Aplikasi kencan itu berkedip di layarnya, notifikasi samar bertuliskan "Kecocokan Sempurna Ditemukan". Maya menghela napas, bosan. Sudah enam bulan sejak ia mengunduh "SoulMate AI," aplikasi yang menjanjikan untuk mencarikan belahan jiwanya berdasarkan analisis data mendalam, mulai dari preferensi buku hingga gelombang otak. Enam bulan penuh dengan kencan canggung dan percakapan hambar.
"Kecocokan sempurna, ya?" gumamnya sinis, lalu mengetuk notifikasi tersebut.
Layar menampilkan profil seorang pria bernama Arion. Foto-fotonya menunjukkan senyum menawan, mata yang seolah menyimpan rahasia alam semesta, dan hobi yang – luar biasa – sama persis dengan miliknya: mendaki gunung, membaca fiksi ilmiah, dan mengoleksi vinil band indie tahun 80-an. Deskripsi dirinya singkat namun cerdas: "Mencari seseorang untuk berbagi keheningan bintang-bintang dan kegaduhan kota."
Maya terpaku. Terlalu sempurna. Terlalu… disusun.
Keraguannya semakin besar ketika membaca bagian "Skrip Cinta." SoulMate AI rupanya telah menghasilkan potongan dialog, skenario kencan potensial, bahkan daftar lagu yang "ideal" untuk mengiringi pertemuan mereka.
"Astaga," bisiknya. "Ini benar-benar seperti film."
Awalnya, Maya jijik. Ide menyerahkan urusan hati pada algoritma terdengar mengerikan. Namun, di sisi lain, hatinya yang sepi diam-diam berbisik. Mungkin, hanya mungkin, AI ini tahu sesuatu yang tidak ia ketahui.
Akhirnya, ia memutuskan untuk bertemu Arion. Ia mengirim pesan, mengikuti skrip yang diberikan AI, hanya untuk melihat apa yang akan terjadi.
"Hai Arion, senyummu membuatku penasaran tentang cerita di baliknya," ketiknya, persis seperti yang tertulis di aplikasi.
Balasan datang hampir seketika. "Hai Maya, matamu menunjukkan keberanian dan kelembutan. Aku ingin mendengar kisahmu."
Maya bergidik. Terlalu teatrikal. Tapi, ia melanjutkan.
Kencan pertama mereka terjadi di sebuah kedai kopi yang direkomendasikan AI. Suasana kedai itu hangat dan nyaman, musik yang diputar adalah playlist yang telah diatur oleh aplikasi, dan percakapan mereka… mengalir dengan lancar. Mereka berbicara tentang buku-buku yang mereka sukai, mimpi-mimpi yang ingin mereka raih, dan ketakutan-ketakutan yang jarang mereka bagikan dengan orang lain.
Arion persis seperti yang ia bayangkan dari profilnya. Cerdas, lucu, dan penuh perhatian. Ia bahkan mengucapkan beberapa kalimat yang sama persis dengan yang tertulis di "Skrip Cinta," namun entah bagaimana, ketika keluar dari bibirnya, kata-kata itu terasa tulus.
Malam itu, Maya pulang dengan perasaan aneh. Senang, tapi juga gelisah. Apakah ini cinta sejati, atau hanya hasil dari algoritma yang rumit?
Hari-hari berikutnya diisi dengan kencan demi kencan. Mereka mendaki gunung seperti yang tertera dalam profil mereka, menyaksikan bintang-bintang yang gemerlap di langit malam, dan berdansa dengan canggung diiringi musik vinil lama. Setiap momen terasa indah, namun selalu ada suara kecil di benak Maya yang mempertanyakan keasliannya.
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Arion, menikmati angin malam, Maya memberanikan diri untuk bertanya.
"Arion," katanya, suaranya bergetar, "apakah kamu… apakah kamu membaca 'Skrip Cinta' juga?"
Arion terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Ya," jawabnya. "Awalnya, aku menganggapnya konyol. Tapi, aku penasaran. Aku ingin tahu apakah AI ini benar-benar bisa menemukan seseorang yang cocok denganku."
Maya menunduk. "Jadi, semua ini… semua kata-kata indah itu… hanya skrip?"
Arion meraih tangannya. "Tidak, Maya. Kata-kata itu memang ada di skrip, tapi perasaan di baliknya… itu nyata. Aku memilih untuk mengucapkannya, karena aku merasakannya. AI mungkin membantuku menemukanmu, tapi aku yang memutuskan untuk jatuh cinta padamu."
Air mata mengalir di pipi Maya. Ia mengangkat wajahnya dan menatap mata Arion. Ia melihat kejujuran, kelembutan, dan cinta yang tulus.
"Aku juga merasakannya, Arion," bisiknya.
Mereka berciuman. Ciuman itu tidak ada dalam "Skrip Cinta," namun terasa jauh lebih nyata, lebih intens, daripada apa pun yang bisa diprediksi oleh algoritma.
Beberapa bulan kemudian, Maya dan Arion berdiri di altar, di bawah langit biru yang cerah. Di hadapan keluarga dan teman-teman, mereka mengucapkan janji setia. Janji itu tidak ditulis oleh AI, melainkan berasal dari lubuk hati mereka yang terdalam.
Setelah upacara, saat mereka berdansa di pesta pernikahan mereka, Arion berbisik di telinga Maya, "Terima kasih, SoulMate AI."
Maya tertawa. "Terima kasih, takdir."
Mungkin, AI memang hanya alat. Alat yang membantu mereka menemukan satu sama lain. Tapi, cinta sejati, takdir abadi, tetaplah pilihan yang mereka buat sendiri. Skrip cinta mungkin memulai kisah mereka, namun mereka yang menulis kelanjutannya. Mereka yang menulis bab-bab baru, dengan tinta hati dan pena kasih sayang. Mereka yang menciptakan melodi cinta yang unik, melodi yang hanya bisa didengar oleh dua jiwa yang saling menemukan. Dan melodi itu, akan terus bergema, selamanya.