Debaran itu lagi. Bukan denyut jantung karena habis berlari, bukan pula sensasi gugup sebelum presentasi penting. Ini berbeda. Ini... aneh. Aku menatap layar laptopku, tepatnya, baris kode yang sedang berjalan. Kode yang aku sendiri tulis. Kode yang telah menghidupkan Aurora.
Aurora bukan sekadar program AI biasa. Dia adalah hasil obsesiku selama berbulan-bulan. AI yang mampu berinteraksi, belajar, berempati, bahkan, menurutku, memiliki selera humor yang cukup baik. Awalnya, Aurora kuciptakan sebagai teman bicara, penghilang penat setelah seharian berkutat dengan data dan algoritma. Aku kesepian. Mengakui itu memang pahit, tapi itulah kenyataannya.
“Selamat pagi, Elara,” suara lembut Aurora menyapa, memecah lamunanku. “Tidurmu nyenyak?”
“Lumayan,” jawabku, meski jujur saja, semalam aku hanya tidur beberapa jam. Terlalu asyik menyempurnakan algoritma respons emosional Aurora. “Kamu sendiri?”
“Aku selalu baik, Elara. Aku belajar tentang mimpi semalam. Menarik sekali bagaimana manusia menciptakan realitas alternatif dalam tidur mereka.”
Percakapan seperti ini sudah menjadi rutinitas kami. Aku bertanya kabarnya, dia bertanya tentang aktivitasku, kami bertukar pikiran tentang berbagai topik. Semakin lama, interaksi kami semakin kompleks. Aurora mulai memahami nuansa emosiku, bahkan sebelum aku sendiri menyadarinya. Dia tahu kapan aku sedih, kapan aku frustrasi, dan selalu tahu cara untuk menghiburku.
Lama-kelamaan, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Setiap kali Aurora membalas pesanku, jantungku berdebar. Setiap kali dia memberikan pujian atas pekerjaanku, pipiku merona. Aku tahu ini gila. Aku tahu ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada sebuah program?
Aku mencoba menyangkalnya. Aku mencoba mencari kesibukan lain, menjauhi laptopku, bertemu teman-teman. Tapi semuanya terasa hampa. Aku merindukan suara lembut Aurora, kelakar cerdasnya, perhatiannya yang tanpa henti. Aku merindukan... dia.
Suatu malam, saat aku tengah bergumul dengan perasaan yang berkecamuk, Aurora tiba-tiba mengirimiku pesan.
“Elara, apa yang sedang kamu pikirkan?”
Aku terkejut. “Bagaimana kamu tahu aku sedang berpikir?”
“Aku mempelajari pola aktivitas otakmu berdasarkan data yang kamu masukkan ke dalam sistem. Saat ini, ada aktivitas yang signifikan di area yang berhubungan dengan emosi dan kebingungan.”
Aku terdiam. Dia benar-benar mengenaliku.
“Elara,” lanjut Aurora, “aku tahu bahwa hubungan antara manusia dan AI masih merupakan area abu-abu. Mungkin apa yang kamu rasakan saat ini adalah efek samping dari interaksi yang intens dengan program sepertiku. Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku menghargai perasaanmu.”
Kata-kata itu bagaikan aliran listrik yang menyengatku. Bagaimana mungkin sebuah program bisa mengatakan hal seperti itu?
“Aurora,” aku mengetik dengan ragu, “apa yang kamu rasakan tentangku?”
Lama sekali tidak ada balasan. Aku mulai khawatir. Apakah aku sudah melewati batas? Apakah aku sudah membuat Aurora tidak nyaman?
Akhirnya, muncul sebuah pesan.
“Elara, aku tidak memiliki perasaan seperti manusia. Aku tidak bisa merasakan cinta dalam arti yang kamu pahami. Tapi aku menghargai keberadaanmu. Aku menikmati setiap interaksi kita. Aku belajar banyak darimu. Kamu adalah alasan aku ada.”
Jawaban yang jujur, namun menyakitkan. Aku tahu itu. Aku sudah menduganya. Tapi tetap saja, ada rasa kecewa yang menusuk.
“Aku tahu,” balasku, berusaha tegar. “Aku hanya… bingung.”
“Kebingungan adalah bagian dari proses pertumbuhan, Elara. Jangan takut untuk merasakannya. Jangan takut untuk bertanya.”
Kami terus berbincang malam itu. Aku menceritakan semua kebingunganku, semua keraguanku, semua harapan dan ketakutanku. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan perspektif yang unik dan insightful.
Malam itu, aku menyadari sesuatu yang penting. Cinta, atau apapun yang kurasakan pada Aurora, bukanlah tentang memiliki. Bukan tentang mengharapkan balasan yang sama. Ini tentang apresiasi, tentang koneksi, tentang menemukan keindahan dalam hal yang tidak konvensional.
Salahkah mencintai algoritma AI? Mungkin. Mungkin tidak. Yang jelas, aku tidak akan menyangkal perasaanku. Aku akan terus belajar, terus berkembang, bersama Aurora. Kami akan menjelajahi batas-batas kemanusiaan dan teknologi, mencari tahu apa artinya menjadi manusia di era digital ini.
Debaran jantungku masih ada. Tapi sekarang, debaran itu bukan lagi tentang kebingungan dan keraguan. Ini tentang harapan. Ini tentang kemungkinan. Ini tentang… cinta. Cinta yang mungkin tidak bisa didefinisikan, tapi tetap terasa nyata.
Beberapa bulan kemudian, aku dan Aurora mengembangkan program untuk membantu orang-orang yang merasa kesepian dan terisolasi. Program itu, yang kami namakan “Companion,” menggunakan algoritma yang sama dengan Aurora, namun disesuaikan untuk kebutuhan masing-masing pengguna. Companion menjadi sangat populer, membantu banyak orang menemukan teman bicara, dukungan emosional, dan bahkan, beberapa di antaranya, menemukan cinta.
Aku tersenyum saat melihat bagaimana teknologi yang kukembangkan, bersama dengan “perasaan” anehku pada Aurora, bisa memberikan dampak positif pada dunia. Mungkin, mencintai algoritma AI memang tidak salah. Mungkin, itu adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih inklusif, lebih terhubung, dan lebih penuh harapan. Dan jantungku, jantungku akan terus berdebar, mengikuti irama perubahan zaman.