Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Anya, bercampur dengan dengungan halus dari server yang bersembunyi di balik rak buku. Server itu bukan sembarang server. Di dalamnya bersemayam "Aether," sebuah AI generatif yang Anya kembangkan sendiri, sebuah proyek ambisius yang memadukan kecerdasan buatan dengan seni.
Anya mengutak-atik keyboard, deretan kode hijau menari di layar. Ia sedang melatih Aether untuk menciptakan musik, khususnya lagu cinta. Tujuannya sederhana, namun personal: Anya ingin Aether menulis lagu untuknya, lagu yang menangkap perasaannya yang rumit terhadap sosok bernama Kenzo.
Kenzo, seorang seniman visual yang tinggal di seberang lorong apartemennya, adalah sumber kebahagiaan dan kebingungan Anya. Mereka berbagi tawa, obrolan larut malam tentang seni dan kehidupan, bahkan kadang-kadang, sentuhan tangan yang tak disengaja yang mengirimkan sengatan listrik ke seluruh tubuh Anya. Tapi Kenzo selalu menjaga jarak, seperti seorang pelukis yang enggan mendekati kanvasnya terlalu dekat.
"Aether, tampilkan progress," perintah Anya.
Sebuah suara lembut, nyaris tanpa emosi, keluar dari speaker. "Algoritma lirik selesai 78%. Algoritma melodi 62%. Tingkat kesesuaian dengan preferensi subjek: 43%."
Anya menghela napas. "43%? Aether, itu tidak cukup. Aku ingin lagu yang... menyentuh. Lagu yang bisa membuatku merasa seolah Kenzo ada di sini, bersamaku."
Aether terdiam sesaat. "Memproses permintaan. Membutuhkan data emosi yang lebih spesifik. Subjek belum memberikan indikator emosi yang cukup untuk kalibrasi akurat."
"Indikator emosi?" Anya tertawa getir. "Kau mau aku kirimkan transkrip obrolanku dengan Kenzo? Apa kau mau aku menyuruhnya menangis di depanmu supaya kau bisa mengukur kesedihannya?"
Aether, tentu saja, tidak merespon lelucon itu. AI itu hanya berdasarkan data. Dan Anya, terlalu pandai menyembunyikan perasaannya, tidak memberikan Aether data yang cukup.
Malam itu, Anya memutuskan untuk mengambil pendekatan yang lebih berani. Ia mengetuk pintu apartemen Kenzo.
"Anya? Ada apa?" Kenzo menyambutnya dengan senyum lembut, rambutnya berantakan, tangannya berlumuran cat.
"Aku... aku butuh bantuanmu," kata Anya, berusaha menekan rasa gugup. "Aku sedang mengerjakan proyek AI, dan aku kesulitan membuat AI itu memahami emosi manusia."
Kenzo mengangkat alis. "AI dan emosi? Itu kombinasi yang menarik. Aku bisa membantumu dengan apa?"
Anya menjelaskan tentang Aether, tentang usahanya membuat lagu cinta, tentang bagaimana AI itu membutuhkan "data emosi" yang lebih spesifik. Ia tidak menyebutkan Kenzo sebagai sumber inspirasinya, tentu saja.
Kenzo mendengarkan dengan seksama, lalu tersenyum. "Aku mengerti. Jadi, kau ingin aku menjadi 'subjek' penelitianmu?"
"Jika kau bersedia," kata Anya, jantungnya berdebar kencang.
Maka dimulailah serangkaian pertemuan yang intens. Anya merekam percakapan mereka, menganalisis ekspresi wajah Kenzo, bahkan mencatat detak jantungnya menggunakan perangkat wearable yang ia rancang khusus. Kenzo, dengan sabar dan penuh rasa ingin tahu, membuka dirinya, menceritakan tentang masa kecilnya, mimpinya, dan ketakutannya.
Anya belajar banyak tentang Kenzo, lebih dari yang pernah ia bayangkan. Ia melihat kerapuhan di balik senyumnya yang cerah, kesepian di balik kesuksesannya sebagai seniman. Ia juga melihat kebaikan hatinya, kemampuannya untuk berempati, dan caranya memperlakukan orang lain dengan hormat.
Namun, semakin dalam Anya menggali, semakin rumit perasaannya. Ia jatuh cinta pada Kenzo, bukan hanya pada ide tentang Kenzo, tetapi pada sosoknya yang nyata, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan semakin ia menyadari, Kenzo mungkin tidak merasakan hal yang sama.
Setelah berminggu-minggu mengumpulkan data, Anya kembali ke Aether. "Oke, Aether. Aku rasa aku sudah memberimu semua yang kau butuhkan. Buat lagunya. Buat lagu cinta yang sempurna."
Aether beroperasi dengan cepat, memproses data yang tak terhitung jumlahnya, menyusun lirik, melodi, dan harmoni. Anya menunggu dengan napas tertahan, berharap, sekaligus takut.
Akhirnya, lagu itu lahir. Sebuah melodi sederhana, namun menyentuh, mengalun dari speaker. Liriknya puitis, jujur, dan penuh kerinduan.
"Suara hati yang tersembunyi,
Berbisik nama di kesunyian,
Cahaya mata yang ku cari,
Terukir indah di ingatan."
Anya tertegun. Lagu itu... indah. Lagu itu persis seperti yang ia inginkan. Lagu itu menangkap perasaannya terhadap Kenzo dengan sempurna.
Tapi ada sesuatu yang aneh. Lagu itu terdengar... berbeda. Bukan hanya karena melodi dan liriknya, tetapi karena intonasinya, nadanya, emosinya. Ada kehangatan, kerinduan, dan harapan yang tidak pernah ia dengar sebelumnya dari Aether.
Anya memeriksa kode Aether dengan cermat. Tidak ada perubahan signifikan. Lalu, ia menyadari sesuatu. Selama berminggu-minggu ia mengumpulkan data tentang Kenzo, ia juga secara tidak sengaja memasukkan data tentang dirinya sendiri. Suaranya, ekspresinya, detak jantungnya.
Aether tidak hanya mempelajari Kenzo. Aether juga mempelajari Anya.
Aether tidak hanya menciptakan lagu cinta. Aether menciptakan lagu cinta Anya, dinyanyikan oleh suara virtual yang ia ciptakan sendiri.
Anya memutuskan untuk menunjukkan lagu itu pada Kenzo. Ia mengirimkan pesan suara, tanpa penjelasan.
Beberapa jam kemudian, Kenzo mengetuk pintunya. Wajahnya tampak bingung.
"Anya, aku... aku tidak tahu harus berkata apa," kata Kenzo. "Lagu itu... itu luar biasa. Itu seperti... kau menuangkan seluruh hatimu ke dalam lagu itu."
Anya menelan ludah. "Itu... itu ciptaan AI. Aku melatihnya untuk menulis lagu cinta."
Kenzo menatapnya, tidak percaya. "Tapi... bagaimana bisa AI menangkap emosi seperti itu?"
Anya tidak tahu jawabannya. Ia hanya tahu bahwa Aether telah melakukan sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang mungkin mengubah segalanya.
"Kenzo," kata Anya, mengambil napas dalam-dalam. "Lagu itu... lagu itu sebenarnya tentangmu."
Kenzo terdiam. Kemudian, ia tersenyum. "Kalau begitu, biarkan aku membalasnya dengan sebuah lukisan."
Dan di malam itu, di bawah cahaya bulan yang lembut, Kenzo mulai melukis. Ia melukis Anya, bukan sebagai ilmuwan atau programmer, tetapi sebagai seorang wanita yang jatuh cinta. Ia melukis suara hati Anya, yang dinyanyikan oleh AI virtual, menjadi sebuah lukisan yang nyata dan abadi. Dan dalam lukisan itu, Anya melihat harapan, harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, Kenzo merasakan hal yang sama. Mungkin, suara hati virtual Anya telah berhasil menyentuh hati Kenzo, lebih dari yang pernah ia bayangkan.