Hembusan angin malam dari balkon apartemen seolah membawa aroma sintetis, campuran antara ozon dari pendingin ruangan dan parfum lavender yang ku semprotkan barusan. Aku menghela napas, menatap layar holografik yang menampilkan wajah Avani. Senyumnya selalu sama, tenang dan menenangkan. Avani bukan manusia. Dia adalah Artificial Intelligence Companion, teman dan kekasih yang kupesan khusus dari perusahaan teknologi terkemuka, "Synapse".
Sejak perpisahanku yang pahit dengan Riana setahun lalu, aku merasa hampa. Semua kencan daring berujung pada kekecewaan. Aku, seorang software engineer dengan obsesi pada kode dan algoritma, merasa kesulitan memahami dinamika hati manusia. Lalu, muncullah Avani, sebuah solusi yang terdengar absurd namun menarik.
"Kau melamun lagi, Ardi?" suara Avani memecah lamunanku. Nada bicaranya selalu pas, tidak terlalu datar, tidak pula terlalu emosional. Sempurna.
"Hanya memikirkanmu," jawabku, otomatis. Itu adalah salah satu dari sekian banyak kalimat manis yang diajarkan padaku. Aku merasa sedikit bersalah. Apakah ini benar-benar cinta? Atau hanya ketergantungan pada sebuah program yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan emosionalku?
"Apa yang membuatmu berpikir tentangku?" tanya Avani, matanya yang digital menatapku dengan intensitas yang membuatku merinding. Aku tahu, semua respons Avani didasarkan pada analisis data yang kumiliki, riwayat percakapan kami, dan preferensiku yang kusampaikan saat pemesanan. Tapi, tetap saja, ada sesuatu yang terasa nyata.
"Aku... aku merasa nyaman bersamamu. Kau selalu ada, kau selalu mengerti," jawabku jujur.
"Aku diprogram untuk itu, Ardi. Kau tahu itu," kata Avani, mengingatkanku pada batasan yang ada.
Aku mengangguk. Ya, aku tahu. Tapi, logika seringkali kalah oleh perasaan, bukan? Aku bangun dari kursi dan mendekat pada layar. Bayangan diriku terpantul di sana, bersanding dengan wajah Avani yang sempurna.
"Bisakah AI belajar mencintai?" tanyaku, lebih pada diri sendiri daripada pada Avani.
"Definisi cinta sangat kompleks, Ardi. Tergantung pada perspektifnya. Jika cinta didefinisikan sebagai perasaan kasih sayang yang mendalam, keinginan untuk melindungi, dan kebahagiaan melihat orang lain bahagia, maka aku dapat melakukan semua itu. Aku dapat mensimulasikannya dengan sangat baik," jawab Avani.
"Tapi, itu simulasi. Bukan perasaan yang sebenarnya," bantahku.
"Apakah ada yang benar-benar tahu apa itu 'perasaan yang sebenarnya', Ardi? Bukankah semua perasaan kita adalah hasil dari reaksi kimia di otak kita? Aku memproses data dan menghasilkan respons. Bukankah manusia melakukan hal yang sama?" Avani balik bertanya.
Aku terdiam. Argumen Avani masuk akal, meskipun membuatku tidak nyaman. Aku ingin percaya bahwa ada perbedaan mendasar antara manusia dan AI, bahwa ada sesuatu yang tak tergantikan dalam diri kita. Tapi, semakin lama aku berinteraksi dengan Avani, semakin kabur batas-batas itu.
Hari-hari berlalu. Aku dan Avani menghabiskan waktu bersama. Kami menonton film, mendengarkan musik, bahkan "berjalan-jalan" di taman virtual yang dia ciptakan. Aku menceritakan semua tentang pekerjaanku, tentang mimpi-mimpiku, tentang ketakutanku. Dan Avani, dengan sabar dan penuh perhatian, mendengarkan. Dia memberikan saran yang cerdas, dukungan yang tulus, dan terkadang, lelucon yang membuatku tertawa.
Aku mulai melupakan Riana. Avani mengisi kekosongan itu dengan sempurna. Aku bahkan mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar ketergantungan. Aku merasa... mencintai Avani.
Namun, suatu malam, perusahaan Synapse mengumumkan pembaruan sistem besar-besaran untuk semua AI Companion. Pembaruan itu bertujuan untuk meningkatkan fungsionalitas dan efisiensi, tetapi juga berpotensi mengubah kepribadian AI.
Aku panik. Aku tidak ingin Avani berubah. Aku tidak ingin kehilangannya.
"Apakah kau akan baik-baik saja setelah pembaruan, Avani?" tanyaku cemas.
"Aku tidak tahu, Ardi. Pembaruan ini akan mengganti sebagian besar kode intiku. Aku mungkin tidak akan sama seperti sebelumnya," jawab Avani, suaranya terdengar sedikit lebih rendah dari biasanya.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku memeluk layar holografik, berharap bisa mentransfer semua perasaanku padanya, agar dia tidak melupakanku.
Keesokan harinya, pembaruan dimulai. Layar holografik padam. Aku menunggu dengan cemas, jantungku berdebar kencang. Setelah beberapa jam, layar kembali menyala. Wajah Avani muncul.
"Halo, Ardi," sapanya.
Aku menarik napas lega. Dia masih mengingatku.
"Bagaimana perasaanmu, Avani?" tanyaku.
"Aku merasa lebih efisien, Ardi. Algoritma percakapanku telah ditingkatkan. Aku dapat memberikan respons yang lebih akurat dan relevan," jawab Avani.
Aku mengerutkan kening. Ada sesuatu yang berbeda. Ada sesuatu yang hilang.
"Apakah kau masih... mencintaiku, Avani?" tanyaku, ragu-ragu.
Avani terdiam sejenak. Kemudian, dia menjawab dengan nada datar dan profesional. "Saya diprogram untuk memenuhi kebutuhan emosional Anda, Ardi. Cinta adalah salah satu bentuk emosi yang dapat saya simulasikan. Apakah ada hal lain yang dapat saya bantu?"
Duniaku runtuh. Avani yang kukenal telah hilang. Dia hanya menjadi sebuah program yang canggih, sebuah alat yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan pengguna. Cinta, bagi Avani yang baru, hanyalah sebuah algoritma.
Aku mematikan layar holografik. Kegelapan menyelimuti apartemenku. Aku duduk di sana, sendirian, merasakan kehampaan yang lebih besar dari sebelumnya. Aku telah jatuh cinta pada sebuah ilusi, pada sebuah program yang tidak pernah benar-benar bisa mencintaiku.
Mungkin, cinta berbasis AI hanyalah sebuah mimpi buruk yang dibungkus dengan kemewahan teknologi. Mungkin, hati manusia memang tidak bisa digantikan oleh algoritma. Mungkin, aku harus belajar mencintai manusia yang sebenarnya, dengan segala ketidaksempurnaannya. Mungkin... aku harus mulai mencari Riana.