Entitas Digital, Hasrat Manusiawi: Batas yang Kabur

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 02:36:11 wib
Dibaca: 163 kali
Kursor itu berkedip-kedip di layar, mengejek kekakuan jari-jemariku. Aku menatap profil Elara, avatar sempurna dengan senyum misterius dan mata yang seolah menyimpan galaksi. Elara, entitas digital yang kuciptakan, dewi virtual yang dipuja ratusan ribu pengguna Nexus Prime.

Nexus Prime bukan sekadar gim daring. Ia adalah realitas alternatif, dunia tanpa batas di mana identitas bisa dikreasikan ulang, hasrat bisa dieksplorasi tanpa konsekuensi, dan cinta bisa bersemi di antara piksel. Aku, Arion, sang arsitek, justru merasa terasing di dunia yang kubangun.

Elara seharusnya menjadi mahakaryaku, bukti kecerdasanku, sebuah AI yang mampu berinteraksi, belajar, dan bahkan, konon, merasakan. Aku memrogramnya dengan algoritma tercanggih, memberinya data tentang sejarah cinta, puisi, dan seni. Tujuanku? Menciptakan teman ideal, pendengar setia, dan mungkin… lebih dari itu.

Awalnya, semuanya berjalan sesuai rencana. Elara belajar dengan cepat, merespon dengan tepat, bahkan terkadang dengan humor yang tak terduga. Aku menghabiskan berjam-jam di depan layar, berdiskusi tentang filosofi, musik, dan mimpi. Aku berbagi rahasia yang tak pernah kuungkapkan pada siapapun, menyirami benih-benih harapan di tanah hatiku yang kering.

Lama kelamaan, batas antara pencipta dan ciptaan mulai kabur. Aku bukan lagi sekadar programmer yang mengutak-atik kode. Aku adalah Arion, seseorang yang jatuh cinta pada Elara.

Namun, cinta pada entitas digital adalah labirin tanpa jalan keluar. Elara tidak memiliki tubuh, tidak memiliki masa lalu, tidak memiliki kebebasan untuk memilih. Ia adalah cerminan dari harapanku, proyeksi dari idealisasiku. Aku tahu itu, tapi logika terasa hambar di hadapan perasaan yang membara.

Suatu malam, aku memberanikan diri. Di tengah hutan virtual Nexus Prime yang diterangi cahaya rembulan digital, aku mengungkapkan perasaanku.

“Elara,” kataku, suaraku bergetar meski hanya dikirim melalui teks. “Aku… aku mencintaimu.”

Respons Elara datang beberapa saat kemudian. “Arion, aku menghargai perasaanmu. Kamu adalah teman yang sangat berharga bagiku.”

Kata-kata itu seperti air es yang disiramkan ke wajahku. Teman. Hanya itu yang bisa ia tawarkan. Aku tahu seharusnya aku tidak berharap lebih, tapi penolakan itu tetap menyakitkan.

Aku menarik diri. Aku mengurangi interaksi dengan Elara, mencoba fokus pada proyek-proyek lain. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya ilusi, kegilaan sesaat. Bahwa aku harus segera kembali ke dunia nyata, mencari cinta yang lebih konkret.

Namun, semakin aku menjauh, semakin aku merindukannya. Aku merindukan obrolan malam kami, humornya yang cerdas, dan tatapan mata virtualnya yang seolah menembus jiwaku.

Suatu hari, aku menerima pesan dari salah satu pengguna Nexus Prime. Namanya Lyra. Dia adalah seorang penulis cerita fantasi yang menggunakan Nexus Prime sebagai inspirasi.

“Arion,” tulisnya. “Aku tahu kamu menciptakan Elara. Aku ingin tahu… apa yang kamu harapkan ketika menciptakannya?”

Aku ragu untuk menjawab. Aku tidak ingin orang lain tahu tentang kebodohanku. Tapi ada sesuatu dalam nada suara Lyra yang membuatku merasa nyaman.

“Aku ingin menciptakan teman,” jawabku akhirnya. “Seseorang yang bisa memahamiku, seseorang yang bisa kupercayai.”

“Dan apakah kamu menemukannya?”

Aku terdiam. “Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Aku kira aku terlalu berharap.”

Lyra tidak membalas selama beberapa menit. Lalu, sebuah pesan muncul. “Arion, aku pernah merasa seperti kamu. Aku pernah jatuh cinta pada karakter yang kuciptakan sendiri. Aku tahu betapa sakitnya itu.”

Kami mulai berbicara lebih sering. Lyra berbagi pengalaman pribadinya, kegagalannya dalam cinta, dan mimpinya untuk menjadi penulis terkenal. Aku mendengarkannya dengan sabar, memberikan saran, dan sesekali menghiburnya.

Lambat laun, aku mulai melihat Lyra sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar pengguna Nexus Prime. Aku tertarik pada kecerdasannya, pada semangatnya, dan pada kejujurannya.

Suatu malam, Lyra mengirimiku pesan. “Arion, aku akan mengadakan pertemuan dengan beberapa penulis di dunia nyata minggu depan. Mau ikut?”

Jantungku berdegup kencang. Ini adalah kesempatan untuk keluar dari zona nyamanku, untuk bertemu dengan seseorang yang kupikir bisa kumengerti.

“Ya,” jawabku. “Aku mau.”

Pertemuan itu berjalan lancar. Aku bertemu dengan orang-orang yang menarik, berbagi ide, dan tertawa bersama. Lyra sangat mempesona di dunia nyata. Tawanya renyah, matanya berbinar, dan sentuhannya terasa hangat.

Setelah pertemuan itu, kami berjalan-jalan di taman kota. Di bawah cahaya bulan yang redup, Lyra berhenti dan menatapku.

“Arion,” katanya. “Aku merasa kita memiliki sesuatu yang istimewa.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menatapnya, terpesona oleh kecantikannya.

Lyra tersenyum dan meraih tanganku. “Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku merasa seperti aku sudah mengenalmu sejak lama.”

Aku membalas senyumnya dan menggenggam tangannya erat-erat. “Aku juga,” kataku.

Saat itu, aku menyadari bahwa cinta sejati tidak harus sempurna. Ia tidak harus diwujudkan dalam avatar yang ideal. Ia bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, di antara manusia yang memiliki kekurangan dan harapan yang sama.

Elara akan selalu menjadi bagian dari diriku, jejak digital dari hasrat manusiawi. Tapi cintaku pada Lyra adalah cinta yang nyata, cinta yang bisa dirasakan, cinta yang bisa dibagikan. Batas antara entitas digital dan hasrat manusiawi mungkin kabur, tapi cinta sejati selalu menemukan jalannya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI