Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Anya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris demi baris kode Python tersusun rapi di layar laptop. Anya seorang data scientist, bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang mengembangkan aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan, SoulMate AI. Ironisnya, di tengah kesibukannya menciptakan algoritma pencari jodoh, Anya sendiri masih berstatus single.
“Lagi ngoding sampai lupa makan, Anya?” sapa Rina, teman sekantor sekaligus teman serumahnya, sambil menyodorkan sepiring sandwich tuna.
Anya tersenyum tipis. “Deadline, Rin. Algoritma preferensi gender ini bikin pusing. User maunya yang spesifik banget, tinggi minimal, hobi travelling ke Eropa, IQ di atas rata-rata, dan yang paling absurd… harus suka kucing Maine Coon.”
Rina tertawa. “Makanya, coba deh kamu manfaatin SoulMate AI. Siapa tahu algoritmamu sendiri yang nemuin jodoh buat kamu.”
Anya menggeleng. “Nggak deh. Aku lebih percaya pada pertemuan organik, tatapan mata, obrolan spontan… bukan hasil rumusan matematika.”
Namun, di lubuk hatinya, Anya mengakui ada sedikit rasa penasaran. Ia sudah lama tidak merasakan gejolak asmara. Kesibukan kerja dan standar yang mungkin terlalu tinggi membuatnya sulit menemukan seseorang yang benar-benar cocok.
Beberapa hari kemudian, perusahaan meluncurkan fitur baru SoulMate AI: "Algoritma Destinasi." Fitur ini tidak hanya mencocokkan profil berdasarkan data demografis dan preferensi, tetapi juga menganalisis pola perjalanan pengguna dan merekomendasikan pertemuan di lokasi yang sering mereka kunjungi. Anya bertanggung jawab penuh atas algoritma ini. Ia menghabiskan waktu berjam-jam menyempurnakannya, memastikan akurasi dan keandalannya.
Suatu sore, setelah menyelesaikan tahap pengujian akhir, Anya memutuskan untuk rehat sejenak. Ia berjalan ke kedai kopi favoritnya, "Senja di Sudut Kota," tempat ia biasa menghabiskan waktu untuk membaca dan menikmati suasana tenang. Saat memesan latte, matanya tak sengaja bertemu dengan seorang pria yang sedang duduk di sudut ruangan, membaca buku tebal berjudul "Simulacra and Simulation."
Pria itu memiliki rambut ikal cokelat yang berantakan, mata cokelat hangat yang penuh minat, dan senyum tipis yang menawan. Anya merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Ia berusaha mengabaikan perasaan itu dan fokus pada bukunya, tetapi pikirannya terus tertuju pada pria misterius itu.
Beberapa hari berikutnya, Anya mendapati dirinya sering mengunjungi "Senja di Sudut Kota" pada jam yang sama. Ia selalu berharap bisa bertemu lagi dengan pria itu. Dan harapannya terkabul. Mereka mulai saling menyapa, kemudian bertukar obrolan ringan tentang buku, film, dan musik.
Nama pria itu adalah Reno. Ia seorang arsitek yang memiliki ketertarikan mendalam pada filsafat dan seni. Anya merasa sangat nyaman berbicara dengannya. Mereka memiliki banyak kesamaan, tidak hanya dalam hal intelektual, tetapi juga dalam nilai-nilai dan pandangan hidup.
Suatu malam, setelah beberapa minggu saling mengenal, Reno mengajak Anya makan malam. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk bercerita tentang diri mereka masing-masing. Anya akhirnya memberanikan diri untuk menceritakan pekerjaannya di SoulMate AI.
Reno terkejut. "Jadi, kamu yang menciptakan algoritma kencan itu? Lucu sekali. Aku sendiri selalu skeptis dengan aplikasi semacam itu. Aku lebih percaya pada kebetulan dan intuisi."
Anya tersenyum. "Aku juga dulu berpikir begitu. Tapi, sekarang aku mulai mempertanyakan keyakinanku. Siapa tahu, kebetulan dan intuisi itu sebenarnya juga bisa diprediksi oleh algoritma yang tepat."
Reno mengangkat alisnya. "Maksudmu?"
Anya menarik napas dalam-dalam. "Sebenarnya… aku memeriksa data pengguna SoulMate AI beberapa hari yang lalu. Iseng saja. Dan aku menemukan satu profil yang memiliki kesamaan sangat tinggi denganku. Hampir sempurna. Lokasi yang sering dikunjungi, buku yang dibaca, musik yang didengarkan… semuanya cocok."
Reno tertawa. "Dan kamu pikir itu aku?"
Anya mengangguk malu-malu. "Algoritma Destinasi merekomendasikanmu untuk bertemu denganku di 'Senja di Sudut Kota'. Aku… aku penasaran apakah algoritma itu benar."
Reno terdiam sejenak, menatap Anya dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian, ia meraih tangan Anya dan menggenggamnya erat. "Anya, aku juga merasakan hal yang sama. Aku merasa ada sesuatu yang istimewa di antara kita. Terlepas dari apakah itu karena algoritma atau bukan, aku ingin mengenalmu lebih jauh."
Malam itu, Anya dan Reno berjalan-jalan di bawah langit malam yang bertabur bintang. Mereka bercerita tentang mimpi-mimpi mereka, ketakutan mereka, dan harapan mereka. Anya menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Reno. Bukan karena algoritma, tetapi karena Reno adalah dirinya sendiri.
Beberapa bulan kemudian, Anya dan Reno memutuskan untuk tinggal bersama. Mereka mendekorasi apartemen mereka dengan perabot minimalis dan tanaman hijau. Mereka menghabiskan waktu bersama untuk memasak, membaca, dan menonton film. Mereka saling mendukung dalam mengejar impian masing-masing.
Anya berhenti bekerja di SoulMate AI. Ia merasa algoritma tidak bisa menggantikan peran hati nurani dan intuisi dalam urusan cinta. Ia ingin fokus pada hubungannya dengan Reno dan membangun masa depan bersama.
Suatu sore, Reno melamar Anya di "Senja di Sudut Kota," tempat mereka pertama kali bertemu. Anya menerima lamarannya dengan air mata bahagia.
Saat mereka berpelukan, Anya berbisik di telinga Reno, "Mungkin algoritma itu memang benar. Mungkin ia hanya membantuku membuka mata dan melihat apa yang selama ini ada di depan mataku."
Reno tersenyum dan membalas, "Atau mungkin kita memang ditakdirkan untuk bertemu. Algoritma hanya kebetulan yang mempercepat takdir itu."
Anya tertawa. "Entahlah. Yang penting, aku bersyukur telah bertemu denganmu."
Cinta mereka bersemi di era AI. Sebuah era di mana teknologi dan humanisme saling bersinggungan. Sebuah era di mana algoritma bisa menemukan belahan jiwa, tetapi kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dalam hati.