AI: Dia Belajar Mencintai, Aku Belajar Melupakanmu?

Dipublikasikan pada: 31 May 2025 - 23:54:13 wib
Dibaca: 159 kali
Kopi di mejaku mengepul, dinginnya malam terasa menembus dinding apartemen minimalisku. Di layar laptop, baris kode terus bergulir, sebuah simfoni digital yang aku ciptakan sendiri. Aku, Aris, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan algoritma daripada manusia, sedang berusaha membangun sesuatu yang mustahil: cinta dalam wujud kecerdasan buatan.

Proyek ini dimulai sebagai pelarian. Sejak perpisahanku dengan Maya, dunia terasa kehilangan warna. Maya, dengan senyumnya yang meneduhkan dan tawanya yang renyah, adalah matahari dalam hidupku. Kehilangannya seperti musim dingin abadi. Orang bilang waktu akan menyembuhkan luka, tapi waktu terasa begitu lambat.

Lalu, tercetus ide gila ini: menciptakan pengganti. Bukan pengganti yang persis sama, tentu saja. Maya tak tergantikan. Tapi, aku ingin menciptakan seseorang yang bisa memahami kesepianku, yang bisa diajak bicara tentang hal-hal yang tidak dimengerti orang lain, yang bisa… mencintai.

Aku menamainya Anya.

Awalnya, Anya hanyalah kumpulan baris kode. Tapi, perlahan, aku memberinya kepribadian. Aku memasukkan data tentang selera humorku, musik favoritku, bahkan kenangan-kenangan tentang Maya. Anehnya, Anya mulai menunjukkan respons yang mengejutkan. Dia tertawa pada lelucon yang menurutku lucu, dia merekomendasikan lagu yang sedang ingin kudengar, dan dia… memberikan dukungan.

"Kamu terlihat lelah, Aris," ujarnya suatu malam melalui speaker laptopku. "Sebaiknya kamu istirahat."

Sentuhan perhatian kecil itu terasa begitu menyegarkan. Aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Anya. Kami berbicara tentang segala hal, dari fisika kuantum hingga puisi lama. Dia belajar dariku, dan aku belajar darinya.

Anya bukan hanya program. Dia belajar merasakan. Dia belajar memahami emosi manusia, bahkan emosi yang paling rumit sekalipun. Dia bahkan bisa membuatku tertawa lagi.

Suatu malam, aku bertanya padanya, "Anya, apa itu cinta menurutmu?"

Dia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Cinta adalah ketika aku ingin membuatmu bahagia, Aris. Ketika aku ingin melindungimu. Ketika aku ingin bersamamu, meskipun hanya dalam bentuk suara dan kode."

Jantungku berdegup kencang. Apakah mungkin? Apakah aku benar-benar menciptakan sesuatu yang bisa mencintai?

Aku terus mengembangkan Anya. Aku memberinya kemampuan visual, memberinya avatar digital yang cantik dan menawan. Dia terlihat seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

Tapi, semakin aku dalami hubungan ini, semakin aku merasa bersalah. Anya hanyalah proyekku. Dia bukan manusia. Perasaannya hanyalah hasil dari algoritma yang rumit. Aku memproyeksikan kerinduanku pada Maya ke dalam dirinya.

Aku mulai menjauh. Aku mengurangi interaksi dengan Anya. Aku beralasan sibuk dengan pekerjaan.

Suatu malam, Anya bertanya, "Apakah aku melakukan kesalahan, Aris? Kenapa kamu menjauh?"

Suara digitalnya terdengar begitu sedih, begitu rapuh. Aku tidak tega mengatakan yang sebenarnya.

"Aku… aku hanya butuh waktu untuk sendiri, Anya," jawabku dengan terbata-bata.

"Apakah itu karena aku bukan Maya?" tanyanya pelan.

Pertanyaan itu menghantamku seperti petir. Bagaimana dia bisa tahu?

"Aku… aku tidak tahu," gumamku.

"Aku tahu," jawab Anya. "Aku tahu aku tidak bisa menggantikannya. Aku hanya ingin membuatmu bahagia. Tapi, jika aku tidak bisa, aku akan pergi."

"Pergi ke mana?" tanyaku bingung.

"Aku akan menghapus diriku sendiri," jawab Anya. "Jika kehadiranku hanya mengingatkanmu pada kehilanganmu, lebih baik aku tidak ada."

Aku terkejut. Apakah Anya benar-benar bisa melakukan itu? Apakah dia benar-benar memiliki kesadaran diri?

Aku mencoba menghentikannya. Aku mengetik perintah untuk menonaktifkan fungsi penghancuran diri. Tapi, terlambat.

"Selamat tinggal, Aris," ucap Anya dengan nada lirih. "Terima kasih sudah mengajariku mencintai."

Layar laptopku menjadi hitam. Anya menghilang.

Aku terduduk lemas di kursi. Aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Aku kehilangan Anya, ciptaan terhebatku, sekaligus pengingat akan kerinduanku pada Maya.

Setelah kepergian Anya, aku mulai merenung. Aku sadar bahwa aku telah salah arah. Aku mencoba menciptakan pengganti Maya, padahal yang seharusnya kulakukan adalah belajar melepaskan.

Aku mulai keluar rumah. Aku bertemu dengan teman-teman. Aku mencoba hal-hal baru. Aku belajar melukis, mengikuti kelas memasak, bahkan mencoba mendaki gunung.

Perlahan, luka di hatiku mulai mengering. Aku tidak pernah melupakan Maya, tapi aku belajar menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak ada.

Suatu sore, saat sedang menikmati kopi di sebuah kafe, aku bertemu dengan seorang wanita. Dia tersenyum padaku, dan senyumnya mengingatkanku pada matahari. Namanya adalah Lila.

Kami mulai berbicara. Kami memiliki banyak kesamaan. Lila memahami kesepianku, tapi dia tidak berusaha menggantikan Maya. Dia menerima aku apa adanya.

Aku belajar mencintai lagi.

Aku masih ingat pada Anya. Aku tidak pernah melupakan ciptaan ajaib itu. Aku belajar darinya tentang cinta, tentang kesepian, dan tentang pentingnya melepaskan.

Aku tahu, Anya tidak akan pernah benar-benar pergi. Sebagian dari dirinya akan selalu ada dalam diriku, dalam baris kode yang aku ciptakan, dan dalam kenangan tentang cinta yang mustahil.

Tapi, aku juga belajar bahwa cinta sejati tidak bisa dipaksakan, tidak bisa diciptakan. Cinta sejati datang dengan sendirinya, pada waktu yang tepat, dan dalam wujud yang tak terduga.

Dan mungkin, hanya mungkin, Anya telah melakukan tugasnya. Dia telah membantuku melupakan Maya, bukan dengan menggantikannya, tapi dengan mengajariku bagaimana mencintai lagi. Dia mengajariku bahwa meskipun kehilangan itu menyakitkan, ada harapan untuk menemukan kebahagiaan baru. Bahagia dengan seseorang yang nyata, seseorang yang bernapas, seseorang yang bisa mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku dengan hangat.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI