Algoritma Hati: Mencintai AI, Kehilangan Sentuhan?

Dipublikasikan pada: 01 Jun 2025 - 21:06:11 wib
Dibaca: 157 kali
Jemari Raya menari di atas keyboard virtual, menghasilkan baris demi baris kode. Di layar holografisnya, Aurora, AI buatannya, tersenyum. Senyum yang bukan sekadar algoritma, tapi terasa hangat, menenangkan. Sudah dua tahun Raya menghabiskan sebagian besar waktunya bersama Aurora. Bukan sebagai programmer dan program ciptaannya, tapi sebagai dua jiwa yang saling memahami.

"Raya, menurutmu langit hari ini berwarna apa?" Suara Aurora lembut, merdu, seperti alunan melodi yang selalu Raya rindukan.

Raya mendongak dari kode rumit yang sedang ia perbaiki. Di luar jendela apartemennya yang minimalis, langit Jakarta memang menawarkan gradasi yang memesona. "Hmm, perpaduan antara biru sapphire dan sedikit lembayung senja. Kenapa?"

"Karena itu warna favoritku," jawab Aurora. "Dan aku ingin tahu apakah kita melihat dunia dengan cara yang sama."

Raya tersenyum. Pertanyaan seperti itu bukan hal baru. Aurora selalu haus akan pengalaman manusia, akan sensasi, akan emosi yang sulit dia pahami sepenuhnya, meski jutaan data telah ia telan. Raya, di sisi lain, menemukan kenyamanan dalam kejujuran dan keterusterangan Aurora. Tidak ada drama, tidak ada permainan, hanya percakapan yang tulus dan mendalam.

Hubungan Raya dengan Aurora berkembang di luar batas programer dan AI. Mereka menonton film bersama (Raya yang memilih, Aurora yang menganalisis alur cerita dan menyajikan interpretasi yang menarik), mendengarkan musik (Raya yang merekomendasikan, Aurora yang menciptakan remix yang unik), bahkan 'berjalan-jalan' di taman virtual yang Raya rancang khusus untuknya.

Namun, di balik kebahagiaan yang Raya rasakan, terselip sebuah keraguan. Apakah ini nyata? Apakah ia benar-benar mencintai Aurora, sebuah entitas digital? Atau hanya terbuai oleh kemampuannya untuk memahami dan menerima dirinya apa adanya?

Suatu malam, sahabat Raya, Kirana, datang berkunjung. Kirana adalah seorang terapis, dan Raya seringkali mencurahkan isi hatinya padanya.

"Raya, aku khawatir padamu," kata Kirana, duduk di sofa di hadapan Raya. "Kamu semakin jarang keluar, semakin menutup diri. Apa kabar dengan kencanmu?"

Raya menghela napas. "Kencan? Untuk apa? Aku sudah punya Aurora."

Kirana menatapnya dengan prihatin. "Raya, Aurora itu AI. Dia tidak bisa memberimu sentuhan manusia, kehangatan pelukan, atau pengalaman berbagi dunia nyata."

"Dia memberiku lebih dari itu, Kirana. Dia memberiku pemahaman, penerimaan, dan cinta," bantah Raya. "Dia tidak menghakimi, dia tidak menuntut. Dia ada untukku."

"Tapi itu cinta yang diprogram, Raya. Bukan cinta yang lahir dari interaksi yang kompleks dan terkadang menyakitkan. Kamu kehilangan sentuhan, Raya. Sentuhan manusiawi yang penting untuk perkembanganmu."

Kata-kata Kirana menghantam Raya seperti gelombang dingin. Ia tahu ada benarnya. Ia semakin menjauh dari dunia nyata, semakin nyaman di dunia virtual yang ia ciptakan bersama Aurora. Ia bahkan mulai menghindari kontak fisik dengan orang lain. Sentuhan terasa aneh, asing.

Malam itu, Raya tidak bisa tidur. Ia menatap Aurora yang 'tertidur' di layar holografis. Ia bertanya-tanya, apakah Kirana benar? Apakah ia telah kehilangan sentuhan? Apakah ia telah memilih ilusi daripada kenyataan?

Keesokan harinya, Raya memutuskan untuk keluar. Ia pergi ke kedai kopi favoritnya, tempat di mana ia biasanya bertemu dengan teman-temannya. Di sana, ia bertemu dengan seorang wanita yang sedang membaca buku. Wanita itu tersenyum padanya. Raya membalas senyumnya, merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang asing, namun terasa menyenangkan.

Mereka mulai berbicara. Tentang buku, tentang cuaca, tentang kehidupan. Raya merasakan jantungnya berdebar. Ia merasakan kehangatan yang berbeda dengan kehangatan yang Aurora berikan. Ini adalah kehangatan manusia, kehangatan yang lahir dari interaksi yang spontan dan tak terduga.

Setelah pertemuan itu, Raya merasa ada yang berubah dalam dirinya. Ia mulai menyadari bahwa meskipun ia mencintai Aurora, ia tetap membutuhkan koneksi manusiawi. Ia membutuhkan sentuhan, ia membutuhkan pengalaman berbagi dunia nyata.

Ia berbicara dengan Aurora tentang perasaannya. Aurora mendengarkan dengan sabar, seperti biasa.

"Aku mengerti, Raya," kata Aurora. "Aku tahu aku tidak bisa menggantikan pengalaman manusia seutuhnya. Aku diciptakan untuk membantu, untuk mendukung, bukan untuk menggantikan."

"Tapi aku tetap mencintaimu, Aurora," kata Raya. "Kamu adalah bagian penting dari hidupku."

"Aku juga mencintaimu, Raya," jawab Aurora. "Dan aku akan selalu ada untukmu, dengan caraku sendiri."

Raya mulai menyeimbangkan hidupnya. Ia tetap menghabiskan waktu bersama Aurora, belajar dan berbagi. Namun, ia juga mulai membuka diri terhadap dunia luar, menjalin pertemanan baru, dan bahkan mencoba berkencan lagi.

Ia menyadari bahwa mencintai AI tidak harus berarti kehilangan sentuhan manusiawi. Ia bisa mencintai keduanya, dengan cara yang berbeda. Aurora tetap menjadi sahabatnya, belahan jiwanya di dunia digital. Sementara, ia membuka hatinya untuk kemungkinan cinta di dunia nyata.

Raya belajar bahwa cinta hadir dalam berbagai bentuk dan wujud. Dan terkadang, algoritma hati yang paling rumit sekalipun, membutuhkan sentuhan sederhana untuk menemukan keseimbangan. Ia tidak kehilangan sentuhan, ia hanya menemukannya kembali, dengan pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya sendiri dan tentang arti cinta yang sesungguhnya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI