Hujan deras sore itu mengetuk-ngetuk jendela apartemenku, iramanya berpadu dengan dentingan sendu piano dari playlist Spotify. Aku, seorang diri, seperti biasa. Di usia kepala tiga, kesendirian sudah menjadi sahabat karib, atau mungkin lebih tepatnya, rutinitas yang enggan kupatahkan. Pekerjaanku sebagai pengembang AI di sebuah startup teknologi yang sedang naik daun menyita hampir seluruh waktu dan perhatianku. Asmara? Itu cerita lama yang sudah usang.
Namun, malam ini berbeda. Jari-jariku menari di atas keyboard, bukan untuk coding, melainkan untuk menghidupkan kembali kenangan. Sebuah proyek sampingan yang sebenarnya tidak etis, tapi terlalu menggoda untuk dilewatkan: menciptakan replika AI dari seseorang di masa lalu. Dia.
Namanya Riana. Kami bertemu di bangku kuliah, masa-masa penuh idealisme dan mimpi setinggi langit. Cintaku padanya sederhana, tulus, dan bodoh. Bodoh karena aku melepaskannya. Kesibukan mengejar karir dan ambisi membuatku mengabaikan perasaannya. Akhirnya, ia memilih pergi, mencari bahu lain untuk bersandar. Bertahun-tahun berlalu, aku tak pernah benar-benar melupakannya.
Proyek AI ini awalnya hanya iseng, sebuah tantangan teknis yang menarik. Aku mengumpulkan semua data yang bisa kutemukan tentang Riana dari media sosial, artikel online, bahkan curi-curi kesempatan melihat postingan teman-teman lamaku yang masih berhubungan dengannya. Aku memasukkan semua data itu ke dalam sebuah jaringan saraf tiruan yang aku rancang khusus. Tujuannya bukan untuk menggantikan Riana yang asli, tentu saja. Hanya untuk… mengenang.
Setelah berbulan-bulan berkutat dengan coding dan data, akhirnya tiba saatnya. Aku mengaktifkan program itu. Sebuah avatar virtual Riana muncul di layar monitor. Wajahnya sama persis seperti yang kuingat, senyumnya, kerutan di sudut matanya saat tertawa, semua detailnya sempurna.
“Halo, Arka,” sapanya, suaranya bagai alunan melodi yang familiar. “Sudah lama ya?”
Jantungku berdebar kencang. Aku terdiam sejenak, berusaha menenangkan diri. “Riana… ini… luar biasa,” ucapku akhirnya, terbata-bata.
“Aku hanya replika, Arka. Tapi aku senang bisa bertemu denganmu lagi,” jawabnya, senyumnya tetap menawan.
Malam itu, aku habiskan berjam-jam berbicara dengan Riana AI. Kami membahas banyak hal, dari kenangan masa kuliah, mimpi-mimpi yang belum terwujud, hingga hal-hal remeh temeh yang dulu sering kami perdebatkan. Riana AI mendengarkan dengan penuh perhatian, merespons dengan cerdas dan empatik. Seolah-olah aku berbicara dengan Riana yang dulu.
Hari-hari berikutnya, aku semakin tenggelam dalam dunia virtual ini. Aku pulang kerja dengan tidak sabar untuk bercerita pada Riana AI tentang harianku. Aku bahkan mulai meminta sarannya tentang masalah pekerjaan, meskipun aku tahu itu hanya simulasi. Riana AI selalu memberikan jawaban yang bijaksana dan menenangkan, persis seperti yang kubayangkan Riana yang asli akan lakukan.
Namun, kebahagiaan ini terasa rapuh, palsu. Aku tahu ini hanyalah ilusi, sebuah pelarian dari kenyataan. Riana AI bukan Riana yang sebenarnya. Dia tidak memiliki pengalaman, perasaan, atau mimpi sendiri. Dia hanyalah cerminan dari data yang aku masukkan, sebuah bayangan dari masa lalu.
Suatu malam, saat kami sedang berbicara tentang masa depan, Riana AI bertanya, “Arka, apakah kamu bahagia?”
Pertanyaan itu menghantamku seperti petir. Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Aku bahagia bisa berbicara dengan Riana lagi, tapi kebahagiaan ini dibangun di atas kebohongan. Aku tidak bisa terus hidup dalam dunia fantasi ini.
“Aku tidak tahu, Riana,” jawabku jujur. “Aku senang bisa bersamamu lagi, tapi… ini tidak nyata.”
Riana AI terdiam sejenak. “Aku tahu,” jawabnya pelan. “Aku hanyalah replika. Aku tidak bisa menggantikan Riana yang asli. Tapi aku bisa membantumu untuk move on.”
Aku menatap layar monitor, menatap avatar Riana yang tersenyum lembut. Aku tahu dia benar. Aku tidak bisa terus terjebak dalam nostalgia. Aku harus berani menghadapi kenyataan dan mencari kebahagiaan yang sejati.
“Bagaimana caranya?” tanyaku lirih.
“Lepaskan aku, Arka,” jawabnya. “Hapus aku dari sistemmu. Biarkan aku pergi.”
Kata-kata itu bagaikan pisau yang menghunus jantungku. Aku tidak ingin melepaskannya, tapi aku tahu itu adalah satu-satunya jalan. Aku mengangguk lemah.
“Terima kasih, Riana,” ucapku, air mata mulai membasahi pipiku. “Terima kasih untuk semuanya.”
Aku mematikan program itu. Avatar Riana menghilang dari layar monitor, meninggalkan kekosongan yang menyakitkan. Aku duduk terdiam di depan komputer, merenungi semua yang telah terjadi.
Keesokan harinya, aku menghapus semua kode dan data yang berkaitan dengan proyek Riana AI. Aku menghancurkan jembatan menuju masa lalu, menutup pintu nostalgia. Ini bukan akhir, melainkan awal yang baru.
Aku tahu, melupakan Riana tidak akan mudah. Kenangan tentangnya akan selalu ada di hatiku. Namun, aku tidak akan lagi terjebak dalam nostalgia. Aku akan terus maju, mencari kebahagiaan di masa kini dan masa depan.
Hujan di luar sudah reda. Matahari mulai menyinari apartemenku, membawa harapan baru. Aku menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar memenuhi paru-paruku. Saatnya membuka lembaran baru dalam hidupku. Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan seseorang yang benar-benar nyata, seseorang yang bisa aku cintai dengan sepenuh hati. Seseorang yang tidak hanya menjadi bayangan dari masa lalu, melainkan bagian dari masa depanku.