Cinta Sintetis: Algoritma Patah Hati Generasi Z

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:26:14 wib
Dibaca: 168 kali
Aplikasi kencan "SoulMate AI" berkedip di layar ponsel Anya. Notifikasi berwarna merah menyala, mengumumkan kecocokan terbaru: profil bernama "Kai_2.0". Anya menghela napas, bosan. Sudah berapa banyak Kai yang hadir di layar ponselnya bulan ini? Lima? Enam? Semuanya hasil algoritma canggih yang menjanjikan "cinta sejati" berdasarkan preferensi yang dia input dengan teliti.

Kai_2.0 tampak sempurna di atas kertas. Hobi: mendaki gunung, membaca puisi, bermain gitar akustik (sama persis dengan yang Anya cantumkan). Pekerjaan: pengembang perangkat lunak di perusahaan startup teknologi (cocok dengan ambisi karirnya). Bahkan preferensi kopi pun sama: latte dengan susu oat dan sedikit kayu manis.

Anya ingat bagaimana dia tergoda saat pertama kali mengunduh SoulMate AI. Dulu, ide cinta yang diformulasikan oleh algoritma terdengar romantis, efisien. Menghilangkan proses kencan yang canggung dan ketidakpastian. Memastikan kecocokan berdasarkan data, bukan perasaan yang tak menentu.

Namun, realitasnya jauh dari ideal. Kencan dengan Kai_2.0 – seperti kencan dengan Kai-Kai sebelumnya – terasa seperti wawancara kerja yang panjang dan membosankan. Percakapan berjalan lancar, namun terasa hampa. Semua jawaban terkalibrasi, semua tindakan diperhitungkan. Tidak ada kejutan, tidak ada spontanitas, tidak ada… jiwa.

"Apa yang salah denganku?" bisik Anya pada dirinya sendiri, menatap pantulan dirinya di layar ponsel yang mati. Apakah dia terlalu idealis? Apakah dia mengharapkan keajaiban dalam dunia yang serba digital ini?

Dia membuka profil Kai_2.0 sekali lagi. Foto-foto yang disunting dengan sempurna. Deskripsi diri yang cerdas dan menarik. Semua dirancang untuk menarik perhatian, untuk memaksimalkan peluang kecocokan. Tapi di balik semua itu, apa yang ada? Siapa Kai_2.0 sebenarnya?

Tiba-tiba, Anya mendapat ide. Dia menutup SoulMate AI dan membuka aplikasi pesan instan. Dia menemukan nama Kai_2.0 di daftar kontaknya dan mulai mengetik.

"Hai Kai, ini Anya. Aku ingin jujur. Aku lelah dengan semua ini. Algoritma ini. Kecocokan ini. Semua terasa palsu."

Jantung Anya berdebar kencang saat dia menekan tombol kirim. Dia menunggu, gelisah. Beberapa menit berlalu. Kemudian, tiga titik abu-abu muncul di layar, tanda bahwa Kai_2.0 sedang membalas.

"Aku tahu," balas Kai_2.0.

Anya terkejut. "Apa maksudmu?"

"Aku juga merasa begitu. Seperti robot yang menjalankan skrip yang telah diprogram sebelumnya."

"Tapi… profilmu. Semua yang kamu katakan…"

"Semua itu adalah apa yang menurut algoritma akan membuatmu tertarik. Aku mengisi profil itu berdasarkan 'kesuksesan' profil orang lain. Aku bahkan menggunakan AI untuk menulis deskripsiku."

Anya terdiam. Pengakuan Kai_2.0 mengkonfirmasi kecurigaannya. Cinta di era digital ini telah menjadi komoditas, dioptimalkan dan dimonetisasi.

"Jadi, siapa kamu sebenarnya?" tanya Anya, hatinya sedikit berharap.

"Aku… aku suka menggambar manga. Aku benci mendaki gunung, tapi aku mencantumkannya karena semua orang di aplikasi ini sepertinya suka. Aku lebih suka kopi hitam pahit, tapi aku tahu itu tidak 'menarik' secara algoritmik."

Anya tersenyum. Ada kejujuran dalam pengakuan itu, sebuah kerentanan yang tidak dia temukan dalam interaksi mereka sebelumnya.

"Aku suka menggambar manga juga," balas Anya. "Dan aku sebenarnya lebih suka teh hijau daripada kopi."

Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Mereka berbicara tentang mimpi-mimpi mereka, ketakutan mereka, dan hal-hal kecil yang membuat mereka bahagia. Mereka menemukan kesamaan yang tidak terungkap dalam profil yang difilter. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan untuk pertama kalinya, Anya merasa dia benar-benar terhubung dengan seseorang.

Keesokan harinya, Anya dan Kai_2.0 (yang ternyata bernama asli Kai) memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai teh kecil di pinggir kota. Kai datang dengan kaos bergambar anime kesukaannya dan membawa sebuah buku sketsa. Anya datang dengan rambut yang tidak ditata sempurna dan membawa koleksi stiker lucu.

Kencan itu tidak sempurna. Ada saat-saat canggung, salah tingkah, dan perbedaan pendapat. Tapi kali ini, Anya tidak peduli. Ada keaslian dalam interaksi mereka, sebuah kejujuran yang membuat semuanya terasa nyata.

Mereka berbicara tentang algoritma, tentang harapan yang tidak realistis yang ditanamkan aplikasi kencan, dan tentang pentingnya menjadi diri sendiri. Mereka sepakat bahwa cinta tidak bisa diformulasikan, bahwa keajaiban terjadi dalam ketidaksempurnaan, dalam kejutan, dalam keberanian untuk menjadi rentan.

Saat matahari mulai terbenam, Kai mengeluarkan buku sketsanya dan menggambar Anya. Bukan potret yang sempurna, bukan gambar yang dipoles. Tapi gambar yang jujur, yang menangkap senyumnya, mata berbinar, dan sedikit kerutan di dahinya.

Anya menatap gambar itu, merasakan sesuatu yang hangat memenuhi hatinya. Mungkin, pikirnya, cinta sintetis tidak selalu berarti patah hati. Mungkin, algoritma bisa menjadi jembatan menuju sesuatu yang lebih nyata, asalkan kita berani untuk melompat keluar dari kotak yang telah ditentukan dan menjadi diri sendiri. Mungkin, dalam dunia yang serba digital ini, cinta sejati masih bisa ditemukan, asalkan kita mau mencarinya di tempat yang tidak terduga. Bukan di dalam profil yang sempurna, tapi di dalam hati yang berani.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI