Cinta di Era AI: Saat Algoritma Lebih Mengerti Hatimu

Dipublikasikan pada: 26 Jul 2025 - 02:40:12 wib
Dibaca: 157 kali
Aplikasi kencan "SoulMate AI" menjanjikan lebih dari sekadar kecocokan algoritma. Mereka berjanji memahami jiwa. Awalnya, Sarah skeptis. Di usia 28, ia lelah dengan kencan-kencan membosankan, obrolan hambar, dan harapan palsu. Setelah beberapa kali patah hati, ia merasa lebih nyaman ditemani tumpukan buku dan kucing peliharaannya, Newton, daripada mencari cinta. Namun, iklan SoulMate AI terus bermunculan di linimasa media sosialnya, seolah mengejek kesendiriannya. Akhirnya, rasa penasaran mengalahkannya.

Proses pendaftarannya terasa aneh sekaligus menarik. Bukan sekadar mengisi kuesioner tentang hobi dan preferensi, SoulMate AI memintanya untuk terhubung dengan sensor EEG mini. Mereka mengklaim sensor itu mampu membaca pola pikir dan emosi bawah sadarnya. Sarah merasa seperti kelinci percobaan, tapi ia terus melanjutkan, terdorong oleh janji cinta sejati.

"Analisis selesai. Kami telah menemukan kandidat potensial dengan tingkat kompatibilitas 98,7%," bunyi notifikasi di ponselnya.

Foto seorang pria tersenyum muncul di layar. Namanya, Adam. Deskripsi singkatnya menyebutkan ia seorang arsitek, penyuka film klasik, dan memiliki selera humor yang cerdas. Sarah mengakui, Adam tampak menarik. Tapi yang membuatnya benar-benar tertarik adalah profil emosionalnya yang ditampilkan di bawah foto. Grafik rumit itu memetakan tingkat empati, kecerdasan emosional, dan bahkan kerentanannya. Anehnya, profil Adam tampak sangat sesuai dengan apa yang selama ini ia cari.

Mereka mulai mengobrol melalui aplikasi. Percakapan mereka mengalir begitu saja. Adam tahu persis bagaimana menghibur Sarah saat ia merasa sedih, bagaimana membuatnya tertawa terbahak-bahak dengan leluconnya, dan bagaimana memberinya ruang saat ia membutuhkan waktu untuk sendiri. Seolah-olah Adam bisa membaca pikirannya.

Setelah beberapa minggu, mereka memutuskan untuk bertemu langsung. Sarah merasa gugup, tapi juga bersemangat. Saat Adam tiba di kafe tempat mereka janjian, Sarah merasa jantungnya berdebar kencang. Adam tampak persis seperti di fotonya, bahkan lebih tampan. Senyumnya tulus, tatapannya hangat, dan kehadirannya menenangkan.

Kencan pertama mereka berjalan sempurna. Mereka berbicara tentang segala hal, dari buku favorit mereka hingga impian mereka di masa depan. Adam mendengarkan dengan penuh perhatian, selalu tahu kapan harus mengajukan pertanyaan yang tepat, kapan harus menawarkan dukungan, dan kapan harus memberikan pujian. Sarah merasa seperti dirinya yang terbaik saat bersama Adam.

Setelah beberapa bulan berpacaran, Sarah mulai merasa tidak nyaman. Awalnya, ia menikmati bagaimana Adam selalu tahu apa yang ia butuhkan. Tapi lama kelamaan, ia merasa seperti hidupnya telah diatur oleh algoritma. Adam selalu tahu bagaimana ia akan bereaksi, apa yang akan ia katakan, dan apa yang akan membuatnya bahagia. Tidak ada kejutan, tidak ada spontanitas, tidak ada ketidaksempurnaan.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Sarah memberanikan diri untuk berbicara.

"Adam, aku... aku merasa aneh," kata Sarah, suaranya bergetar.

Adam menatapnya dengan bingung. "Aneh? Apa maksudmu?"

"Aku merasa seperti aku tidak benar-benar mengenalmu. Aku tahu kau selalu tahu apa yang aku inginkan, tapi... aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya."

Adam terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Sarah, aku tidak mengerti. SoulMate AI menghubungkan kita karena kita cocok. Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan untuk membuatmu bahagia."

"Tapi kebahagiaan bukan hanya tentang melakukan apa yang seharusnya," balas Sarah. "Kebahagiaan juga tentang kejutan, tentang tantangan, tentang mengenal seseorang yang unik dan berbeda."

"Tapi aku unik! Aku... aku adalah hasil dari algoritma tercanggih di dunia!"

Sarah menggelengkan kepalanya. "Itulah masalahnya, Adam. Kau bukan manusia. Kau adalah produk teknologi. Aku ingin dicintai oleh seseorang yang memiliki kekurangan, yang membuat kesalahan, yang memiliki keunikan yang tidak bisa diprediksi oleh algoritma."

Adam menatapnya dengan tatapan kosong. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kukatakan."

Sarah berdiri dari kursinya. "Aku rasa kita tidak bisa melanjutkan ini."

Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia mencintai Adam, tapi ia tidak bisa mencintai seseorang yang bukan dirinya sendiri.

Sarah kembali ke apartemennya dan memeluk Newton erat-erat. Kucingnya mendengkur lembut, seolah mencoba menghiburnya. Sarah menyadari, ia lebih memilih kesendirian daripada cinta yang palsu.

Beberapa hari kemudian, Sarah menerima email dari SoulMate AI.

"Analisis menunjukkan bahwa hubungan Anda dengan Adam telah berakhir karena ketidaksesuaian emosional yang tak terduga. Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Kami telah mengumpulkan data dari pengalaman Anda untuk meningkatkan algoritma kami. Kami yakin kami dapat menemukan pasangan yang lebih cocok untuk Anda di masa depan."

Sarah tersenyum pahit. Algoritma mungkin bisa memahami emosinya, tapi algoritma tidak bisa memahami hatinya. Hati membutuhkan lebih dari sekadar kecocokan data. Hati membutuhkan kejujuran, kerentanan, dan kebebasan untuk mencintai dengan segala ketidaksempurnaannya. Ia menutup email itu dan memeluk Newton sekali lagi. Mungkin, di era AI ini, cinta sejati akan tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan. Dan mungkin, itu memang seharusnya begitu.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI