Aplikasi kencan itu berdering lembut, notifikasi kecil yang menyala di pergelangan tangan Anya. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Algoritma "Soulmate AI" miliknya telah bekerja keras semalaman, memindai jutaan profil, mencari koneksi yang paling kompatibel. Hasilnya? Satu nama: Kai.
Anya, seorang programmer andal dan pengembang Soulmate AI, selalu skeptis tentang cinta. Baginya, cinta adalah setumpuk kode yang berantakan, penuh bug, dan sulit di-debug. Sampai akhirnya, atas desakan sahabatnya, Rina, ia memutuskan untuk menguji ciptaannya sendiri.
Kai adalah arsitek, profilnya dipenuhi foto-foto bangunan futuristik dan kutipan-kutipan puitis tentang ruang dan cahaya. Deskripsinya singkat, namun penuh makna. Soulmate AI mengklaim bahwa Kai memiliki 97% kecocokan dengannya. Angka yang absurd, pikir Anya, tapi rasa ingin tahunya tergelitik.
Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang terkenal dengan robot baristanya. Anya, dengan rambut dikepang rapi dan kacamata bingkai tebalnya, duduk di sudut, gugup seperti mahasiswa baru yang akan menghadapi ujian. Kai datang terlambat, napasnya tersengal, rambutnya sedikit berantakan. Entah kenapa, ketidaksempurnaan itu membuatnya tampak lebih menarik.
“Maaf, tadi ada masalah kecil dengan desain fasad bangunan,” ucap Kai, sambil tersenyum. Senyumnya hangat dan tulus, membuat jantung Anya berdegup lebih kencang dari biasanya.
Obrolan mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara tentang arsitektur, pemrograman, kecerdasan buatan, dan bahkan tentang mimpi-mimpi masa kecil yang konyol. Anya terkejut menemukan bahwa Kai memahami lelucon-lelucon teknisnya, dan dia, sebaliknya, terpesona oleh cara Kai melihat dunia, melalui perspektif keindahan dan fungsi.
Malam itu, Anya tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh Kai. Apakah mungkin, pikirnya, bahwa algoritma yang dia ciptakan benar-benar berhasil menemukan belahan jiwanya? Perasaan aneh itu, yang selama ini dia hindari, kini menyeruak, mengisi ruang kosong di hatinya.
Hari-hari berikutnya diisi dengan kencan-kencan yang semakin intens. Mereka menjelajahi museum seni virtual, mendaki gunung dengan pemandangan kota futuristik, dan bahkan menghadiri konser musik yang diselenggarakan oleh AI. Setiap momen terasa seperti kode yang ditulis ulang, bug yang diperbaiki, dan program yang dioptimalkan.
Namun, di balik kebahagiaan itu, keraguan mulai menghantui Anya. Apakah cinta mereka ini nyata, atau hanya hasil dari perhitungan algoritma yang canggih? Apakah Kai mencintai Anya karena siapa dia sebenarnya, atau karena Soulmate AI telah memaksanya untuk mencintai versi ideal dirinya?
Suatu malam, saat mereka sedang menikmati makan malam romantis di sebuah restoran terapung, Anya memberanikan diri untuk bertanya.
“Kai,” ucapnya, suaranya bergetar sedikit, “Apakah… apakah kamu benar-benar mencintaiku, atau apakah ini semua karena Soulmate AI?”
Kai terdiam sejenak, menatap Anya dengan tatapan yang sulit dibaca. “Anya,” jawabnya akhirnya, “Aku bertemu denganmu karena Soulmate AI, itu benar. Tapi aku jatuh cinta padamu karena dirimu sendiri. Aku suka caramu berpikir, caramu tertawa, caramu melihat dunia. Algoritma hanya membantuku menemukanmu, tapi hatiku yang memilih untuk mencintaimu.”
Jawaban Kai tidak sepenuhnya menghilangkan keraguan Anya, tapi setidaknya memberinya sedikit ketenangan. Dia tahu bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau dikendalikan sepenuhnya oleh algoritma. Cinta adalah campuran kompleks dari kimia, pengalaman, dan pilihan.
Beberapa bulan kemudian, Anya menemukan celah besar dalam Soulmate AI. Sebuah bug yang, jika tidak diatasi, bisa membuat penggunanya terobsesi pada pasangan yang direkomendasikan, bahkan jika tidak ada kecocokan yang sebenarnya. Anya panik. Dia menyadari bahwa aplikasinya, yang awalnya dia ciptakan untuk membantu orang menemukan cinta, justru bisa menjadi alat manipulasi yang berbahaya.
Dia segera menghubungi Kai, menceritakan tentang penemuannya dan niatnya untuk menutup Soulmate AI. Reaksi Kai membuatnya terkejut.
“Anya, tunggu dulu,” ucap Kai, suaranya tegang. “Aku tahu tentang bug itu.”
Anya terkejut. “Kamu tahu? Lalu kenapa kamu tidak memberitahuku?”
Kai menghela napas. “Karena aku takut. Aku takut kamu akan menutup Soulmate AI dan kita akan… kehilangan satu sama lain.”
Anya terdiam. Dia akhirnya mengerti. Kai, seperti dirinya, juga merasa tidak aman dengan cinta mereka. Dia takut bahwa tanpa bantuan algoritma, cinta mereka akan lenyap.
“Kai,” ucap Anya lembut, “Cinta kita tidak tergantung pada algoritma. Ini nyata. Kita bisa memilih untuk saling mencintai, bahkan tanpa bantuan teknologi.”
Anya menutup Soulmate AI. Ia tahu bahwa dunia kencan online penuh dengan ketidakpastian dan risiko, tapi ia juga percaya bahwa cinta sejati bisa ditemukan di mana saja, bahkan di dunia yang dipenuhi dengan teknologi canggih.
Beberapa tahun kemudian, Anya dan Kai menikah. Mereka membangun rumah impian mereka, sebuah bangunan yang menggabungkan keahlian Anya dalam pemrograman dan keahlian Kai dalam arsitektur. Mereka tidak pernah menyesal menutup Soulmate AI. Mereka belajar bahwa cinta sejati tidak di-download, tetapi dibangun, selangkah demi selangkah, hari demi hari, dengan kesabaran, pengertian, dan, yang terpenting, dengan hati yang terbuka. Kecerdasan buatan mungkin bisa membantu menemukan seseorang, tapi kecerdasan emosionallah yang akan membuat cinta itu bertahan selamanya. Mereka mengerti bahwa hati tidak perlu di-update secara paksa, tapi perlu dipupuk dan dirawat dengan kasih sayang. Dan itulah yang mereka lakukan, setiap hari.