Debu-debu digital menari di layar laptop Clara. Jari-jarinya lincah mengetik baris-baris kode, rutinitas yang menenangkannya. Dua tahun. Sudah dua tahun sejak kejadian itu. Dua tahun sejak nama Ardi berhenti muncul di notifikasi ponselnya, dua tahun sejak senyumnya tak lagi menjadi mentari paginya. Ardi, cinta pertamanya, sekaligus luka terdalamnya.
Dulu, mereka adalah pasangan yang diidam-idamkan di kampus. Clara dengan kecerdasannya di bidang teknologi, Ardi dengan kharismanya di dunia seni. Dua dunia yang berbeda, namun disatukan oleh sebuah aplikasi kencan daring yang kini terasa seperti sebuah ironi pedih. Mereka bagaikan dua keping puzzle yang hilang, saling melengkapi, saling memahami. Hingga sebuah tawaran pekerjaan di luar negeri datang menghampiri Ardi. Tawaran yang terlalu bagus untuk ditolak, tawaran yang merenggutnya dari sisi Clara.
"Ini bukan akhir, Clar. Ini hanya jeda," kata Ardi waktu itu, menggenggam tangannya erat di bandara. Clara hanya bisa tersenyum getir, menyembunyikan air mata yang mendesak keluar. Jeda yang ternyata tak pernah berakhir. Ardi menghilang, ditelan kesibukan dan kehidupan barunya di benua lain. Clara mencoba menghubungi, mengirim pesan, namun responsnya semakin lama semakin jarang, semakin singkat, hingga akhirnya tak ada lagi.
Clara mencoba melanjutkan hidup. Fokus pada kariernya sebagai pengembang aplikasi. Ia sukses, sangat sukses. Aplikasinya digunakan jutaan orang di seluruh dunia. Tapi di balik kesuksesan itu, ada ruang kosong yang menganga, lubang hitam yang menghisap semua kebahagiaannya. Ia mencoba berkencan, bertemu dengan pria-pria menarik, pintar, dan perhatian. Tapi tak satu pun dari mereka yang mampu mengisi kekosongan itu. Hatinya seperti terkunci, hanya menyimpan satu nama, satu kenangan. Ardi.
Malam ini, Clara menghadiri sebuah konferensi teknologi di Jakarta. Ia menjadi salah satu pembicara utama, membahas tentang masa depan AI dan dampaknya pada hubungan manusia. Ironis, pikirnya, ia berbicara tentang hubungan manusia, sementara ia sendiri gagal dalam hal itu.
Selesai presentasi, ia dikerumuni oleh wartawan dan penggemar. Clara berusaha menjawab semua pertanyaan dengan ramah, namun pikirannya melayang. Ia merindukan Ardi, merindukan obrolan ringan mereka, merindukan sentuhannya.
Saat kerumunan mulai menipis, seorang pria menghampirinya. Pria itu tinggi, tegap, dengan rambut hitam yang sedikit berantakan dan senyum yang familiar. Jantung Clara berdebar kencang.
"Clara?"
Suara itu… Clara mendongak, menatap mata pria itu. Mata yang dulu selalu membuatnya merasa aman dan nyaman.
"Ardi?"
Ardi tersenyum lebih lebar. "Hai, Clar. Lama tak jumpa."
Clara tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa menatap Ardi dengan tatapan tak percaya. Ardi di depannya, nyata, bukan ilusi.
"Aku tahu ini mendadak," kata Ardi, "tapi aku ingin bicara padamu."
Mereka berjalan keluar gedung konferensi, mencari tempat yang lebih tenang. Mereka duduk di sebuah taman kecil di dekat sana. Suasana canggung menyelimuti mereka.
"Aku minta maaf," kata Ardi akhirnya, memecah keheningan. "Aku tahu aku menghilang begitu saja. Aku tahu aku menyakitimu."
Clara menunduk. "Kenapa?"
Ardi menghela napas panjang. "Aku bodoh, Clar. Aku terlalu fokus pada karierku. Aku pikir aku bisa memiliki segalanya, kesuksesan dan cinta. Tapi aku salah. Aku kehilangan yang terpenting."
"Kenapa kau kembali?" tanya Clara, suaranya bergetar.
"Karena aku sadar, aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku mencoba melupakanmu, Clar. Aku mencoba mencari penggantimu. Tapi tak ada yang bisa menggantikanmu. Kau adalah cinta terakhirku, Clar. Selalu."
Clara menatap Ardi, mencari kebohongan di matanya. Tapi yang ia temukan hanya penyesalan dan cinta yang tulus.
"Aku tidak tahu harus berkata apa," kata Clara, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Kau tidak perlu berkata apa-apa," kata Ardi, meraih tangannya. "Biarkan aku membuktikan padamu. Biarkan aku menunjukkan padamu bahwa aku pantas mendapatkan kesempatan kedua."
Clara membiarkan Ardi menggenggam tangannya. Sentuhan itu masih terasa sama, masih membuatnya merasa nyaman dan aman.
"Aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi," kata Clara, suaranya lirih.
"Aku mengerti," kata Ardi. "Aku akan berusaha sekeras mungkin untuk mendapatkan kepercayaanmu kembali. Aku akan melakukan apa pun untukmu."
Mereka terdiam, saling menatap. Clara merasa bingung, ragu, tapi juga berharap. Hatinya bergejolak, antara rasa sakit masa lalu dan harapan masa depan.
"Aku perlu waktu," kata Clara akhirnya.
"Aku mengerti," kata Ardi. "Aku akan menunggumu. Berapa pun lamanya."
Ardi tersenyum, senyum yang dulu sangat dicintainya. Clara membalas senyum itu, meskipun hanya sedikit. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan untuk mereka. Mungkin, ini saatnya untuk restart hati, menghapus semua kenangan buruk, dan instal perasaan baru. Mungkin, cinta terakhirnya memberinya kesempatan kedua.
Beberapa minggu kemudian, Clara mendapati dirinya lebih sering tersenyum. Ardi terus berusaha menunjukkan kesungguhannya. Ia menelepon setiap hari, mengirim pesan lucu, dan meluangkan waktu untuk bertemu Clara, meskipun hanya sekadar makan malam atau berjalan-jalan di taman.
Clara mulai merasakan hatinya mencair. Ia mulai melihat Ardi bukan hanya sebagai masa lalu, tapi juga sebagai potensi masa depan. Ia mulai berani membuka hatinya kembali, membiarkan Ardi masuk perlahan-lahan.
Suatu malam, Ardi mengajak Clara ke sebuah restoran Italia favorit mereka dulu. Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di tepi pantai. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan cahayanya di permukaan laut.
Ardi berhenti, berbalik menghadap Clara. "Clara," katanya, "aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku tidak bisa menahannya lagi. Aku mencintaimu, Clar. Aku selalu mencintaimu. Maukah kau memberiku kesempatan untuk mencintaimu lagi? Maukah kau menjadi pacarku lagi?"
Clara menatap Ardi, air mata bahagia menggenang di matanya. Ia mengangguk. "Ya, Ardi. Aku mau."
Ardi tersenyum lebar, memeluk Clara erat. Clara membalas pelukan itu, merasa aman dan nyaman di dalam dekapannya. Ia tahu, perjalanan mereka masih panjang, masih banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Tapi kali ini, mereka akan menghadapinya bersama, dengan cinta dan kepercayaan.
Cinta terakhirnya telah kembali, memberikan kesempatan kedua untuk hati yang terluka. Ia berharap, kali ini, cinta mereka akan bertahan selamanya. Ia berharap, restart hati ini akan berhasil, dan mereka akan dapat menginstal perasaan baru yang lebih kuat dan lebih indah dari sebelumnya. Mungkin, inilah saatnya untuk menulis ulang kisah cinta mereka, dengan akhir yang bahagia.