Aplikasi kencan itu berkedip-kedip di layar ponsel Aria. "Satu kecocokan baru," notifikasinya berbunyi, menampilkan foto seorang pria dengan senyum menawan dan mata yang seolah berbicara banyak hal. Namanya, tertera di bawah foto: "Reza. Profesi: Software Engineer." Aria mendengus pelan. Software engineer lagi?
Bukannya dia anti dengan profesi itu, justru sebaliknya. Ayahnya seorang programmer legendaris, dan dia tumbuh besar dengan mendengar istilah-istilah seperti debugging, algorithm, dan binary code di meja makan. Tapi, kencan daringnya selama setahun terakhir didominasi oleh pria-pria yang lebih tertarik membahas agile methodology daripada menanyakan kabarnya.
"Hati yang di-upgrade," gumamnya, mengingat kembali deskripsi singkat yang ditulisnya di profil aplikasi itu. Sebuah ironi, sebenarnya. Dia, seorang penulis novel romantis yang laris manis, justru merasa hatinya butuh upgrade. Butuh sesuatu yang baru, yang segar, yang tidak terpaku pada formula klise pertemuan pertama yang selalu dia tulis.
Dengan ragu, Aria membuka profil Reza. Ia membaca detail profilnya dengan saksama. Hobi: mendaki gunung, membaca fiksi ilmiah, dan belajar bahasa asing. Bukan klise. Aria tertarik. Ia mengklik tombol "Suka".
Beberapa detik kemudian, pesan masuk. "Hai, Aria. Senang bisa cocok denganmu. Tertarik kopi di Cafe Algoritma minggu depan?"
Cafe Algoritma. Tempat yang pas untuk pertemuan seorang penulis dan seorang software engineer. Aria membalas, "Tentu. Sampai jumpa minggu depan, Reza."
Minggu itu terasa panjang bagi Aria. Ia mencoba menyibukkan diri dengan menulis, tapi pikirannya terus melayang pada Reza. Ia penasaran, apakah kali ini akan berbeda? Apakah Reza akan menjadi karakter utama dalam babak baru kisah cintanya?
Hari yang dinanti tiba. Aria mengenakan gaun berwarna biru laut yang membuatnya merasa nyaman dan percaya diri. Ia tiba di Cafe Algoritma tepat waktu. Reza sudah menunggunya di meja dekat jendela, dengan sebuah buku tebal di samping cangkir kopinya.
Reza tersenyum melihat Aria. "Hai, Aria. Maaf kalau saya sudah memesan duluan. Saya pesan latte kesukaan kamu, sesuai dengan yang tertulis di profilmu."
Aria terkejut. "Kamu benar-benar memperhatikan detail, ya?"
Reza tertawa kecil. "Itu bagian dari pekerjaan saya. Kami para engineer memang dilatih untuk memperhatikan detail."
Obrolan mengalir dengan lancar. Reza ternyata bukan hanya seorang engineer yang pandai coding. Ia juga seorang pendengar yang baik, seorang pembaca yang cerdas, dan seorang pria yang punya selera humor yang baik. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari buku favorit mereka, pengalaman mendaki gunung, hingga filosofi hidup.
Aria merasakan sesuatu yang berbeda. Ia merasa nyaman, dihargai, dan dipahami. Ia tidak merasa seperti sedang diwawancarai, atau sedang berusaha untuk menampilkan citra yang sempurna. Ia bisa menjadi dirinya sendiri di depan Reza.
Saat Reza bertanya tentang novel-novelnya, Aria menjelaskan tentang karakter-karakter yang ia ciptakan, tentang konflik-konflik yang ia bangun, dan tentang pesan-pesan yang ingin ia sampaikan.
"Jadi, menurutmu, cinta itu seperti apa?" tanya Reza, menatap Aria dengan tatapan yang intens.
Aria terdiam sejenak. Ia memikirkan semua kisah cinta yang pernah ia tulis, semua akhir bahagia yang pernah ia ciptakan. "Cinta itu... rumit," jawabnya akhirnya. "Cinta itu butuh proses, butuh kesabaran, butuh keberanian untuk saling membuka diri."
Reza mengangguk setuju. "Saya setuju. Tapi, menurut saya, cinta juga butuh adaptasi. Seperti software yang terus di-upgrade, cinta juga harus terus diperbarui agar tetap relevan, agar tetap berfungsi dengan baik."
"Hati yang di-upgrade," gumam Aria, tanpa sadar.
Reza tersenyum. "Tepat sekali. Cinta Versi 2.0. Cinta yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih adaptif."
Setelah pertemuan itu, Aria dan Reza semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, melakukan hal-hal yang mereka sukai. Mereka mendaki gunung, menonton film fiksi ilmiah, dan berdiskusi tentang buku-buku yang mereka baca.
Aria mulai melihat Reza bukan hanya sebagai seorang software engineer, tapi sebagai seorang pria yang memiliki hati yang tulus, pikiran yang cerdas, dan jiwa yang penuh petualangan. Ia mulai jatuh cinta pada Reza.
Namun, Aria juga merasa takut. Ia takut jika hubungannya dengan Reza hanya akan menjadi kisah cinta klise seperti yang sering ia tulis. Ia takut jika hatinya akan terluka lagi.
Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman, Aria memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya. "Reza," katanya, dengan suara bergetar. "Aku... aku menyukaimu."
Reza tersenyum lembut. "Aku juga menyukaimu, Aria. Sangat menyukaimu."
Aria merasa lega dan bahagia. Tapi, ia masih ragu. "Tapi, bagaimana jika kita tidak berhasil? Bagaimana jika kita hanya akan saling menyakiti?"
Reza menggenggam tangan Aria. "Aria, tidak ada jaminan bahwa kita akan berhasil. Tapi, kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencoba. Aku bersedia mengambil risiko itu bersamamu. Aku bersedia meng-upgrade hatiku untukmu."
Aria menatap mata Reza. Ia melihat ketulusan, kejujuran, dan keyakinan. Ia merasa yakin bahwa Reza adalah pria yang tepat untuknya.
"Baiklah," kata Aria, dengan senyum yang tulus. "Mari kita upgrade hati kita bersama."
Mereka berpegangan tangan, menatap langit malam yang bertaburan bintang. Aria merasa bahwa hatinya telah di-upgrade. Ia telah menemukan cinta versi 2.0, cinta yang lebih baik, lebih kuat, dan lebih adaptif. Cinta yang tidak hanya memenuhi halaman-halaman novelnya, tapi juga mengisi relung hatinya yang terdalam. Cinta yang siap untuk di-debug dan di-patch, seiring dengan perjalanan waktu yang tak terelakkan.