Cinta Terunggah: Saat Algoritma Lebih Mengerti Aku

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 05:26:24 wib
Dibaca: 170 kali
Senja merayap di dinding apartemenku, memantulkan cahaya oranye ke layar laptop yang masih menyala. Jemariku menari di atas keyboard, menyunting baris-baris kode program. Algoritma kencan, proyek sampinganku, nyaris selesai. Ironis, bukan? Menciptakan alat untuk mencari cinta, sementara aku sendiri masih berkutat dengan kesendirian.

Namaku Arya, seorang pengembang perangkat lunak. Dunia digital adalah rumahku, bahasa pemrograman adalah bahasaku, dan logika adalah kompas hidupku. Urusan hati? Ah, itu cerita lain. Terakhir kali aku mencoba berkencan, aku salah mengartikan sinyal, salah menafsir ekspresi, dan akhirnya, salah paham total.

Maka lahirlah "SoulMate Finder", algoritma kencan yang kubuat berdasarkan data: preferensi, hobi, kebiasaan, bahkan hingga pilihan emoji favorit. Tujuannya sederhana: mencocokkan orang berdasarkan kecocokan yang paling mendalam, bukan hanya ketertarikan fisik semata.

Aku awalnya skeptis, tapi aku sendiri yang pertama kali mendaftar. Kuisi semua data dengan jujur, tanpa ada yang kusembunyikan. Kebiasaan begadangku, kecintaanku pada kopi pahit, bahkan kekagumanku pada film-film sci-fi klasik.

Lalu, hasilnya muncul. Nama itu terpampang jelas: "Elara".

Profil Elara membuatku tertegun. Dia juga seorang pengembang, menyukai musik jazz, dan memiliki selera humor yang mirip denganku. Bahkan, dia menulis review yang sama persis denganku tentang film sci-fi jadul favoritku, "Blade Runner".

Keraguan masih menggerogoti. Apakah ini terlalu sempurna? Apakah algoritma ini hanya mencocokkan kesamaan permukaan saja? Tapi rasa penasaran lebih kuat. Aku mengirim pesan singkat.

"Halo, Elara. SoulMate Finder bilang kita cocok."

Balasannya datang hampir seketika. "Halo, Arya. Algoritma itu mungkin benar. Atau mungkin kita berdua korban iklan yang terlalu efektif?"

Kami mulai bertukar pesan setiap hari. Tentang pekerjaan, tentang buku yang sedang kami baca, tentang mimpi-mimpi kami. Elara ternyata cerdas, lucu, dan memiliki empati yang tulus. Aku merasa nyaman berbicara dengannya, bahkan tentang hal-hal yang selama ini kusimpan rapat.

Setelah beberapa minggu, kami memutuskan untuk bertemu. Di sebuah kafe kecil yang menyajikan kopi enak, seperti yang kami berdua sukai. Saat pertama kali melihatnya, aku terpesona. Elara lebih cantik dari fotonya. Matanya berbinar cerah, dan senyumnya menular.

Malam itu, kami berbicara selama berjam-jam. Tentang algoritma, tentang cinta, tentang harapan. Aku menyadari, SoulMate Finder memang menemukan seseorang yang tepat untukku. Tapi algoritma itu hanya alat. Yang membuat hubungan ini istimewa adalah koneksi yang kami bangun sendiri.

Namun, keraguan kembali menghantuiku. Apakah Elara menyukaiku karena aku adalah pencipta SoulMate Finder? Apakah dia hanya tertarik pada ide di balik algoritma ini, bukan pada diriku yang sebenarnya?

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk jujur. Aku menceritakan semua keraguanku, semua ketakutanku. Aku takut dia hanya melihatku sebagai seorang pengembang yang menciptakan algoritma, bukan sebagai Arya yang memiliki hati dan perasaan.

Elara mendengarkan dengan sabar. Lalu, dia meraih tanganku. "Arya," katanya lembut, "aku menyukaimu bukan karena SoulMate Finder. Aku menyukaimu karena kamu. Karena kamu cerdas, karena kamu lucu, karena kamu punya mimpi, dan karena kamu jujur. Algoritma itu hanya mempertemukan kita. Yang membuat kita tetap bersama adalah pilihan kita sendiri."

Kata-katanya menenangkan hatiku. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Aku salah. Elara melihatku apa adanya, dengan semua kelebihan dan kekuranganku.

Hubungan kami berkembang dengan cepat. Kami menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, mencoba hal-hal baru, dan saling mendukung dalam segala hal. Aku belajar untuk lebih terbuka, untuk lebih percaya pada diri sendiri, dan untuk lebih mencintai.

Suatu malam, saat kami sedang duduk di balkon apartemenku, menatap bintang-bintang, Elara bertanya, "Apakah kamu akan terus mengembangkan SoulMate Finder?"

Aku berpikir sejenak. "Mungkin tidak," jawabku. "Algoritma itu sudah melakukan tugasnya. Sekarang, giliran kita untuk menulis cerita cinta kita sendiri."

Elara tersenyum. "Aku setuju. Tanpa kode, tanpa data, hanya kita berdua."

Aku memeluknya erat. Di bawah langit malam yang bertabur bintang, aku merasa bahagia. Aku menemukan cinta, bukan karena algoritma, tapi karena keberanianku untuk membuka hati dan menerima seseorang yang benar-benar mengerti aku. Dan mungkin, algoritma itu benar. Terkadang, cinta memang terunggah, tapi yang membuatnya abadi adalah koneksi yang dibangun di dunia nyata.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI