Aplikasi kencan itu berdering pelan, notifikasi halus yang sudah menjadi melodi latar belakang dalam hidup Anya. Biasanya, Anya mengabaikannya. Algoritma aplikasi itu, menurutnya, sama saja dengan perjodohan kuno, hanya dibungkus dalam lapisan data dan kode. Namun, malam itu, entah kenapa, jarinya tertarik membuka notifikasi tersebut.
Profil yang muncul di layar membuatnya tertegun. Foto seorang pria dengan mata teduh, senyum simpul yang menenangkan, dan deskripsi singkat yang cerdas: "Penikmat kopi, penggemar senja, dan percaya bahwa kode bisa menciptakan keindahan." Nama pria itu: Elio.
Anya membaca profilnya berulang-ulang. Elio, seorang arsitek perangkat lunak, bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang mengembangkan aplikasi edukasi untuk anak-anak. Hobi-hobinya mirip dengan Anya: mendaki gunung, membaca novel klasik, dan bermain catur online. Bahkan, selera musik mereka identik.
"Ini terlalu sempurna," gumam Anya, skeptisisme langsung menyerbu benaknya. Algoritma membisikkan cinta? Kedengarannya seperti plot film sci-fi murahan.
Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguannya. Anya mengirimkan pesan singkat: "Kode bisa menciptakan keindahan? Ceritakan lebih lanjut."
Balasan Elio datang hampir seketika: "Kode adalah bahasa kreativitas. Kita bisa membangun jembatan, menciptakan dunia, bahkan, mungkin, menemukan cinta."
Percakapan mereka mengalir deras, seperti sungai yang meluap setelah hujan. Mereka bertukar pikiran tentang buku favorit, membahas filosofi hidup, dan bahkan berdebat ringan tentang keunggulan bahasa pemrograman tertentu. Anya merasa seolah mengenal Elio seumur hidup, padahal baru beberapa jam mereka saling berkomunikasi.
Beberapa minggu kemudian, mereka memutuskan untuk bertemu. Anya memilih sebuah kedai kopi kecil di sudut kota, tempat yang tenang dan nyaman. Saat Elio datang, jantung Anya berdebar kencang. Dia persis seperti yang dibayangkannya: hangat, ramah, dan tatapan matanya penuh ketulusan.
Kencan pertama mereka berlangsung selama berjam-jam. Mereka tertawa, bercerita, dan menemukan lebih banyak kesamaan daripada yang mereka bayangkan. Anya merasa seperti sedang bermimpi. Apakah mungkin algoritma bisa menemukan seseorang yang begitu cocok dengannya?
Setelah beberapa kencan, Anya mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan. Dia jatuh cinta pada Elio. Cintanya tulus, mendalam, dan tak terbantahkan. Namun, keraguan tetap menghantuinya.
"Apakah ini nyata?" tanya Anya pada dirinya sendiri setiap malam sebelum tidur. "Atau hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma?"
Dia takut bahwa Elio hanyalah produk dari data, kumpulan preferensi yang diprogram untuk membuatnya jatuh cinta. Dia takut bahwa hubungan mereka tidak memiliki fondasi yang kuat, hanya sekadar kecocokan algoritmik.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk berdua di balkon apartemen Anya, menikmati pemandangan kota yang gemerlap, Anya memutuskan untuk mengungkapkan ketakutannya.
"Elio," katanya, suaranya bergetar, "aku... aku menyukaimu. Sangat menyukaimu. Tapi aku takut."
Elio menatapnya dengan lembut. "Takut kenapa, Anya?"
"Aku takut bahwa semua ini terlalu sempurna. Aku takut bahwa kita hanya cocok karena algoritma, bukan karena kita benar-benar saling mengenal dan mencintai."
Elio menggenggam tangannya dengan erat. "Anya, aku mengerti ketakutanmu. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku tidak melihatmu sebagai data. Aku melihatmu sebagai Anya, wanita yang cerdas, lucu, dan berhati mulia. Aku jatuh cinta padamu bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri."
Dia melanjutkan, "Algoritma hanya mempertemukan kita. Tapi cinta yang kita rasakan, itu adalah pilihan kita. Itu adalah hasil dari usaha kita untuk saling mengenal, saling memahami, dan saling mendukung."
Anya menatap mata Elio, mencari kebohongan, tapi yang dia temukan hanyalah kejujuran dan cinta yang tulus. Air mata mulai mengalir di pipinya.
"Aku... aku percaya padamu," bisik Anya.
Elio tersenyum dan menghapus air mata Anya. "Aku akan membuktikan padamu bahwa cinta kita nyata, Anya. Setiap hari, setiap saat."
Waktu berlalu. Anya dan Elio terus membangun hubungan mereka, selangkah demi selangkah. Mereka menghadapi tantangan, mengatasi rintangan, dan saling mendukung dalam setiap aspek kehidupan. Anya menyadari bahwa cinta mereka bukan hanya sekadar kecocokan algoritmik, tapi hasil dari kerja keras, komunikasi yang jujur, dan komitmen yang mendalam.
Elio selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, memberikan semangat saat dia merasa putus asa, dan menemaninya dalam setiap petualangan. Anya pun melakukan hal yang sama untuk Elio. Mereka saling mencintai dengan tulus dan tanpa syarat.
Suatu malam, saat mereka sedang mendaki gunung, menyaksikan matahari terbit yang indah, Elio berlutut di hadapan Anya.
"Anya," katanya, suaranya bergetar karena emosi, "maukah kau menikah denganku?"
Anya menangis terharu. Tanpa ragu, dia mengangguk dan berkata, "Ya, Elio. Aku mau."
Saat mereka berpelukan di puncak gunung, Anya merasa bahagia dan damai. Dia tahu bahwa cinta mereka nyata, abadi, dan tak terpisahkan. Algoritma mungkin telah mempertemukan mereka, tapi cinta mereka adalah hasil dari pilihan mereka, komitmen mereka, dan keberanian mereka untuk saling mencintai. Hatinya akhirnya menemukan jawaban: ini nyata. Lebih nyata dari yang pernah dia bayangkan.