Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Di layar laptop, algoritma buatanku, "AmourAI," semakin kompleks. Aku, Aksara, seorang programmer yang lebih akrab dengan sintaks daripada sentuhan, sedang mencoba memecahkan teka-teki terbesar: cinta. Ironis, bukan? Menciptakan sesuatu yang begitu abstrak dengan logika sekeras baja.
AmourAI bukan aplikasi kencan biasa. Ia menganalisis data pengguna, bukan hanya preferensi dangkal, tapi juga pola pikir, nilai-nilai inti, dan bahkan ritme biologis. Tujuannya? Mencari kompatibilitas sempurna, bukan hanya ketertarikan sesaat. Banyak yang mencibir, menyebutnya utopis, bahkan meremehkanku sebagai seorang geek yang terlalu naif. Tapi aku percaya, di balik rumitnya emosi manusia, ada pola yang bisa diuraikan.
Suatu malam, setelah berjam-jam berkutat dengan kode, AmourAI akhirnya mencapai versi beta. Aku memutuskan untuk mengujinya sendiri. Dengan ragu, aku mengunggah profilku, jujur dan terbuka, seperti yang kulakukan pada setiap baris kode. Aku bahkan memasukkan kebiasaanku begadang, kecenderunganku pada kesunyian, dan ketidakmampuanku menari.
Beberapa saat kemudian, layar berkedip. "Kandidat Potensial Terdeteksi," bunyi notifikasi itu. Jantungku berdebar tak karuan. Aku mengklik tautan itu, dan wajah seorang perempuan muncul. Iris matanya cokelat hangat, bibirnya tersenyum lembut, dan rambutnya terurai panjang seperti sungai malam. Namanya, Senja.
Profilnya mengungkapkan bahwa dia seorang fotografer lepas, penyuka puisi klasik, dan relawan di penampungan hewan. Kesamaan kami sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada. Aku lebih suka bersembunyi di balik layar, sementara dia menangkap keindahan dunia. Aku tenggelam dalam logika, dia melayang dalam seni. Namun, AmourAI bersikeras. Kompatibilitas kami mencapai 97%.
Aku memberanikan diri mengirimkan pesan. Salam pembuka yang kikuk, tentu saja. Tapi Senja membalas. Percakapan kami mengalir tak terduga. Kami membahas filosofi hidup, mimpi-mimpi yang belum terwujud, dan ketakutan-ketakutan tersembunyi. Aku menemukan diriku membuka diri, sesuatu yang jarang kulakukan. Senja menanggapi dengan pengertian dan humor, membuatku merasa nyaman dan dilihat.
Setelah beberapa minggu, kami memutuskan untuk bertemu. Aku sangat gugup sampai-sampai hampir membatalkan janji itu. Tapi ada sesuatu dalam tatapan mata Senja, seperti yang kulihat di fotonya, yang menarikku.
Pertemuan pertama kami di sebuah kedai kopi kecil terasa seperti mimpi. Senja lebih cantik dari yang kubayangkan. Dia tertawa ketika aku salah menyebut nama pelukis favoritnya, dan dengan sabar menjelaskan perbedaan antara impresionisme dan ekspresionisme. Aku mencoba menyeimbangkan pembicaraan dengan pengetahuanku tentang teknologi, tapi aku tahu, dialah bintang di antara kami.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan. Kami mengunjungi museum, menonton film indie, dan berjalan-jalan di taman saat matahari terbenam. Aku belajar melihat dunia melalui lensanya, menghargai keindahan dalam detail-detail kecil yang selama ini luput dari perhatianku. Dia, di sisi lain, tampak tertarik dengan dunia kode dan algoritma yang selama ini menjadi rumahku.
Namun, keraguan mulai menghantuiku. Apakah ini nyata? Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada Senja, atau hanya pada algoritma yang telah memprediksi kecocokan kami? Apakah aku mencintai Senja, atau mencintai ide tentang Senja yang diciptakan oleh AmourAI?
Aku mencoba menjauh. Aku berhenti membalas pesannya secepat biasanya, mengurangi frekuensi kencan kami. Aku tenggelam dalam pekerjaan, berharap bisa melupakan Senja dan keraguan-keraguanku. Tapi semakin aku mencoba menghindarinya, semakin aku merindukannya.
Suatu malam, Senja muncul di apartemenku. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Aksara, ada apa? Kamu menjauhiku," katanya lembut.
Aku tidak bisa berbohong padanya. Aku menceritakan tentang keraguanku, tentang ketakutanku bahwa cintaku padanya hanyalah produk dari algoritma. Aku menceritakan tentang betapa aku merasa tidak pantas untuknya, bahwa aku tidak cukup baik untuk seorang perempuan seindah dan secerdas dirinya.
Senja mendengarkan dengan sabar, tanpa memotong perkataanku. Ketika aku selesai, dia mendekatiku dan menggenggam tanganku. "Aksara," katanya, "Aku tahu tentang AmourAI. Aku tahu kamu yang menciptakannya. Tapi itu tidak mengubah apa pun. Aku jatuh cinta padamu, bukan pada algoritma. Aku jatuh cinta pada kecerdasanmu, kejujuranmu, dan caramu melihat dunia. Aku jatuh cinta padamu, Aksara."
Kata-katanya menghantamku seperti gelombang kejut. Aku menatap matanya, mencari kebohongan, tapi yang kutemukan hanya kejujuran dan cinta.
Aku menariknya ke dalam pelukanku. Erat, seolah takut kehilangan dirinya. "Aku juga mencintaimu, Senja," bisikku. "Aku sangat mencintaimu."
Malam itu, kami menghabiskan waktu bersama, berbicara, tertawa, dan berbagi mimpi. Aku menyadari bahwa AmourAI hanyalah alat, sebuah katalis. Ia mungkin telah mempertemukan kami, tapi yang membuat kami jatuh cinta adalah sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak bisa diukur dengan algoritma. Itu adalah koneksi manusiawi, sebuah simfoni emosi yang hanya bisa dirasakan.
Aku masih seorang programmer, dan aku masih percaya pada kekuatan teknologi. Tapi aku juga belajar bahwa cinta bukan hanya tentang data dan algoritma. Cinta adalah tentang keberanian untuk membuka diri, untuk rentan, dan untuk menerima cinta dari orang lain. Cinta adalah tentang melampaui logika dan merangkul keajaiban.
Dan mungkin, hanya mungkin, AmourAI tidak hanya menemukan pasangan yang cocok untukku, tetapi juga membantuku menemukan diriku sendiri. Simfoni piksel mungkin telah memperkenalkanku pada nada-nada cinta, tetapi hati, pada akhirnya, yang memainkan melodi yang indah.