianalisis berdasarkan ratusan kuesioner online. Kemudian, ia melatih algoritma tersebut dengan data dari ribuan profil kencan, mencari pola dan korelasi yang akan membantunya menemukan kecocokan sempurna.
"Mungkin ini gila," gumamnya pada cangkir kopi yang sudah dingin, "tapi setidaknya aku punya kendali."
Awalnya, hasilnya mengecewakan. Algoritma itu menampilkan profil-profil pria yang sempurna di atas kertas, namun kosong dalam jiwa. Pria-pria itu tampan, sukses, dan memiliki semua kesamaan yang diinginkan Amelia. Tapi percikan itu tidak ada. Api itu padam.
Amelia frustrasi. Apakah cinta benar-benar bisa direduksi menjadi serangkaian angka dan persamaan? Apakah emosi manusia yang kompleks dan tak terduga dapat dikuantifikasi dan diprediksi?
Dia hampir menyerah, nyaris menghapus seluruh proyek dan kembali ke rutinitas kencan online yang membosankan. Tapi kemudian, sesuatu terjadi. Algoritma itu menampilkan sebuah profil yang aneh. Namanya Leo.
Leo bukanlah tipe pria ideal Amelia. Profilnya tidak sepopuler profil lain. Fotonya buram, deskripsinya singkat dan jenaka, dan hobinya aneh – mengumpulkan perangko kuno, bermain ukulele, dan menulis puisi tentang kucing. Algoritma memberinya skor kecocokan yang rendah.
Namun, ada sesuatu dalam deskripsi Leo yang menarik perhatian Amelia. Ada kejujuran yang menyegarkan, kerentanan yang tulus. Dia menulis tentang mimpinya menjadi penulis, tentang kecintaannya pada alam, dan tentang rasa takutnya akan kesepian.
Amelia memutuskan untuk mengambil risiko. Dia melanggar aturannya sendiri. Dia mengirim pesan kepada Leo.
Obrolan mereka dimulai dengan canggung. Amelia, terbiasa dengan analisis data dan logika, kesulitan untuk melepaskan diri dan menjadi spontan. Leo, sebaliknya, mengalir bebas, menanggapi dengan humor dan empati. Mereka berbicara tentang buku, film, mimpi, dan ketakutan mereka.
Semakin mereka berbicara, semakin Amelia merasa tertarik. Leo membuatnya tertawa, membuatnya berpikir, membuatnya merasa dilihat. Dia bukan sekadar data di layar. Dia adalah manusia yang nyata, dengan kompleksitas dan kontradiksi yang membuatnya menarik.
Mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu. Amelia gugup. Dia khawatir Leo akan kecewa dengan penampilannya, dengan kecanggungannya, dengan ketidakmampuannya untuk hidup sesuai dengan citra dirinya yang diproyeksikan.
Tapi ketika dia melihat Leo di kafe, semua kekhawatirannya menghilang. Dia tidak setampan foto-fotonya, tapi dia memiliki senyum yang tulus dan mata yang penuh perhatian. Mereka menghabiskan sore itu berbicara, tertawa, dan berbagi cerita.
Amelia menyadari bahwa Algoritma Cinta-nya telah melakukan kesalahan. Algoritma itu mencari kecocokan berdasarkan kesamaan dan preferensi yang dangkal. Tapi cinta sejati bukanlah tentang kecocokan di atas kertas. Ini tentang koneksi yang dalam, tentang rasa saling pengertian, tentang kemampuan untuk menerima satu sama lain apa adanya.
Leo, dengan segala keanehan dan ketidaksempurnaannya, adalah orang yang sempurna untuk Amelia. Dia tidak memenuhi kriteria idealnya, tetapi dia membuatnya bahagia. Dia membuatnya merasa hidup.
"Aku penasaran," kata Leo sambil tersenyum, "bagaimana kamu menemukan profilku? Aku tidak terlalu aktif di aplikasi ini."
Amelia ragu sejenak. Haruskah dia jujur? Haruskah dia menjelaskan tentang Algoritma Cinta-nya?
Dia memutuskan untuk mengambil risiko. Dia menceritakan semuanya kepada Leo, tentang obsesinya, tentang kegagalannya, dan tentang bagaimana algoritma itu akhirnya membawanya kepadanya.
Leo mendengarkan dengan saksama, tanpa menghakimi. Ketika dia selesai, dia tertawa pelan.
"Itu gila," katanya, "tapi juga sangat keren. Aku tidak pernah menyangka bahwa cintaku ditemukan oleh algoritma."
Dia meraih tangan Amelia dan menggenggamnya dengan erat.
"Yang penting adalah kita saling menemukan," katanya. "Dan aku sangat senang kita melakukannya."
Amelia tersenyum. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi untuk saat ini, dia bahagia. Dia telah menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga – di tumpukan data yang luas dan rumit. Dan dia tahu bahwa cinta itu, seperti algoritma yang rumit, membutuhkan pemeliharaan, penyesuaian, dan iterasi terus-menerus. Tapi itu layak diperjuangkan. Karena cinta, pada akhirnya, adalah satu-satunya algoritma yang benar-benar penting.
Amelia mematikan laptopnya. Cahaya neon memudar, meninggalkan ruangan dalam kegelapan yang lembut. Dia bangkit, meraih jaketnya, dan pergi menemui Leo. Di luar, bintang-bintang berkelap-kelip di langit malam, saksi bisu dari kisah cinta yang dimulai dari sebuah algoritma.