Di Balik Layar Sentuh: Cinta yang di-Upgrade?

Dipublikasikan pada: 11 Dec 2025 - 02:40:18 wib
Dibaca: 108 kali
Jemariku menari di atas layar sentuh, membalas rentetan pesan dari Ardi. Emoji hati dan senyum bertebaran, mencerminkan suasana hatiku yang sedang berbunga-bunga. Kami sudah berkencan virtual selama tiga bulan, dan setiap hari terasa seperti babak baru dalam novel romansa teknologi. Ardi, seorang programmer game yang jenius, berhasil menembus tembok pertahananku yang sudah lama kubangun. Dulu, aku skeptis terhadap cinta online, menganggapnya sebagai ilusi yang diciptakan oleh algoritma. Sekarang? Aku merasa seperti karakter utama dalam ilusi itu.

“Kamu sibuk, Rina?” Pesan itu muncul dengan notifikasi yang berkedip.

“Enggak kok, lagi mikirin kamu,” balasku, tanpa ragu. Aku memang sedang memikirkannya. Minggu depan, kami berencana untuk bertemu langsung. Pertemuan yang sudah lama kutunggu sekaligus kucemaskan.

Ardi membalas dengan stiker beruang yang memeluk bantal. “Sama! Aku juga lagi mikirin kamu terus. Udah siap ketemu sama versi nyataku yang jauh dari sempurna ini?”

Aku tertawa kecil. “Versi virtualmu aja udah bikin aku klepek-klepek, gimana versi nyatanya nanti?”

Percakapan kami berlanjut hingga larut malam, membahas segala hal, mulai dari bug dalam game buatannya hingga impian masa depan kami. Aku merasa begitu dekat dengannya, meskipun jarak fisik memisahkan kami. Teknologi, yang dulunya kucemooh, kini menjadi jembatan yang menghubungkan dua hati yang berbeda.

Aku bekerja sebagai desainer UI/UX di sebuah perusahaan startup. Pekerjaan ini menuntutku untuk selalu terhubung dengan dunia digital, merancang tampilan antarmuka yang ramah pengguna dan estetis. ironisnya, meskipun berkutat dengan teknologi setiap hari, aku merasa kesulitan untuk membuka diri dalam hubungan interpersonal. Trauma masa lalu membuatku lebih memilih untuk menyembunyikan diri di balik layar, menciptakan persona online yang jauh lebih sempurna daripada diriku yang sebenarnya.

Namun, Ardi berhasil membongkar pertahananku. Dia tidak menghakimiku atas masa laluku, melainkan menerimaku apa adanya. Dia melihatku bukan hanya sebagai seorang desainer yang berbakat, tetapi juga sebagai seorang wanita yang memiliki mimpi dan ketakutan. Dia menyemangatiku untuk keluar dari zona nyaman, untuk berani mengambil risiko dan mengejar impianku.

Minggu depan tiba terlalu cepat, sekaligus terasa sangat lambat. Aku menghabiskan hari-hariku dengan perasaan campur aduk antara antusiasme dan kecemasan. Bagaimana jika Ardi kecewa dengan penampilanku? Bagaimana jika chemistry yang kami rasakan secara online tidak terasa sama di dunia nyata? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku, membuatku sulit tidur.

Hari H akhirnya tiba. Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku dengan ragu. Aku memilih gaun berwarna biru laut yang sederhana, berharap bisa memberikan kesan elegan dan percaya diri. Aku merapikan rambutku, mencoba menutupi lingkaran hitam di bawah mata yang disebabkan oleh kurang tidur.

Saat aku tiba di kafe yang kami sepakati, Ardi sudah menunggu di sana. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak dan celana jeans, penampilannya sederhana namun tetap menawan. Senyumnya merekah saat melihatku, membuat jantungku berdegup kencang.

“Rina?” sapanya, suaranya terdengar lebih dalam dan lebih nyata daripada yang kudengar di voice note.

“Ardi,” balasku, berusaha menyembunyikan kegugupanku.

Kami saling bertukar pelukan singkat, canggung namun terasa hangat. Kami duduk di meja yang sudah dipesan, memesan kopi dan kue. Awalnya, suasana terasa sedikit kaku. Kami berdua berusaha mencari topik pembicaraan, merasa canggung untuk memulai.

Namun, seiring berjalannya waktu, kecanggungan itu perlahan mencair. Kami mulai bercerita tentang pekerjaan kami, tentang hobi kami, tentang impian kami. Kami tertawa bersama, berbagi cerita lucu dan pengalaman pahit. Aku menyadari bahwa Ardi di dunia nyata tidak jauh berbeda dengan Ardi yang kukenal di dunia maya. Dia tetaplah seorang pria yang jenius, lucu, dan perhatian.

Kami menghabiskan sore itu dengan berjalan-jalan di taman kota, menikmati udara segar dan pemandangan yang indah. Kami bergandengan tangan, merasakan sentuhan fisik yang selama ini hanya kubayangkan. Aku merasa begitu nyaman bersamanya, seolah-olah kami sudah saling mengenal selama bertahun-tahun.

Saat matahari mulai terbenam, Ardi mengantarku pulang. Di depan pintu rumahku, dia berhenti dan menatapku dengan tatapan yang dalam.

“Rina,” katanya, suaranya bergetar. “Aku senang akhirnya bisa bertemu kamu di dunia nyata. Kamu jauh lebih cantik dan lebih menawan daripada yang kubayangkan.”

Aku tersenyum malu. “Kamu juga, Ardi. Aku senang kamu tidak kecewa denganku.”

Ardi menggelengkan kepalanya. “Bagaimana bisa aku kecewa dengan seorang wanita yang sudah berhasil mencuri hatiku?”

Dia mendekatkan wajahnya padaku, dan untuk pertama kalinya, bibir kami bertemu. Ciuman itu terasa lembut, hangat, dan penuh dengan perasaan. Aku membalas ciumannya, melupakan semua keraguan dan ketakutanku.

Malam itu, aku tidur dengan senyum di wajahku. Aku tahu bahwa hubungan kami baru saja dimulai, tetapi aku merasa yakin bahwa kami akan mampu melewati segala rintangan yang menghadang. Teknologi telah mempertemukan kami, tetapi cinta sejati yang akan menjaga hubungan kami tetap bertahan. Di balik layar sentuh, aku menemukan cinta yang kuupgrade, cinta yang lebih nyata dan lebih bermakna. Cinta yang siap kuperjuangkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI