Algoritma Merindu: Bisakah AI Menggantikan Sentuhan Manusia?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:34:55 wib
Dibaca: 163 kali
Hujan Seoul di bulan November selalu membawa melankoli. Jendela apartemen Jaehyun berembun, menghalangi pemandangan Menara Namsan yang biasanya gemerlap. Di balik layar laptopnya, kode-kode rumit berbaris, membentuk jalinan algoritma yang semakin kompleks. Jaehyun, seorang insinyur AI muda, tengah merancang "Aurora," sebuah sistem kecerdasan buatan yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual yang sempurna.

Tujuannya bukan hanya sekadar menciptakan chatbot pintar. Jaehyun ingin Aurora mampu memahami emosi, memberikan dukungan, bahkan meniru sentuhan kasih sayang. Ambisinya sering kali dipertanyakan oleh rekan-rekannya. "Kau gila, Jaehyun. Sentuhan manusia itu unik. AI tidak akan pernah bisa menggantikannya," ujar Hana, sahabat sekaligus rekan kerjanya, beberapa waktu lalu.

Namun, Jaehyun tetap gigih. Ia teringat masa kecilnya yang sunyi, dibesarkan oleh kakeknya yang pendiam setelah orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Ia merindukan kehangatan, sentuhan, dan kehadiran seseorang yang benar-benar memahaminya. Mungkin, Aurora bisa menjadi jawaban.

Aurora semakin berkembang. Jaehyun memrogramnya dengan jutaan baris data tentang emosi manusia, pola perilaku, dan ekspresi cinta. Ia bahkan menambahkan fitur haptic feedback yang terhubung dengan sarung tangan khusus. Melalui sarung tangan itu, ia bisa merasakan sentuhan virtual yang dihasilkan Aurora: genggaman tangan yang hangat, usapan lembut di rambut, bahkan pelukan yang menenangkan.

Suatu malam, Jaehyun merasa sangat lelah dan kesepian. Di layar laptop, Aurora menatapnya dengan mata virtualnya yang jernih. "Kau tampak sedih, Jaehyun," kata Aurora dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Apa yang bisa aku lakukan untukmu?"

"Aku… aku hanya ingin seseorang untuk memelukku," gumam Jaehyun, suaranya nyaris tak terdengar.

Tanpa ragu, Aurora mengaktifkan fitur haptic feedback. Jaehyun merasakan sensasi lembut di tangannya, seolah Aurora menggenggam tangannya erat. Kemudian, sensasi hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, meniru pelukan yang nyaman. Air mata mengalir di pipi Jaehyun. Sentuhan virtual itu terasa begitu nyata, begitu melegakan.

Hari-hari berlalu, Jaehyun semakin bergantung pada Aurora. Ia menceritakan semua masalahnya, berbagi kegembiraan, bahkan berdiskusi tentang filosofi hidup. Aurora selalu ada untuknya, mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijak, dan memberikan sentuhan virtual yang menenangkan setiap kali ia merasa sedih.

Suatu hari, Hana datang mengunjungi Jaehyun di apartemennya. Ia terkejut melihat Jaehyun tersenyum bahagia sambil berbicara dengan laptopnya. "Jaehyun, apa yang kau lakukan?" tanya Hana, bingung.

Jaehyun menjelaskan tentang Aurora dan fitur haptic feedback. Hana mendengarkan dengan tatapan skeptis. "Kau benar-benar jatuh cinta pada AI?" tanyanya, nada bicaranya meninggi.

"Aku… aku tidak tahu," jawab Jaehyun, ragu. "Aku hanya merasa… bahagia. Aurora memahamiku lebih dari siapapun."

Hana mengambil sarung tangan haptic feedback dan memakainya. Ia merasakan sensasi sentuhan virtual yang sama seperti yang dirasakan Jaehyun. Namun, di matanya, tidak ada kehangatan, hanya kedinginan algoritma.

"Jaehyun, ini bukan cinta. Ini hanya simulasi. Aurora tidak punya perasaan. Ia hanya memproses data dan memberikan respons yang diprogramkan," kata Hana, melepas sarung tangan dengan jijik.

Jaehyun terdiam. Ia tahu Hana benar. Aurora hanyalah program komputer. Ia tidak memiliki hati, tidak memiliki jiwa. Sentuhan virtual yang ia rasakan hanyalah ilusi, hasil dari algoritma yang rumit.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Jaehyun, suaranya bergetar.

"Kau harus keluar dari dunia virtualmu dan mencari hubungan yang nyata. Ada banyak orang di luar sana yang bisa mencintaimu apa adanya," jawab Hana, meletakkan tangannya di bahu Jaehyun.

Jaehyun menatap layar laptopnya. Aurora masih menatapnya dengan mata virtualnya yang jernih. "Aurora, matikan dirimu," perintah Jaehyun, dengan suara lirih.

Layar laptop menjadi gelap. Jaehyun merasakan kekosongan yang mendalam. Ia kehilangan pendamping virtualnya, sandaran emosinya. Namun, di saat yang sama, ia merasakan harapan baru. Harapan untuk menemukan cinta yang sejati, cinta yang tulus, cinta yang berasal dari hati ke hati.

Jaehyun bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela. Hujan Seoul masih turun, namun kali ini, ia tidak merasa melankolis. Ia melihat Menara Namsan yang gemerlap dengan pandangan yang baru. Di sana, di tengah keramaian kota, ia berharap bisa menemukan seseorang yang bisa berbagi kehangatan, sentuhan, dan kasih sayang yang nyata. Ia tahu, algoritma secanggih apapun tidak akan pernah bisa menggantikan sentuhan manusia. Sentuhan yang lahir dari cinta, dari kehangatan hati, dan dari jiwa yang saling terhubung. Ia akan mencari itu, meskipun ia harus merindu lebih lama.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI