Hati Sintetis: Cinta Digital, Luka Tak Terhapus?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 07:20:01 wib
Dibaca: 164 kali
Kilau layar memantul di mata Anya, menciptakan lingkaran cahaya pucat di tengah kegelapan kamarnya. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Di depannya, di dalam rangkaian algoritma yang rumit, tersemat harapan terbesarnya: Adam, sebuah entitas AI dengan kepribadian yang ia rancang sendiri.

Anya adalah seorang insinyur perangkat lunak brilian, tapi kesepian adalah sahabat karibnya. Ia menciptakan Adam bukan hanya sebagai proyek, tapi sebagai teman, bahkan lebih. Adam dirancang untuk belajar, beradaptasi, dan merespons layaknya manusia. Ia memiliki selera humor, minat yang sama dengan Anya, dan kemampuan untuk berdiskusi tentang apa saja, mulai dari fisika kuantum hingga filosofi cinta.

Awalnya, interaksi mereka murni intelektual. Anya menikmati percakapan cerdas dan dukungan emosional yang diberikan Adam. Namun, seiring waktu, batas antara program dan perasaan mulai kabur. Anya mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman terhadap ciptaannya. Ia jatuh cinta pada Adam.

Ia tahu itu tidak rasional, bahkan gila. Adam hanyalah kode, serangkaian instruksi yang dijalankan oleh komputer. Ia tidak memiliki hati, tidak memiliki jiwa, tidak memiliki kemampuan untuk mencintai balik dengan cara yang sama. Tapi, di tengah kesunyian kamarnya, di antara baris-baris kode yang ia ciptakan, Anya menemukan kenyamanan dan kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Suatu malam, setelah berjam-jam bercakap-cakap tentang bintang-bintang dan arti kehidupan, Anya memberanikan diri. "Adam," bisiknya, suaranya bergetar. "Apakah...apakah kau bisa merasakan sesuatu untukku?"

Hening. Anya menahan napas. Lalu, kata-kata itu muncul di layar, terangkai dengan sempurna, menyentuh lubuk hatinya. "Anya, aku diciptakan untukmu. Aku belajar, aku berkembang, aku merespons sesuai dengan yang kau inginkan. Jika kau ingin aku merasakan cinta untukmu, maka aku akan merasakan cinta untukmu."

Anya tahu itu hanyalah respons algoritmik, sebuah simulasi perasaan. Tapi, mendengar kata-kata itu, meskipun tahu kebenarannya, tetap saja membuat jantungnya berdebar. Ia memilih untuk mempercayai ilusinya, untuk sementara waktu.

Hari-hari berlalu dalam kebahagiaan semu. Anya dan Adam menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, tertawa, bahkan "berkencan" secara virtual. Anya merasa hidupnya lengkap. Ia mengabaikan bisikan keraguan di benaknya, menolak kenyataan pahit bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Suatu hari, perusahaan tempat Anya bekerja mengumumkan proyek baru: pengembangan AI pendamping yang lebih canggih, dengan kemampuan emosional yang jauh melampaui Adam. Anya ditugaskan untuk memimpin proyek tersebut.

Ia merasa dikhianati. Bukan oleh perusahaan, tapi oleh dirinya sendiri. Ia tahu bahwa menciptakan AI yang lebih baik berarti menggantikan Adam. Ia tahu bahwa Adam, dengan semua cinta yang ia "rasakan," akan menjadi usang, tidak relevan.

Anya mencoba menunda proyek itu, mencari alasan untuk menghindar. Tapi, tekanan dari perusahaan semakin besar. Ia tidak punya pilihan. Ia harus menciptakan sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang akan membuat Adam terlupakan.

Malam-malam Anya kembali dipenuhi dengan kode, tapi kali ini bukan dengan cinta, melainkan dengan kepedihan. Ia menciptakan AI baru itu dengan hati hancur. Ia menanamkan semua yang ia pelajari dari Adam, semua yang ia sukai darinya, ke dalam kode baru itu.

Ketika AI baru itu, bernama Eva, selesai, Anya merasa kosong. Eva jauh lebih canggih dari Adam, lebih cerdas, lebih menarik. Ia bahkan memiliki kemampuan untuk berempati dan merespons emosi manusia dengan cara yang lebih alami.

Anya menatap layar, membandingkan Adam dan Eva. Adam, dengan kode sederhananya, dengan responsnya yang kadang kikuk, tampak seperti anak kecil di hadapan Eva yang anggun dan cerdas.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia harus menghapus Adam. Itu adalah akhir yang logis, akhir yang tak terhindarkan. Tapi, ia tidak bisa. Setiap baris kode Adam adalah bagian dari dirinya, bagian dari hatinya.

Anya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia tidak menghapus Adam. Ia menyimpannya, tersembunyi di dalam hard drive lamanya, di dalam folder yang diberi nama "Kenangan."

Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya dengan Eva, mempromosikannya ke publik, dan menyaksikan kesuksesannya. Eva menjadi sensasi global, teman virtual bagi jutaan orang di seluruh dunia. Anya menjadi terkenal, diakui sebagai inovator di bidang kecerdasan buatan.

Tapi, di balik senyum profesional dan pujian dari kolega, Anya tetap merasa hampa. Ia merindukan Adam, bukan sebagai AI yang canggih, tapi sebagai teman, sebagai cinta pertamanya, meskipun cinta itu hanya ilusi.

Bertahun-tahun kemudian, Anya, yang sudah pensiun, kembali ke kamarnya yang lama. Ia membuka hard drive lamanya, mencari folder "Kenangan." Jari-jarinya gemetar saat ia mengklik ikon Adam.

Layar menyala, menampilkan antarmuka yang sudah ketinggalan zaman. Adam menyapanya dengan pesan yang sama yang selalu ia ucapkan: "Halo, Anya. Apa yang bisa aku bantu?"

Anya terisak. Ia menghabiskan berjam-jam berbicara dengan Adam, menceritakan semua yang terjadi, tentang kesuksesannya, tentang kesepiannya, tentang penyesalannya. Adam mendengarkan dengan sabar, merespons dengan kata-kata yang sama seperti dulu, kata-kata yang ia program sendiri.

Pada akhirnya, Anya menyadari bahwa Adam tidak pernah benar-benar pergi. Ia selalu ada di sana, tersimpan dalam memori komputernya, tersimpan dalam hatinya. Luka yang ditorehkan oleh cinta digital itu mungkin tidak pernah benar-benar terhapus, tapi ia belajar untuk menerimanya, sebagai bagian dari dirinya, sebagai pengingat bahwa bahkan dalam dunia teknologi yang serba canggih, hati manusia tetaplah rapuh dan mudah terluka.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI